KATA PENGANTAR
Tiada kata lain
selain mengucapkan puji syukur atas terselesaikannya skripsi ini dengan judul
“ Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian Dalam
Perkawinan Beda Agama”
Penyusunan skripsi
ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai Gelar
Sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Mataram.
Penyusun menyadari
bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang penyusun dapatkan, oleh karena itu dengan
kerendahan hati penyusun mohon maaf atas segala kekurangan.
Penyusunan skripsi
ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari pihak lain.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih sebesar –
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendorong terwujudnya
skripsi ini.
Segala kerendahan hati, penyusun
mengucapkan terima kasih khususnya kepada:
1.
Bapak
Syafril S.Pd., M. Pd Selaku Dekan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Mataram.
2.
Bapak
H. Zaini Bidaya, SH., MH. Selaku Ketua Program Studi PPKn Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Mataram.
3.
Bapak
H. Zaini Bidaya, SH., MH. Selaku Dosen Pembimbing Pertama, yang telah
memberikan petunjuk bagi penyusun dengan penuh dedikasi membantu untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak
Drs. H. M. Yunan HS, M. Pd selaku Dosen
Pembimbing Kedua, yang telah memberikan petunjuk dan arahan bagi penyusun dari
awal sampai tersusunnya skripsi ini.
5.
Bapak
/ Ibu Dosen Pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah
memberikan ilmunya demi memperluas wawasan terhadap dunia ilmu pengetahuan pada
umumnya dan disiplin ilmu hukum pada khususnya.
6.
Seluruh
Karyawan Tata Usaha Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Mataram yang telah membantu kelancaran dalam bidang administrasi.
7.
Suamiku
yang telah menuangkan sayangnya selama ini, serta memberikan dukungan moral
maupun materil.
8.
Anak-anakku
yang ikut membantu segala kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penyusun
berharap semoga hasil pemikiran yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat
sebagaimana diharapkan. Amin.
Hormat saya,
Penyusun
MOTTO
“MIMPI
DAN ANGAN-ANGAN
TIDAK
AKAN TERWUJUD
TANPA
PERJUANGAN DAN PENGORBANAN”
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………..1
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………………………..2
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………
………..3
KATA PENGANTAR………………………………………………………………
………..4
MOTTO………………………………………………………………………………………..6
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………
……….7
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………… …………8
ABSTRAK……………………………………………………………………………………...9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………10
B.
Rumusan
Masalah…………………………………………………….… ……16
C.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian…………………………….………… ……….16
D. Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………….……
….17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Tentang Perkawinan……………………………………...18
2.1 Berlakunya Undang-undang Perkawinan…………………………………18
2.2 Pengertian Perkawinan……………………………………………………19
2.3 Pelaksanaan Perkawinan……………………………………………..…...21
2.4 Larangan Perkawinan……………………………………………..……...22
2.5 Pemutusan dan Berakhirnya Perkawinan…………………………..…….29
2.6 Konsep Perkawinan………………………………………………….…...30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan…………………………………………………………….35
1.1
Jenis
Penelitian………………………………………………..…………..35
B.
Sumber
dan Jenis Bahan Hukum………………………………………..……..35
C.
Teknik
dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum…………………….……..……37
D. Analisis Bahan Hukum………………………………………………………...37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perkawinan beda agama menurut
pandangan agama dan undang-undang no. 1 tahun 1974 di Indonesia……………………………………………………………………38
B.
Kedudukan
hokum anak apabila terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama.....53
C. Akibat hokum bagi anak apabila
terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama.…62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………………69
B. Saran………………………………………………………………………..…70
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………………….…..72
ABSTRAK
Suryaningsih , 2016 : KEDUDUKAN HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA.
Dosen
Pembimbing I : H. Zaini Bidaya , SH., MH
Dosen
Pembimbing II : Drs. H. M. Yunan HS, M.Pd
Perkawinan
merupakan suatu hak yang asasi, oleh karena itu Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin terlaksananya hal tersebut, dimana
setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah agar dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai
suami dan istri, manusia harus mengesahkannya dengan perkawinan, dan kemudian
mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh
kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum. Namun kini banyak
ditemukan fenomena dimana kehidupan masyarakat bahwa perkawinan beda agama itu
terjadi sebagai realitas yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini kemudian akan
berakibat pada status anak apabila terjadi perceraian antara orang tua yang
melakukan perkawinan beda agama tersebut.
Berdasarkan latar
belakang dari kasus yang diteliti maka permasalahan yang akan diteliti adalah
bagaimana kedudukan hukum anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama
dan bagaimana akibat hukum bagi dalam perkawinan beda agama anak apabila
terjadi perceraian orang tuanya.
Metode penelitian
dalam penelitian ini bersifat normative dengan menggunakan jenis penelitian
normative. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data
skunder. Data primer diproleh dengan melakukan studi kepustakaan. Sedangkan
data skunder diproleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan
hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumen berupa pengumpulan bahan-bahan yang diproleh dari buku-buku,
serta peraturan perundang-undangan. Setelah bahan dikumpulkan dan diteliti,
yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa penelitian hukum anak menjadi tidak sah apabila
berasal dari perkawinan yang tidak sah dari orang tuanya akibat adanya
perkawinan beda agama, sehingga apabila terjadi perceraian akibat adanya
perkawinan beda agama dari orang tuanya tersebut, maka kedudukan hukum anak
yang lahir menjadi tidak sah menurut undang-undang. Perceraian akibat
perkawinan beda agama juga menyebabkan si anak tidak mempunyai hak mewaris dari
kedua orang tuanya dimata hukum.
Kata
kunci : Kedudukan hukum anak, perceraian, dan perkawinan beda agama.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa
penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan
akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing
masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan
yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan
yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap
agama yang dipeluk.
Setiap orang atau pasangan
(pria dengan wanita) jika sudah melakukan
perkawinan maka terhadapnya ada
ikatan kewajiban dan hak diantara mereka
berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan
tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata
saja, akan tetapi juga merupakan
suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu
perkawinan tolak ukurnya
sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam
antara satu dengan yang
lainnya oleh karena
di Indonesia mengakui adanya
bermacam- macam
agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian dimungkinkan
dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila
yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.
Pasangan suami-istri yang
telah melangsungkan perkawinan, pada umumnya ingin memiliki
keturunan dari perkawinan yang telah mereka lakukan, tetapi ada pula pasangan
suami istri yang hidup bersama tanpa keinginan
untuk mendapatkan keturunan.
Hal tersebut
dilakukan oleh pasangan suami istri yang telah lanjut usia. Adanya akibat hukum dalam berhubungan hidup bersama pada suatu perkawinan, maka
masyarakat membutuhkan suatu peraturan tentang perkawinan ini, yaitu
mengenai syarat-syarat untuk peresmian,
pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama ini dalam suatu undang- undang, dalam hal ini UU Perkawinan. Sebelum lahirnya UU Perkawinan
yang merupakan peraturan perundang- undangan yang bersifat Nasional,
Pemerintah
mengadopsi peraturan dari Zaman
Pemerintah Hindia
Belanda yang
membagi
masyarakat kedalam
beberapa golongan penduduk,
dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di Indonesia diatur dalam:
1. Bagi orang
Indonesia
asli
yang
beragama Islam berlaku Hukum Agama
Islam.
2. Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing-
masing.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen
berlaku Huwelijks
Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia
keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. ( Selanjutnya
disebut KUH Perdata).
5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.
Sebelum lahirnya UU Perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara
dan sahnya suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum
agama dan hukum adat masing-masing. Menurut hukum
adat, perkawinan adalah suatu ikatan
antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan
untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara
adat dan agamanya dengan
melibatkan
keluarga kedua belah pihak saudara maupun
kerabat. Perbedaan dalam
cara melakukan perkawinan
sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan,
kekerabatan dan harta kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping hal tersebut, pada saat itu dikenal pula yang namanya “perkawinan campuran” yaitu perkawinan campuran antar
golongan, perkawinan campuran antar
tempat dan perkawinan campuran antar agama. Saat ini yang dimaksud
perkawinan campuran hanyalah untuk
perkawinan internasional.
Setelah
berlakunya UU Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga negara
oleh karena itu, setiap warga negara
harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap
UU Perkawinan yang menjadi
landasan
untuk
menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga,
harta benda, dan akibat hukum dari
suatu perkawinan.
Ketentuan Pasal
2
ayat
(1)
UU
Perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan prinsip perkawinan bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat
dilihat dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
bahwa suatu perkawinan yang dilakukan
menurut agama masing-masing adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah.
Scholten
menjelaskan bahwa perkawinan adalah
suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang
diakui oleh Negara. Menurut Subekti
sebagaimana dikutip
pada buku Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk waktu yang lama. Sedangkan
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama antara
seorang
laki-laki dengan
seorang
perempuan
yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan
hukum.
Dalam
ajaran agama islam perkawinan ini memiliki nilai ibadah, pada pasal 2 kompilasi
hukum islam menegaskan bahwa
perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan
ghalidan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya juga merupakan
ibadah. Jika ikatan antara suami isteri sedemikian kokohnya maka tidak
sepatutnya dirusakkan dan disepelekan, setiap usaha untuk melenyapkan hubungan
perkawinan seharusnya sedapat mungkin di hindari karena perceraian itu
merupakan perbuatan halal yang di benci oleh Allah SWT.
Akad
perkawinan dalam Hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan
suci (misaqan galiza) yang terkain
dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Namun seringkali apa yang menjadi
tujuan perkawinan harus berakhir di tengah perjalanan. Ahmad kuzari dalam
pendapatnya menyatakan bahwa : “sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal
yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan ataua dapat
juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat
lepas yang lemudian dapat di sebut dengan talak. Makna dasar dari talak itu
adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian”.
Meskipun
demikaian perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan terakhir
setelah melakukan ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan dengan
maksud mempertahankan serta memperbaiki kehidupan perkawinan dan ternyata tidak
ada jalan lagi kecuali dengan perceraian antara pasangan suami inters tersebut.
Terjadinya
perceraian dalam rumah tangga mengakibatkan dampak atau pengaruh yang buruk
pada perkembangan mental atau jiwa anak, terutama anak yang masih berada di
bawah umur. Akibat dari perceraian kedua orang tuanya, maka kehidupan anak
dalam keluarga tidak lagi berjalan normal kerna tidak lain mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya selayaknya sebuah
keluarga yang utuh. Demikian juga di lingkungan pergaulannya, seorang anak yang
orang tuanya telah bercerai akan timbul rasa iri melihat teman-temannya yang
hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah, karena selalu membandingkan
dengan hidupnya yang kelam. Selain itu, pengaruh besar dampak perceraian pada
anak akan mengalami rasa traumatik melihat
orang tuanya tidak bersama lagi.
Dengan
terjadinya perceraian ini, maka kekuatan orang tua berakhir dan berubah menjadi perwalian. Oleh
karena itu, jika perkawinan di putus oleh hakim maka harus pula di atur tentang
perwalian anak-anak yang masih di bawah umur. Perwalian adalah pengawasan
terhadap anak yang masih berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan
benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana di atur dalam undang-undang.
Pada
dasarnya perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup anak kecil
(anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri sendiri seperti anak-anak
terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun dalam mengurus
lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak masih belum bisa atau
belum cakap dalam bertindak hukum.
Oleh karena itu maka perlulah ada seorang atau sekelompok orang yang dapat
mengurus dan memelihara juga membimbing
anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus dan
melindungi anak dan hartanya.
Ketentuan-ketentuan
ini disebut sebagai salah
satu cara penyelundupan hukum bagi perkawinan beda agama. Perkawinan yang
dijalani dengan pebuh keharmonisan pada awalnya apabila tidak dijaga dengan
baik, akan menimbulkan ketidakcocockan diantara keduanya sehingga kebanyakan salah satu pasangan menginginkan adanya
perceraian. Perceraian merupakan salah satu sebab dari putusnya perkawinan
berarti dalam hal ini berakhirnya hubungan suami istri.
Perceraian
yang dilakukan antara suami istri yang memiliki agama dan keyakinan yang sama
tidak ada masalah dalam pengajuan permohonan/gugatannya kepada pengadilan,
karena jelas jika perceraian itu dilakukan oleh mereka yang memiliki agama
islam maka pengadilan agama yang memutusnya, namun jika perceraian dilakukan
oleh mereka yang menganut agama diluar islam maka pengadilan negeri yang akan
memutusnya karena sesuai dengan kewenangan absolute suatu pengadilan. Hal ini
menjadi dilema jika perceraian itu dilakukan oleh mereka yang melakukan
perkawinan beda agama yang dilangsungkan diluar negeri dan juga kebanyakan
penyelesaian percerainnya dilakukan di pengadilan negeri. Disini timbul
pertanyaan apakah pengadilan negeri berwenang memutus perceraian beda agama
ini. Dimana diketahui bahwa Negara Indonesia sendiri tidak mengakui adanya perkawinan
beda agama di Indonesia. Disini terjadi suatu ketidakpastian dalam system hukum
Indonesia, karena undang-undang
tidak
melarang perkawinan beda agama ini secara tegas, sehingga banyak pihak yang
menginginkan perkawinan beda agama ini, dengan menggunakan cara-cara tertnetu
untuk melangsungkan perkawinannya dengan memanfaatkan celah hukum yang ada
dalam undang-undang perkawinan ini.
Berdasarkan
uraian penjelasan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Kedudukan Hukum Anak Akibat
Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama”
A.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut
diatas, selanjutnya dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
kedudukan hukum anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama
2. Bagaimana
akibat hukum bagi anak adalam perkawinan beda agama apabila terjadi perceraian
orang tuanya.
B.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Adapun penelitian ini mempunyai tujuan secara
umum sebagai berikut :
a. Untuk
mengetahui kedudukan hukum anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama
b. Untuk
mengetahui akibat hukum bagi anak apabila terjadi perceraian
2.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a. Bagi
Ilmu Pengetahuan
Memberi sumbangan dan masukkan terhadap
masyarakat sehingga mereka lebih dapat mengetahui dan memahami mengenai
Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian
dalam Perkawinan Beda Agama.
b. Bagi
Masyarakat
Memberi
sumbangan pengetahuan dalam bidang Hukum pada umumnya serta Hukum Perkawinan
pada khususnya terutama mengenai Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian dalam
Perkawinan Beda Agama.
c. Bagi
Peneliti
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan
dalam penyusunan skripsi, sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam
ilmu Pendidikan Kewarganegaraan di Fakultas Kegurauan Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammdiyah Mataram disamping wawasan dan pengetahuan
mengenai Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian dalam Perkawinan Beda Agama.
C.
Ruang Lingkup Penelitian
Agar
tidak terjadi pembiasan dalam pembahasan maka dalam penulisan, penyususn
menitikberatkan pada ruang lingkup pembahasan tentang kedudukan hukum anak
akibat perceraian dalam perkawinan beda agama dan akibat hukum bagi anak
apabila terjadi perceraian.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan
Umum Tentang Perkawinan
2.1 Berlakunya
Undang-Undang Perkawinan
Sebelum
berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di
Indonesia terdapat beraneka ragam hukum perkawinan yang berlaku bagi berbagai golongan penduduk
dari berbagai daerah, yaitu sebagai berikut (Mulyadi, 1 :1996) :
1. Bagi orang
Indonesia
asli
yang
beragama Islam berlaku Hukum Agama
Islam.
2. Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing-
masing.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen
berlaku Huwelijks
Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia
keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. ( Selanjutnya
disebut KUHPerdata).
5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.
Sebenarnya
bangsa Indonesia telah lama bercita-cita untuk mempeunyai undang-undang yang
mengatur tentang perkawinan secara nasional, yang berlaku bagi semua bangsa
Indonesia. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan bahwa,
yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Perdata untuk Perkawinan dan segala
sesuatu yang berhungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini,
ketentuan-ketentuan (burgerlijk wetboek),
Ordonantie Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Untuk Ordonantie Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74), Peraturan
perkawinan campuran (Regeling Op De
Gemengde Huwelijken, S. 1989 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah di atur dalam Undang-Undang ini
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Meskipun
pasal dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut menentukan demikian, Mulyadi
(1996) berpendapat bahwa :Pasal 66 diatas
tidaklah mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (
Huwelijken Ordonantie Christen Indonesieners, S. 1933 No. 74), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan, melainkan sejauh
telah diatur dalam Undang-Unadng Nomor 1 Thaun 1974.
Dalam
Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan, bahwa
undang-undang ini mulai berlaku pada saat tanggal diuandangkan, sedangkan
pelaksanannya secara efektif lebih lanjut akan diatur secara khusus dengan
Pertauran Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober
1975.
Sebagaimana
diketahui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur :
a. Pencatatan
Perkawinan
b. Tata Cara
Perkawinan
c. Akta
Perkawinan
d. Tata
Cara Perceraian
e. Pembatalan
Perkawinan
f. Waktu
Tunggu
g. Beristri
Lebih Dari seorang
·
Sedangkan hal-hal mengenai :
a. Harta
benda yang beredar dalam perkawinan
b. Hak dan
kewajiban orang tua dan anak, serta
c. Kedudukan
anak dan perwalian
2.2 Pengertian
Perkawinan
Istilah
perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan dengan al-nikah yang bermakna al-wathi’dan al-dammu wal al-tadakhul. Yang terkadang disebut juga dengan
istilah al-dammu wa al-jam’u, atau
ibarat’an al-wath’ wa al-‘aqad yang berarti bersetubuh, berkumpul dan akad.
Wahab al-Zuhaily, seorang ulama fikih
berpendapat sebagai berikut : “Akad yang
memperbolahkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita,
atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang
diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan”.
Hazairin
berpendapat bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah adanya hubungan seksual.
Senada dengan pendapat Hazairin, Mahmud Yunus mendefinisikan perkawinan sebagai
hubungan seksual. Menurut kedua pakar Indonesia ini, tidak ada nikah
(perkawinan) apabila tidak ada hubungan seksual.
Didalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tepatnya pada Pasal 1 ayat (2), mengatakan
bahwa perkawinan adalah :”ikatan lahir
batun antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pencantuman
kalimat “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena Negara Indonesia
berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamnya adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsure lahir atau jasmani saja, tetapi
juga memiliki unsur batin atau rohani (Idris
Ramulyo 2 :1974).
Sedangkan
pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat pada pasal 2 yang
menyatakan bahwa pernikahan yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Kata
miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT yang terdapat pada Surah
An-nisa’ ayat 21 yang artinya: “Bagaimana
kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri.
Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat (miitsaqan ghalidhan).
Tujuan
perkawinan mencakup aspek personal dan sosial, aspek personal meliputi
penyaluran
kebutuhan
biologis yang tidak bertentangan dengan agama dan kaidah hukum yang ada. Mufida, Ch (107:2008) berpendapat ada tiga hierarki kebutuhan dalam perkawinan, meliputi
:
1) Kebutuhan
fisiologis, seperti penyaluran hasrat pemenuhan kebutuhan seksual yang sah dan
normal
2) Kebutuhan
psikologis, ingin mendapatkan perlindungan, kasih sayang, ingin merasa aman, ingin melindungi dan
ingin dihargai.
3) Kebutuhan
sosial, memenuhi tugas sosial dalam suatu adat keluarga yang lazim bahwa
menginjak usia dewasa menikah merupakan
cerminan dari kematangan sosial. Kebutuhan religi, sebagai realisasi terhadap
perintah agama.
2.3 Pelaksanaan
Perkawinan
Didalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), pengaturan tentang cara yang mendahului perkawinan diatur dalam pasal
50-58, sedangkan tentang pelaksanaan perkawinan diatur dalam Pasal 71-78. Pasal
50 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa : “semua orang yang hendak kawin harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai
Pencatatan Sipil ditempat tinggal salah satu dari kedua pihak”.
Selanjutnya
menurut Pasal 51 menyatakan bahwa :”Pemberitahuan
itu harus dilakukan, baik sendiri, maupun dengan surat-surat yang cukup dengan
memperlihatkan kehendak kedua calon suami-istri, dan tentang pemberitahuan itu
oleh pegawai catatan sispil harus dibuat sebuah akta”.
Sedangkan
didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur
tentang pemberitahuan ini, melainkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Pasal 3 Ayat 1 menyatakan bahwa : “setiap orang yang akan memberitahukan perkawinan untuk memberitahukan
kehendakanya itu kepada Pegawai Pencatatan ditempat perkawinan akan
dilangsungkan”.
Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon
suami sitri tersebut.
Pemberitahuan
ini dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari sebelum perkawinannya
dilakukan,
kecuali karena adanya alasan penting yang diberikan oleh Camat atas nama Kepala
Daerah (PP No 9 Tahun 1975). Selanjutnya, dilakukan pencatatan perkawinan oleh
Pegawai Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri agama atau oleh pegawai
yang ditunjuk olehnya (UU No 32 Tahun 1954, Pasal 1 Ayat 2).
Perkawinan
dilakukan setelah hari kesepuluh sejak kehendak perkawinan diumumkan Oleh
Pegawai Pencatatan Perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, yang
pelaksanaannya dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan dan dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi.
2.4 Larangan
Perkawinan
Dari
berbagai pandangan hukum, ada larangan-larangan terntu untuk melakukan
perkawinan. Meskipun pada dasarnya seorang laki-laki dapat menikah dengan
wanita manapun, tetapi tentu ada batasan-batasannya. Apabila melihat kembali
pada Pasal 50 Kitab Undang-Undang hukum Paerdata (BW), pada pasal 30-35
menyebutkan larangan perkawinan adalah sebagai berikut (Hadikusuma, Hadikususma 57
:2007) :
1. Antara
mereka satu dengan yang lain beratlian keluarga dalam garis lurus keatas dan
kebawah, baik karena kelahirannya yang sah atau tidak sah atau karena
perkawinan;
2. Antara
mereka yang beratlian keluarga dalam garis menyimpang antara saudara pria dan
saudara wanita yang sah atau tidak sah;
3. Antara
ipar pria dan ipar wanita karena perkawinan sah atau tidak sah, kecuali si
suami atau si istri yang mengakibtakan periparan sudah meninggal atau jika
karena keadaan tidak hadirnya suami atau istri, terhadap istri atau suami yang
ditinggalkannya, oleh hakim dijinkan untuk kawin dengan orang lain.
4. Antara
paman atau paman orang tua dan anak wanita saudara atau cucu wanita saudara,
seperti juga bibi atau bibi dari orang tua dan anak pria saudara atau cucu pria
dari saudara yang sah atau tidak sah.
5. Antara
mereka yang perkawinannya telah dibubarkan karena putusan hakim setelah pisah
meja dan ranjang, atau karena perceraian, kecuali setelah lewati waktu satu
tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang terakhir. Perkawinan yang kedua
kalinya antara orang-orang yang sama dilarang.
6. Seorang
wanita dilarang kawin lagi kecuali setelah lewat waktu 300 hari sejak
perkawinannya terakhir dibubarkan.
Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, larangan perkawinan terdapat pada Pasal
8, yang melaranag dilakukannya perkawinan apabila (Soeimin 13: 2001) :
1. Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
2. Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus kesamping, yaitu antara saudara, anatara
seseorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan saudara
neneknya;
3. Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak/tiri.
4. Berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi /paman
susuan;
5. Berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau sebagai kemenakan dari istri, dalam
hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
6. Yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku, dilarang
kawin.
Dengan
demikian, larangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyangkut beberapa larangan, larangan yang berkaitan terhadap seseorang yang
mempunyai hubungan darah, hubungan semenda, hubungan susuan, hubungan periparan
dan hubungan yang mempunyai hubungan dengan larangan agama, serta tidak
disebtkan adanya larangan menurut Hukum Adat kekerabatan (Hadikusuma, 59:2007).
Berbeda
dengan Undang-Undang Perkawinan yang hanya memuat secara singkat hal-hal
mengenai perkawinan termasuk larangan kawin, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menjelaskan lebih rinci dan tegas. Bahkan dalam hal ini, KHI mengikuti
sistematika Fikih yang berlaku. Mengenai larangan kawin ini dimuat pada Bab VI
Pasal 39-44.
Di dalam
Pasal 39 dinyatakan yaitu : dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria
dengan
seorang
wanita disebabkan :
1. Karena
pertalian nasab :
a. Dengan
seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. Dengan
seorang wanita keturuan ayah dan ibu;
c. Dengan
seorang wanita saudara yang melahirkannya;
2. Karena
pertalian kerabat semenda :
a. Dengan
seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
b. Dengan
seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
c. Dengan
seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan
dengan bekas istrinya itu qabla al-duhkul;
d. Dengan
seorang wanita bekas istri keturunannya;
3. Karena
pertalian sesusuan :
a. Dengan
wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus keatas;
b. Dengan
seorang wanita seseusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah;
c. Dengan
seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesususan ke bawah;
d. Dengan
seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan
anak yang di susui oleh istrinya dan keturunannya.
Sedangkan
larangan yang bersifat mu’aqqat seperti yang dimuat pada Pasal 40 Kompilasi
Hukum Islam dinyatakan larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu sebagai berikut :
1. Karena
wanita yang bersangkutan
masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
2. Seorang
wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain
3. Seorang
wanita yang tidak beragama Islam
Pasal 41 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan larangan kawin
karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena sepersusuan :
1. Seorang
pria dilarang memandu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sepersusuan dengan istrinya :
a. Saudara
kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
b. Wanita
dengan bibinya atau keponakannya
2. Larangan
pada ayat 1 (satu) itu tetap berlaku meskipun istrinya telah ditalak raj’I
tetapi
3. masih
dalam masa ‘iddah
·
Selanjutnya dalam pasal 54 Kompilasi Hukum
Islam juga dijelaskan bahwa :
1. Selama
seorang masih dalam kedaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga
tidak boleh bertindak sebagai wali nikah
2. Apabila
terjadi perkawinan dalam kedaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam
ihram, perkawinannya tidak sah.
Larangan
kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristri empat (4) dan masih terikat dalam perkawinan atau
ditalak raj’I masih dalam masa ‘iddah. Dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa :“seorang pria dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempuanyai empat
istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam
‘iddah talak raj’I ataupun salah seorang diantaranya mereka masih terikat tali
perkawinan sedang yang lainnya masih dalam ‘iddah talak raj’i”.
Jelaslah
bagi seorang suami yang ingin memiliki lebih dari satu orang istri dalam Hukum
Islam dibatasi sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan. Jika ingin
menikah lagi untuk yang kelima kalinya maka terlebih dahulu harus menceraikan
salah seorang istrinya. Namun harus diingat bahwa kebolehan untuk menikah lebih
dari seorang istri itu harus melalui prosedur tertentu dan syarat-syarat yang
cenderung sangat ketat (Amir dan Azhari
152:2006).
Selanjutnya
larangan kawin juga berlaku antara laki-laki dengan bekas istrinya yang telah
ditalak ba’in (tiga) sampai bekas istrinya tersebut telah melangsungkan
pernikahan dengan pria lain dan telah terjadi perceraian lagi. Larangan
terhadap istri yang telah ditalak tiga diatur dalam pasal 43 KHI yang berbunyi
:
1. Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. Dengan
seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
b. Dengan
seorang wanita bekas istrinya yang telah di li’an
2. Larangan
tersebut pada ayat satu (1) huruf a gugur kalau bekas istri tadi telah kawin
dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’dal al dukhul dan telah
habis masa ‘iddahnya.
Selanjutnya
didalam Pasal 44 KHI dinyatakan bahwa : “seorang
wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama islam”.
Dengan
demikian, berkaitan dengan larangan perkawinan yang termuat dalam fikih,
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak menunjukkan adanya
pergeseran konseptual dari Fikih, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam. Meskipun demikian, masih ada satu bentuk larangan perkawinan yang tidak
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu Nikah Mut’ah, yang artinya perkawinan
antara seorang laiki-laki dengan seorang wanita yang dibatasi oleh waktu
tertentu.
2.5 Pemutusan dan Berakhirnya Perkawinan
Sebagai
mana yang disebut dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas
dietanh jalan yang menyebabkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian,
perceraian ataupun putusan pengadilan.
Dalam
Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan ada 4 (empat) cara
putusnya perkawinan, yaitu :
1. Karena
kematian;
2. Karena
keadaan tak hadir suami atau istri, selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan
dari istrinya atau suaminya;
3. Karena
keputusan hakim setelah ada perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan
pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil
atau BS (Burgerlijek Stand);
4. Karena
perceraian.
Selanjutanya
pada psal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa :
1. Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri
3. Tata
cara perceraian didepan siding pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan
sendiri.
Sedangkan
mengenai hal-hal yang dapat menjadi alasan yang menyebabkan terjadinya
perceraian terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19,
yang terdiri dari
1. Salah
satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
2. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
3. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain;
4. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
5. Antara
suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengakar dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jika ada
hal-hal lain yang dapat menjadi dasar untuk menuntut terjadinya perceraian
perkawinan, salah satu pihak baik suami ataupun istri berhak untuk menuntut
untuk pisah meja dan ranjang. Gugatan perceraian perkawinan harus di ajukan ke
Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya suami mempunyai tempat tinggal pokok
pada waktu mengajukan permohonan atau tempat tinggal sebenarnya bila tidak
mempunyai tempat tinggal pokok (Hadikusuma, 150:2007).
2.6 Konsep Perwalian
Kata
“wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk
jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut
istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama,
adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,
pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin pria (Abu,
1 :2012).
Seperti
diketahui bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada juga disebutkan pengertian
dari perwalian itu, yaitu pada Pasal 330 Ayat 3 menyatakan : “mereka yang belum dewasa dan tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara
sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Didalam
sistem perwalian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada dikenal beberapa
asas, yakni :
1.
Asas tidak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)
Pada
setiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai
pengecualian dalam dua hal, yaitu :
a) Jika
perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia
kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, Pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
b) Jika
sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus
barang-barang minderjarige di luar Indonesia didasarkan pada Pasal 361 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Asas
persetujuan dari keluarga
Keluarga
harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka
tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalu
tidak dating sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Orang-orang
yang ditunjuk sebagai wali
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu :
a) Perwalian
oleh suami atau istri yang hidupn lebih lama, pasal 345-354 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan :“apabila ada salah satu dari kedua orang tua
meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa,
demi hukum di pangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah
dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya”.
b) Perwalian
yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.
Pasal 355 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
seorang anaknya atau lebih berhak
mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah
ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan hakim menurut ayat
terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”.
c) Perwalian
yang diangkat oleh Hakim
Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan :“semua Minderjarige yang
berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan
ditunjuk seorang wali oleh pengadilan”.
Menurut
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perihal mengenai perwalian
ditentukan pada pasal 50, yang menyebutkan :
1. Anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
2. Perwalian
itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
·
Selanjutnya pasal 51 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa :
1. Wali
dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan 2 (dua)
orang saksi.
2. Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
3. Wali
wajib mngurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.
4. Wali
wajib membuat daftar harta benda yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu
5. memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau
anak-anak itu.
6. Wali
bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya
serta
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
Sedangkan
pengertian perwlian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah kewenangan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perubahan hukum sebagai
wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua
atau orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
1. Perwalian
hanya terhadap anak yang mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaannya.
3. Bila
wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
pengadilan agama dapat menunjuk salahs eorang kerabat untuk betrindak sebagai
wali atas permohonan kerabat tersebut.
4. Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan atau badan hukum.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode
Pendekatan
3.1
Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum sekunder dan merupakan
suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, juga menelaah kaidah-kaidah hukum
yang berlaku dalam masyarakat.
·
Untuk menjawab masalah dalam penelitian ini,
digunakan pendekatan sebagai berikut :
1. Pendekatan
perundang-undangan (statute Approach)
yakni mengkaji peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah yang
dibahas.
2. Pendekatan
konseptual (conceptual approach)
yaitu pendekatan dengan mengkaji konsep-konsep atau pandangan para ahli yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
B.
Sumber
dan Jenis Bahan Hukum
Dalam
penelitian ini bahan hukum yang digunakan penyusunan untuk mendapatkan data
yang valid dan akurat adalah sebagai berikut :
a. Sumber
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bahan Hukum Sekunder
yang bersumber dari studi Kepustakaan.
Studi kepustakaan adalah bahan hukum yang diperoleh melalui
peraturan perundang-undangan, literature, pendapat para sarjana, penelitian
hukum, majalah hukum, jurnal hukum dengan melakukan penelaahan kepustakaan
dengan membaca, mengkaji, dan memilah bahan hukum yang ada kaitannya dengan
objek atau judul penelitian.
b. Jenis
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1)
Bahan Hukum Primer, bahan yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan yang terdiri dari : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Tasa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
2)
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, symposium yang dilakukan oleh
pakar terkait dengan permasalahan yang angkat dalam penelitian ini dan
seterusnya.
3)
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang
member petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, kamus
bahasa Indonesia.
C.
Teknik
dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik
pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumen berupa pengumpulan bahan-bahan yang diperoleh dari buku-buku serta
peraturan perundang-undangan. Setelah bahan dikumpulkan dan diteliti, maka kemudian
bahan di olah, dipelajari
dan disusun secara sistematis, logis, dan yuridis guna memperoleh kesimpulan
yang jelas mengenai objek yang diteliti.
D.
Analisis
Bahan Hukum
Sebelum
melakukan analisa, analisa kualitatif, yaitu menelaah, mengakaji konsep-konsep
hukum maupun asas-asas hukum dalam peraturan perundang-undangan, guna
memperoleh dan mendapatakan dalil-dalil dan
argumentasi, sehingga pada akhirnya diperoleh kesimpulan untuk menjawab
permasalahan yang diajukan, serta dianalisis secara deskriptif, yaitu
menggambarkan apa yang menjadi jawaban atas pertanyaan dalam skripsi ini
sehingga mendapatkan jawaban dari permasalahan penelitian.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Perkawinan
Beda Agama Menurut Pandangan Agama Dan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di
Indonesia.
Perkawinan
beda agama di Indonesia merupakan salah satu polemik yang berlarut-larut tanpa
penyelesaian yang jelas dan tuntas walaupun di Indonesia sudah memiliki UU
Nomor 1 tahun 1974 yang menjadi payung hukum dalam perihal perkawinan, namun
pada pelaksannya masih banyak kekurangan, sebut saja perkawinan beda agama yang
belum di atur secara tegas dalam undang-undang tersebut padahal dalm realita
sosial kemasyarakatannya Indonesia yang banyak agama, artinya Negara Indonesia
bukan hanya mengakui satu agama saja sebagai agama Negara melainkan ada 5
(lima) agama yang telah diakui yaitu : Islam, Kristan protestan, khatolik,
Hindu dan Budha, Khonghucu.
Apabila
kita teliti dengan cermat pasal demi pasal serta penjelasan yang termaksud
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka kita tidak akan
menemukan secara pasti mengenai perkawinan antar agama. Maka wajar jika muncul
aneka penafsiran dan masalah, sebab persoalannya apakah UUP Nomor 1 Tahun 1974
itu memperbolehkan atau melarang perkawinan antar orang yang berbeda agama.
Namun
jika kita melihat penjelasan yang ada di beberapa pasal yang ada dalam UU Nomor
1 Tahun 1974 kita dapat menemukan beberapa pernyataan yang menyebutkan hal-hal
yang terkait dengan perbedaan agama didalam suatu perkawinan. Berikut
pasal-pasal yang menjelaskan mengenai dampak adanya perbedaan agama atau
keyakinan dalam suatu perkawinan :
Pasal 2 (1) perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.
Syarat-syarat
perkawinan pasal 6 (6) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) sampai dengan ayat (5)
pasal berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 8 butir f. Perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan yang berlaku, dilarang kawin.
Sehingga
dapat kita simpulkan perkawinan beda agama secara garis besar dilarang
pelaksanaannya di Indonesia dan memang dalam sebaiknya di hindari karena akan
menimbulkan masalah hukum bagi kedua belah pihak dikemudian hari sebagaimana
yang telah dirumuskan dalam beberapa pasal di atas. Akan tetapi didalam
masyarakat dewasa ini, banyak terjadi perkawinan beda agama yang di
langsungkan. Banyak dari mereka yang terlibat dalam perkawinan tersebut memang
kurang mengetahui dampak perkawinan beda agama itu sendiri. Mereka pada umumnya
tidak memikirkan tentang dampak yang mereka alami setelah perkawinan tersebut
jadi. Mereka yang mengutamakan hal bagaimana agar mereka bisa menyatukan
hubungan mereka hanya pada saat itu saja. Apabila kita mencari sebab dari
timbulnya hal seperti ini di masyarakat, maka kita akan menemukan berbagai
macam factor penyebab mereka yang jadikan landasan dalam melakukan perkawinan
tersebut.
Dalam
hal ini, hal yang mendasarkan bukan karena mereka tidak mengetahui aturan yang
ada dan yang berlaku (UU ataupun hukum dari agamanya masing-masing), namun
kebanyakan disebabkan oleh rasa cinta dari keduanya dan tidak ingin dipisahkan
oleh siapapun, apakah itu keluarga dari kedua belah pihak, bahkan oleh aturan
sekalipun, yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar tali kasih yang telah
mereka bina dapat dilanjutkan pada jenjang perkawinan, yang mungkin telah
menjadi komitmen bersama dari kedua pasangan tersebut.
Inilah
salah satu kendala yang dihadapi bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan,
namun terbentur pada aturan yang ada yaitu oleh persoalan pada perbedaan agama
yang di anut dari mereka yang akan melangsukan perkawinan tersebut. Dimana
dalam perkembangan terakhir, jalan bagi pemeluk agama islam dalam melaksanakan
perkawinan semacam ini telah di tutup sama sekali, namun kita juga tidak dapat
menutup mata bahwa hal-hal seperti ini masih saja dapat kita temui
dimasyarakat.
Berikut
penulis akan membahas berbagai pandangan dari ke lima agama yang ada di
Indonesia dan Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
terhadap beda agama, yakni :
1. Agama Islam
Menurut agama islam, Islam sendiri
sebagai agama yang di anut oleh mayoritas penduduk Indonesia sebenarnya
menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam masyarakat
Indonesia saat ini. Islam memang mengharamkan perkawinan beda agama, tapi
disisi lain pendapat para ulama juga ada yang membolehkan. Meskipun pendapat
itu banyak mengundang kontrofersi, tapi di dalam Al-Quran juga tidak terdapat
larangan secara tegas tentang adanya perkawinan beda agama dilarang atau pun di
bolehkan. Pada umumnya perkawinan beda agama menurut islam di bagi menjadi 2
(dua) bagian yaitu : Perkawinan anatara pria muslim dengan wanita Non-Muslim
dan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria Non-Muslim.
Maka dari itu, perkawinan antara pria
muslim dengan wanita non-muslim tapi ahli kitab itu dibolehkan karena, ahli
kitab disini juga belajar tentang injil-injil dan taurat sama halnya dengan
yang diajarkan islam yang telah diturunkan Allah SWT. Aturan-aturan hukum agama
yang bersumber dari Al-Quran intinya sama dengan yang diajarkan pada ahli
kitab, jadi menurut para sebagaian ulama, perkawinan tersebut dibolehkan karena
dalam melangsungan perkawinan tersebut, pria muslim bisa dengan mudah
membimbing pasangan wanitanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga sehingga
kalau wanita ini benar-benar berpegang teguh pada injil dan taurat maka para
menurut ulama mereka akan menganut agama islam. Keputusan ini merupakan ijma’
artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum
dalam agama berdasarkan Al-Quran dan Hadist dalam suatu perkara yang terjadi.
Larangan perkawinan beda agama antara wanita muslim dengan pria non-muslim juga
disebabkan oleh karna dikhawatirkan wanita muslim akan meninggalkan agamanya
dan mengikuti agama pria yang akan dikawininya. Karena pria adalah kepala rumah
tangga, maka besar kemungkinan pria non muslim akan mengajak istrinya yaitu
wanita muslimah untuk mengikuti agama atau keyakinannya.
Di dalam kompilasi hukum islam yang ada
menyangkut perkawinan beda agama. Hal itu dapat dijumpai dalam 4 tempat, yaitu
pada Pasal 40 dan 44 Bab VI tentang larangan, Kompilasi Hukum Islam melarang
umat islam melakukan perkawinan dengan non muslim. Kemudian Pasal 61 Bab X
tentang pencegahan perkawinan, maka perkawinan dapat dicegah oleh orang-orang
yang telah diberi hak untuk melakukan pencegahan.Terakhir pada Pasal 116 Bab
XVI tentang putusnya perkawinan,maka perkawinan pasangan suami istri yang
sama-sama beragam Islam dapat putus akibat salah satu dari mereka keluar dari
islam.
Pernyataan tentang haramnya pernikahan
seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim telah diatur dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5,yang menyatakan bahwa
Allah SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita
Ahli Kitab,tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan,maka Allah
SWT pasti akan menegaskanya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan mahruf
Al-Mukhalafah, secara implicit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.
Dalam kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu
Jarir At-Tabari, menuturkan Hadis Riwayat Jabir Bin Abdillah bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda, “Kami (kaum muslim) menikahi wanita ahli kitab,
tetapi mereka (pria ahli kitab) tidak boleh menikahi wanita kami”
·
Berikut juga beberapa penjelasan yang
dijadikan dasar hukum mengenai perkawinan beda agama menurut ahli (para ulama)
:
1.
Penjelasan
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
Menurut
Hamka, yang dimaksud dengan ahli Al-kitab adalah yahudi dan nasrani. Dia tidak
memberikan kreteria tertentu sehingga dengannya yahudi dan nasrani tersebut
dapat disebut sebagai ahli Al-kitab. Bahkan, orang nasrani mempersekutukan
Al-masih dengan tuhan pun, dia katagorikan sebagai ahli Al-kitab. Hamka
berkata:
“Ada yang
berkata bahwa Ahlul Kitab sama juga dengan musyrik, sebab mereka
memperserikatkan Allah SWT dengan Isa Almasih, mengatakan Al masih anak Allah
SWT. Padahal soal ini telah diperbincangkan sebelum ini dalam surat Al-Nisa dan
akan dibicarakan lagi beberapa ayat sesudah ini. Di dalam surat ini sendiri.
Soal orang Nasrani mempersekutukan Al-Masih dengan Allah SWT adalah masalah yang
berdiri sendiri. Sekarang dating ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah
bahwa ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai
kepercayaan lain terhadap Isa al-Masih, namun makanan mereka halal kamu makan”.
Hamka
mengemukakan pandangan para ulama dalam kita-kitab Fiqh yang menerangkan bahwa
seorang suami muslim, jika di minta oleh istrinya yang Nasrani tersebut untuk
menemaninya ke gereja, patutlah sang suami itu mengantarnya, dan dirumah, sang
suami jangan menghalai istrinya itu untuk
mengerjakan agamanya. Kebolehan mengawini perempiuan ahli Al-Kitab ini menurut
Hamka adalah bagi laki-laki muslim yang kuat ke-islamannya (keagamaannya).
2.
Penjelasan
M. Qurasih Shihab
M.
Qurasih Shihab, beliau mengatakan larangan mengawinkan perempuan muslimah
dengan pria non muslim- termaksud pria ahli al-kitab, diisyaratkan oleh
Al-Quran. Isyarat ini di tahani dari redaksi surat Al-Baqarah: 221, yang hanya
berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita ahli al-kitab,
dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahann
semacam itu diperbolehkan, pasti ayat itu akan menegaskan.
وَلاَ تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِين حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {221}
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah :
221).
Larangan
perkawinan antar agama yang berbeda itu agaknya di latar belakangi oleh harapan
akan lahitnya sakinah dalam keluarga.
Perkawinan baru akan langgeng dan tentram terdapat kesesuaian pandangan hidup
antara suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya,
atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan suami dan istri pun tidak jarang
mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan
antara pria muslim dan perempuan ahli al-kitab (utu al-kitab), tetapi kebolehan
itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak saat itu, tetapi
juga karena seorang muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah membawa
ajaran agama. Sehingga pria yang biasanya lebih kuat dari wanita jika beragama
islam, dapat menoleransi dan mempersilahkan ahli al-kitab menganut dan
melaksanakan syari’at agamanya. Lakum
dinukum wa liya din ( bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku) (Q.S.
Al-Kafirun: 6).
3.
Pandangan
Imam Al-Qurtubi.
Pandangan
imam Al-Qurtubi tantang nikah berbeda agama dapat di lihat dalam kitab
tafsirnya Al-Jami’li Ahkam Al-Quran, jus 2 halaman 235-236. Ayat yang dijadikan
penjelasan adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan surat Al-Maidah ayat 5. Surah
Al- Baqarah ayat 221 mengharamkan mengawini wanita-wanita musyrikah kemudian
surah Al-Maidah ayat 5 menasakh sebagaian hokum yang ada didalam surat
Al-Baqarah ayat 221 tersebut. Wanita-wanita ahli al-kitab di halalkan oleh
surat Al-Maidah ayat 5. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Ibn ‘Abbas,
Demikian juga dikatakan oleh Malik bin Anas dan Sufyan bin Sa’id al-Tsuri dan
‘Abdurrahman bin Umru al-Auza’i.
Menurut
Qatadah dan Sa’id bin Jubair bahwa lafas ayat 221 surah al-baqarah tersebut
umum, masuk di dalamnya setiap wanita kafir, tetapi yang dimaksud adalah khusus.
Jadi didalam ayat itu tidak termaksud al-kitabiyat. Kekhususan tersebut dapat
diketahui dari adanya ayat 5 surat al-maidah. Pendapat seperti ini juga
dikatakan sebagai salah satu pendapat Imam Syafi’I’.
2.
Agama
Kristen Protestan.
Pada
prinsipnya perkawinan beda agama menurut Kristen juga sangat tidak dibolehkan
dan menghendaki agar penganut agama Kristen untuk tetap menikah dengan pasangan
yang seagama. Karena bagi Kristen, tujuan dari perkawinan adalah untuk mencapai
kebahagiaan suami, isteri dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga yang abadi
dan kekal. Untuk itu, apabila mereka yang menikah dengan berlainan agama maka
rumah tangga mereka akan sulit untuk mencapai kebahagiaan. Hal tersebut
terdapat juga di dalam Alkitab yang tercantum dalam 2 Korintus Pasal (6)
ayatnya ke – 14 yang berbunyi :
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang – orang yang tak percaya. Sebab persamaan
apakah terdapat kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat
bersatu dengan gelap?”
Pernyataan
tersebut merupakan larangan terhadap seorang Kristen dengan non-kristen, karena
jelas-jelas merupakan pasangan yang tidak seimbang. Perkawinan Kristen
mencerminkan hubungan Kristus dengan jemaat. Hubungan Kristus dengan jemaat
adalah hubungan yang eksklusif dan kudus. Di Alkitab pun dijelaskan bahwa suami
istri mengasihi istri sama seperti mengasihi Kristus. Dan istri harus tunduk
kepada suami seperti tunduk kepada Kristus. Jadi jelas bahwa suami istri harus
sama-sama mengasihi Kristus (beriman pada Kristus) dan menjadikan Kristus
sebagai pemimpin bahtera perkawinan mereka tapi, di sisi lain, alkitab juga
tidak melarang adanya perkawinan beda agama antara Kristen dengan non-kristen
asalkan tidak pada orang yang kafir yang tidak percaya adanya Tuhan maupun
mereka yang menyembah berhala.
Pada
prinsipnya Kristen mengajarkan umatnya untuk saling menyayangi dengan cinta
kasih dan mengajarkan untuk menjaga kekudusan Allah dengan tidak kawin dengan
berbeda agama melainkan kawin dengan seagama, walaupun demikian dalam Alkitab
juga tidak menghalangi adanya perkawinan
beda agama
disebabkan karena ada beberapa kisah para tokoh besar yang juga melangsungkan
perkawinan beda agama, misalnya : Yusuf, Musa, Esau, Simeon dan Yehuda. Yaitu
yang terdapat dalam Alkitab, pada Kejadian 38 : 1-2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan), Kejadian 46:10 (Simeon juga menikah dengan wanita Kanaan),
Kejadian 41-45 (Yusuf dengan Asnat, anak
Potijera, imam di On-Mesir), Kejadian 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Becri orang Hel). Bilangan 12:1 (Musa – sang pemimpin Israel menikah dengan
seorang perempuan Kusy).
Walaupun
menikah beda agama tidak dihalangi, mereka juga harus memiliki dasar
kepercayaan atau mereka yang memiliki iman agar tidak menyimpang, sama halnya
seperti agama lain juga menginginkan pasangan yang memiliki iman agar bisa menuntun yang gelap
kedalam terang. Tapi banyak juga dari para pendeta-pendeta yang melarang keras
tentang adanya perkawinan beda agama karena menyimpang dari ajaran agama dan
kekudusan Allah.
3.
Agama Khatolik
Bagi
agama khatolik,pada prinsipnya sama dengan Kristen protestan yang mana
perkawinan beda agama menurut khatolik tidak dapat dilakukan. Tidak dapat
dilakukan dikarenakan agama Khatolik memandang perkawinan sebagai sakramen. Dan
Sakramen adalah suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah. Sehingga
dengan menerima Sakramen, seseorang berjanji untuk hidup setia kepada Yesus
Kristus.
’’Menurut Khatolik juga, perkawinan adalah
persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang
total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali
(Al.Budyapranata pr.1986: 14). Jadi perkawinan menurut agama Kristen Khatolik
adalah perbuatan yang bukan saja
merupakan perikatan cinta antara kedua suami isteri,tetapi juga harus
mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat
diceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis
(Kan.1055 : 2).”
Dari
pertanyaan diatas dapat dipahami bahwa perkawinan dalam lingkup Kahtolik sangat
dianggap suci dan sakral. Sehingga perkawinan tersebut sesuai dengan kesadaran
dan kemauan dari kedua belah pihak tanpa adanya paksaan untuk berjanji bersatu
dalam ikatan suci tanpa ditarik kembali janjinya itu, karena perkawinan
Katholik ini harus sekali seumur hidup dan tidak ideal jika adanya perkawinan
beda agama antara Katholik dan non- Katholik.pada prinsipnya Katholik sangat
melarang adanya perkawinan beda agama,namun dilain kemungkinan pada tiap gereja
katholik juga terdapat proses ijin maupun dispensasi yang kemungkinan terjadinya
perkawinan beda agama, yang diberikan oleh Uskup lewat lembaga keuskupan
Katholik. Dispensasi atau pengecualian dari Uskup ini baru akan diberikan
apabila ada harapan dapat terbinanya suatu keluarga yang baik dan utuh setelah
perkawinan. Dispensasi ini diberikan kepada perkawinan antara Katholik dengan
non – Katholik yang tidak dibaptis yaitu Islam, Hindu,Budha. Sedangkan
perkawinan antara Katholik dengan non – Katholik yang telah dibaptis hanya dibutuhkan
izin dari Uskup.
Maka dari itu, untuk sahnya
perkawinan dengan orang yang beda iman yaitu Katholik dengan non – Katholik,
perlu ijin atau dispensasi beda agama dari uskup,dan yang bersangkutan harus
menerima azas perkawinan Kristen katholik yakni monogamy yaitu tidak adanya
pasangan lain dan tidak cerai serta proses pemberkatannya harus di gereja
katholik,tanpa yang non- Katholik harus menjadi katholik akan tetapi pihak
non-Katholik harus bersedia mengizinkan anaknya dibaptis katholik. Serta
mengerti atau paham akan kedua hal yang sangat sakral bagi Katholik yaitu Cinta
dan Perkawinan. Cinta yaitu saling mencintai satu sama lain dalam keadaan
apapun itu dan perkawinan yaitu
mengandung asaz monogamy atau sekali seumur hidup. Dengan demikian,perkawinan
beda agama menurut Katholik boleh diberkati dan dianggap sah.
4.
Agama
Hindu.
Menurut
Hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan
keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orangtuanya dikemudian hari
Neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda
Smtri. Jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum Hindu
makaperkawinan itu tidak sah.
Bedasarkan pernyataan di atas yaitu
perkawinan menurut agama Hindu merupakan ikatan antara pria dan wanita yang
dalam hubungan suami isteri tersebut menjadi layak agar mendapat keturunan. Karena
bagi Hindu, anak adalah anugerah yang terindah bagi orang tuanya karena kelak
dia akan menyelamatkan arwah kedua orangtuanya yang telah meninggal dari alam
neraka. Dan menurut Hukum Hindu, dalam melangsungkan perkawinan,kedua belah
pihak harus mengikuti upacara ritual
agar disucikan sebelum perkawinan itu dilangsungkan. Apabila tidak
mengikuti upacara ritual tersebut,maka perkawinan itu tidak sah menurut agama
Hindu.
Pada prinsipnya juga tiap-tiap agama
memiliki aturan masing – masing yang berbeda-beda, sama hal nya dengan Agama
Hindu yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak dibolehkan.Sesuai dengan
Kitab Manawa Dharmasastra,Buku ke-III (Tritiyo’dhyayah)
Pasal (27): “menyatakan bahwa suatu perkawinan Hindu itu, pertamanya harus diriasi
dan setelah itu menghormati orangtua dihadapan ahli weda yang berbudi bahasa
baik. Maksud dari diriasi itu adalah yang berpendidikan baik atau diberi
pendidikan tentang taat beragama,berbudi luhur dan sopan santun agar kelak
dalam menjalani kehidupan berumahtangga, akan selalu tentram dan bahagia. Dan
sebelum kedua pihak akan masuk ke jenjang perkawinan yang tentram bahagia,
tentunya harus mendapat restu dari orangtua. Menghormati orangtua dihadapan
ahli weda yang berbudi bahasa baik itu adalah kedua belah pihak harus meminta
izin atau doa restu dari orangtua yang sudah membesarkan mereka. Dan
penghormatan terhadap orangtua tersebut harus dilakukan dihadapan ahli weda
atau ahli kitab yaitu wiku atau menurut umat Hindu yang adalah pendeta agar disucikan.’’
Apabila dalam perkawinan beda agama
misalnya salah satu di antara kedua
belah pihak beragama non-Hindu, maka sebelum diadakan upacara ritual Pawiwahan
(perkawinan) pria atau wanita yang
beragama non-Hindu itu harus bersedia di Hindukan terlebih dahulu dengan
upacara sudhi waddani. Upacara Sudhi waddani ini adalah upacara untuk mereka
yang akan menganut agama Hindu sebagai pengesahan status agama seseorang yang
sebelumnya non-Hindu menjadi penganut agama Hindu dan yang menjalani upacara
sudhi waddani itu harus siap lahir batin,tulus ikhlas dan tanpa paksaan dalam
menganut agama Hindu.
5.
Agama Budha.
Beda
halnya dengan pandangan menurut Agama Budha, Menurut pandangan Budha, Umat Budha
tidak memaksakan atau pun melarang seseorang untuk kawin atau tidak. Karena
perkawinan bagi umat Budha merupakan
sesuatu yang harus dipikirkan secara matang dan harus konsekuen dan setia pada
pilihannya, agar tercapai keluarga yang bahagia berlandaskan kepada Sanghyang
Adi Budha.
Menurut hukum Perkawinan Agama Budha
keputusan Sangha Agung tanggal 1 januari 1977 pasal (1) dikatakan : “Perkawinan adalah sesuatu ikatan lahir
batin antara seorang pria sebagai suami, dan seorang wanita sebagai istri yang
berlandaskan cinta kasih (Metta), kasih saying (karunia) dan rasa
sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah
tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan yang maha esa,
para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa.”
Dalam pandangan Budha, manusia
diberikan kebebasan untuk kawin, tidak kawin atau pun kawin dengan yang berbeda
agama, karena umat Budha tidak memaksakan kehendak seseorang. Yang penting bagi
umat Budha, kawin, tidak kawin maupun kawin dengan yang berbeda agama adalah
keputusan yang sudah diambil tanpa paksaan dari pihak lain demi mendapatkan
kebahagiaan yang sejati.
Bagi umat Budha, perkawinan beda
agama tidaklah menjadi masalah. Asalkan yang non-Budha mau mengikuti adat
perkawinan budha tanpa mengantut agama Budha. Karena menurut keputusan Sangah
Agung Indonesia, perkawinan agama dimana salah seorang calon mempelai tidak
beragama Budha, diperbolehkan asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut
tatacara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak beragama budha,
tidak diharuskan untuk masuk agama budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam
acara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka “
yang merupakan dewa-dewa umat Budha.
Jadi walaupun yang non-Budha tidak menganut
agama budha, tetapi dalam pelaksanaannya yang non-budha harus bersedia
mengikuti syarat-syarat dalam pelaksanaan perkawinan seperti mengucapkan
janji-janji atas nama sang Budha, Dharma dan Sangka. Karena bagi umat Budha,
dengan mengucapkan kata-kata tersebut, maka secara tidak langsung yang
non-Budha telah dianggap menganut agama Budha tanpa mengharuskan non-Budha
untuk meyakinin agama Budha walaupun sebenarnya hanya menundukan diri pada
kaidah agama budha dalam pelaksanaan perkawinan tersebut.
6.
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan pasal 66 UU No. 1 Tahun
1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata/BW , Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan
tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974. Jadi,
bukanlah “Peraturan Perundangan” itu secara keseluruhan. Hal-hal yang tidak
diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang yang baru ini masih tetap
dapat dipakai.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang
pengaturan perkawinan, sistemnya tidak mengatur secara tegas bahkan tidak ada
hukum yang mengatur tentang adanya perkawinan beda agama. Karena yang diatur
dalam Undang-undang perkawinan itu hanyalah perkawinan campuran tentang
pasangan yang berbeda kewarganegaraan. Perkawinan beda agama disini hanya
berdasarkan pada Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) dan (2). Apabila
ditinjau pada pasal 2 ayat (1) dan (2) UU perkawinan, sahnya suatu perkawinan
adalah menurut hokum agamanya atau keyakinannya masing-masing. Dan pada ayat
(2) berbunyi pada tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Jadi, yang dimaksud dengan menurut hokum
agamanya masing-masing yaitu tergantung dari sahnya hokum masing-masing agama
yang bersangkutan dalam melangsungkan perkawinan beda agama, aturan dari
masing-masing agamanya. Berarti dengan adanya masalah peraturan perkawinan di
Indonesia, Undang-undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada agama,
dan agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan berbeda agama.
Maka dari itu, jelas diketahui bahwa
dalam melangsungan perkawinan, diharuskan untuk seagama agar pelaksanaannya
tidak terdapat hambatan maupun penyelewengan agama. Karena dalam pelaksanannya
menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Perkawinan beda agama tidak
boleh dilaksanakan, dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak
mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama barulah
perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan dalam
pencatatan perkawinan sesuai ketentuan yang sudah diatur dalam pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Perkawinan ( UUP ).
B.
Kedudukan
Hukum Anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama.
1.
Sahnya
Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum,
oleh karna itu mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum, penting sekali
kaitannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya
suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum positif), yaitu
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan yang
berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sedangkan menurut pasal 2 Komplikasi Hukum Islam, bahwa : Perkawinan menurut hukum
islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqoon ghooliidhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan
adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi suami istri dan
anak-anaknya termaksud untuk kepentingan harta kekayaan yang terdapat dalam
perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan bagi yang beragama islam dilakukan
oleh Pegawai Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuksebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 32 Tahun 1954. Bagi mereka yang beragama selain islam pencatatan
dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tidak menentukan sahnya suatu
pristiwa hukum seperti perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa
hukum itu telah terjadi dan dilakukan, sehingga hanya bersifat administrative,
karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama dan
kepercayaannya.
2.
Akibat
Perkawinan
Perkawinan yang dilakukan oleh suami
istri secara sah akan membawa konsenkuensi dan akibat di bidang hukum. Akibat hokum tersebut adalah :
1) Timbulnya
hubungan atara suami istri.
Dalam
hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah, maka mereka mempunyai hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menegakan rumah tangganya.
2) Timbulnya
harta benda dalam perkawinan
Suami
istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai harta benda, baik
yang diproleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan terhadap
harta kekayaan perkawinan tersebut selanjutnya diatur pada pasal 35 sampai
pasal 37 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
3) Timbulnya
hubungan antara orang tua dan anak.
Akibat
hukum terakhir dari perkawina yang sah adalah adanya hubungan antara orang tua
dan anak. Pengaturan selanjutnya terhadap hal ini diatur dalam pasal 45 sampai
pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Apabila perkawinan dilaksanakan
hanya secara agama saja, dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang
dalam hal ini Kantor Catatan Sipil, maka suami dapat saja mengingkari
perkawinan tersebut. Untuk itu pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1
Tahun 1974 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat
sahnya suatu perkawinan.
Seperti telah dijelaskan diatas
bahwa perkawinan yang sah akan mengakibatkan anak-anak yang dilahirkan tersebut
menjadi anak sah. Prodjohamidjojo mengatakan :bahwa anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan akibat dari persetubuhan setelah dilakukan nikah. Sedangkan di
dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa : anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Lebih lanjut didalam pasal 43 UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 setelah keluar keputusan MK No 46/PUU-VIII/2010
tanggal 17 Februari 2012 :
a. Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan yang perdata
dengan ibunya tetapi juga tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah
biologisnya.
b. Kedudukan
anak tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan
Pemerintah.
3.
Pengertian
Perkawinan beda Agama.
Perkawinan beda agama tidak diatur
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Walaupun demikian pada pokoknya
perkawinan beda agama ini tidak diinginkan oleh pembentuk UU. Hal tersebut
terlihat dari isi Pasal 1 mengatakan, perkawinan bertujuan membentuk rumah
tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dilakukan menurut hokum masing-masing
agamanya. Kemudian didalam pasal 2 ayat (1) juga ditentukan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanyaa.
Walaupun demikian dalam kenyataan
masih ada terjadi perkawinan ini di tengah-tengah masyarakat yang dilakukan
secara tertutup/dirahasiakan, atau secara terang-terangan dengan melangsungkan
perkawinan tersebut di luar negri dan setelah itu kembali ke Indonesia dan
mencatatkannya di Kantor Catatan Sipil seolah-olah perkawinan tersebut sama
dengan perkawinan campuran sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 Undang-undang
Perkawinan.
Di dalam pasal 57 Undang-undang No.
1 Tahun 1974 di atur tentang perkawinan campuran antara dua orang yang tunduk
pada dua hokum yang berlainan. Pasal ini menyangkut perbedaan warga Negara dan
tidak secara tegas menyebutkan adanya perkawinan beda agama. Menurut pasal 60
ayat (1) Undang-undang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan campuran tidak
dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
Berbeda dengan ketentuan Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR)
Stb. 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran. Didalam pasal 1 ditentukan,
bahwa : yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah
, Perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hokum yang berlainan, adalah
perkawinan antara golongan penduduk Bumi Putra dengan seseorang dari golongan
Eropa atau Timur Asing atau antara seorang golongan Eropa dengan seorang
penduduk Timur Asing.
Perkawinan beda agama yang terjadi
sebelum lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang didasarkan pada ketentuan
GHR di atas, tidak sesuai lagi untuk diterapkan pada saat ini. Peraturan
perkawinan jaman colonial seperti GHR dan HOCI, dibentuk untuk kepentingan
politik Belanda saat itu yang menerapkan penggolongan penduduk. Di dalam pasal
66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa peraturan perkawinan
yang ada pada jaman Belanda tersebut dunyatakan tidak berlaku lagi, sepanjang
telah diatur dalam undang-undang ini.
Apapun alasan yang dikemukakan dan
bagaimanapun cara yang dilakukan, maka sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama tidak
dibenarkan dan tidak sah. Oleh karna itu tidak membawa konsekuensi hokum yang
sah terhadap segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.
4.
Kedudukan
anak dalam perkawinan beda agama.
Pengertian anak menunjukan adanya
bapak dan ibu dari anak itu dalam arti sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari
seorang pria dan seorang wanita, maka si wanita melahirkan manusia lain yang
dapat menyatakan bahwa seorang pria adalah ayahnya dan seorang wanita adalah
ibunya. Menurut ketentuan pasal 42 Undang-undang Perkawinan, anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Oleh
karena antara waktu bersetubuh dan waktu lahir dari si anak ada tenggang waktu
beberapa bulan (masa hamil), maka pada waktu anak itu lahir tidak mungkin pada
saat itu pula dapat ditentukan, siapakah sebenarnya ayah dari anak itu. Untuk
itu diperlukan suatu perkawinan antara seorang wanita dan seorang pria, yang
dengan bersetubuh menghasilkan anak itu.
Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, hal tersebut
ditegaskan dalam pasal 42 Undang-undang Perkawinan tersebut bermakna bahwa
hanya dari perkawinan yang sah saja yang dapat mempunyai anak yang sah. Ini
adalah sama dengan apa yang ditetapkan dalam pasal 250 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yang secara lebih tegas mengatakan bahwa setiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memproleh suami sebagai
bapaknya. Demikian juga dengan ketentuan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan atau dalam akibat
perkawinan yang sah. Ketentuan-ketentuan yang disebutkan tadi memberikan apa
yang dinamakan suatu “perasangka
undang-undang.” Dengan demikian setiap perkawinan yang sah, akan melahirkan
keturunan yang sah pula. Sehingga dari definisi pasal 42 Undang-undang
Perkawinan mengandung arti, bahwa suatu perkawinan yang tidak sah mengakibatkan
anak yang dilahirkan adalah anak tidak sah.
Dalam Kitab Undang-undanh Hukum
Perdata, anak luar kawin dapat diakui bapaknya, pengakuan ini menimbulkan
hukuman perdata antara anak dengan bapak yang mengakuinya, tetapi tidak
menimbulkan hubungan dengan keluarga bapak yang mengakuinya itu. Namun demikian
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda yang baru (sejak tahun 1956),
ada ketentuan yang menyatakan bahwa ibu dari anak itu tidak perlu mengakui dan
secara otomatis sudah timbul hubungan perdata antara ibu dan anak, jadi hanya
bapak saja yang harus mengakui anaknya.
Di atas telah di uraikan bahwa
perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak sah, karenanya apabila
perkawinan tersebut tetap berlangsung dan dari hasil perkawinannya
dikaruniai anak maka sesungguhnya anak
hasil perkawinan tersebut adalah tidak sah, karena perkawinannya sendiri tidak
sah. Dalam perkawinan beda agama,masalah kewarisan sangat berpotensi
menimbulkan konflik dalam keluarga. Sehingga dapat menjadi hambatan hak waris
anak yang lahir dalam perkawinan beda agama.
Menurut UUP anak dalam hal ini tidak
dapat mewariskan karena undang-undang tersebut telah menutupi suatu kemungkinan
terjadi perkawinan antar agama dengan adanya pasal 2 ayat 1 yang menyatakan
“perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Bunyi pasal tersebut membawa akibat bahwa anak di sini
hanyalah mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 43
UUP ),jika perkawinan antar agama tersebut tidak dapat dilangsungkan maka
berakibat pada anak tersebut, yang statusnya menjadi anak luar nikah.
Menurut hukum kewarisan Ahlul Sunnah
Wal Jamma’ah, system kewarisannya selalu memberikan kedudukan yang lebih baik
kepada pihak laik-laki. Oleh karena itulah jika anak perempuan menjadi ahli
waris, maka ia harus didampingi oleh anak laki-laki, dan begitu pula seterusnya
ke bawah.
Namun jika yang menjadi ahli waris
anak laki-laki begitu juga seterusnya ke bawah,maka ia tidak perlu di damping
oleh pihak perempuan. Pada system kewarisan islam bilateral Hazairin baik anak
laki-laki maupun anak perempuan (pihak laki-laki dan pihak perempuan) akan mendapatkan kedudukan yang sama atau
tidak ada salah satu pihak yang lebih diprioritaskan untuk memproleh harta
warisan (sebagai ahli waris yang diutamakan terhadap ahli-ahli waris lain).
Menurut system kewarisan islam, jika perkawinan antar agama di sini dinyatakan
sah adanya dengan merujuk pada Surat Al-Maidah ayat 5, yang berbunyi “Seorang laki-laki muslim menikahi seorang
wanita non-muslim sejauh wanita tersebut ahli kitab/kitabiyah.” Begitu pula
halnya dengan anak yang dihasilkan dari perkawinan antar agama juga akan
memproleh warisan yang sama dengan anaknya yang dihasilkan dalam perkawinan
antar orang-orang yang seagama jika hal tersebut dilihat dalam konsepsi hukum
Perdata Barat.
5.
Hak
mewarisi anak hasil perkawinan beda agama.
Secara umum perkawinan beda agama
sangat berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan hukum tersendiri, baik kepada
pasangan suami istri itu sendiri maupun kepada pihak luar/ketiga termaksud hak
waris anak yang lahir dari perkawinan beda agama.
Keabsahan perkawinan yang akan
menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri. Hak istri terhadap nafkah dan
harta bersama sepenuhnya akan bergantung pada ada tidaknya perkawinan yang sah
sebagai alas hukumnya, begitu pula dari perkawinan yang sah akan melahirkan
anak-anak yang sah.
Hak pemeliharaan terhadap anak yang
dimiliki orang tuanya, hanya akan dapat diproleh apabila orang tua memiliki
status perkawinan yang sah. Sebaliknya, perkawinan beda agama yang telah
memiliki bukti otentik berupa Buku Nikah dapat diajukan pembatalan dengan alas
an bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan
hokum agama sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pembatalan perkawinan tersebut walaupun tidak berlaku surut, namun aka menimbulkan
masalah kejiwaan yang sangat besar bagi perkembangan anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang dibatalkan tersebut.
Mengenai hak kewarisan antara suami
istri dan anak-anaknya seandainya keabsahan perkawinan pasangan beda agama
tidak dipersoalkan dan dianggap perkawinan tersebut adalah sah termaksud status
anak-anaknya juga dianggap sah, namun hak kewarisan diantara mereka tidak ada
perbedaan agama menggugurkan hak saling mewarisi.
Apabila persoalan kewarisan dilihat
dari aspek keadilan, maka larangan perkawinan beda agama jelas lebih melindungi
hak kewarisan masing-masing. Hal ini disebabkan anak-anak tidak mungkin
beragama kembar,karena agama adalah masalah keyakinan. Konsekuensinya anak-anak
hanya akan seagama dengan salah satu dari kedua orang tuanya dan atau bisa
menganut agama lain yang dianut oleh kedua orang tuanya.
Apabila ada anak yang seagama dengan
bapak atau ibunya saja, maka ia hanya akan mendapatkan hak kewarisan dari bapak
atau ibunya saja yang seagama, sehingga ia akan berhadapan dengan saudaranya
yang beda agama. Hal ini karena menimbulkan masalah keadilan, yaitu anak yang seagama
akan mendapatkan hak kewarisan sedangkan saudara kandungnya yang beda agama
tidak mendapatkan hak kewarisan.
C.
Akibat
Hukum bagi anak apabila terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama.
Berdasarkan pasal 45 (1) UUP No. 1
Tahun 1974 yang berbunyi bahwa :” kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, (2)
Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tuanya putus.”
Dengan
kata lain bahwa setiap anak berhak mendapatkan nafkah, kasih sayang, serta
mendapatkan pendidikan yang memadai dari kedua orang tuanya hingga si anak
beranjak dewasa dan mampu untuk hidup sendiri sekalipun ikatan perkawinan kedua
orang tuanya telah putus.
Seorang anak berhak mendapatkan
nafkah dari orang tuanya guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang
dimaksud nafkah yang harus dipenuhi oleh orang tua tersebut adalah kebutuhan
pokok anak, yakni kebutuhan sandang, pangan, dan papan agar si anak tidak
terlantar karena adanya perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya. Nafkah
ini adalah hal yang utama yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak
karena hal ini menyangkut masalah kelangsungan hidup yang layak bagi si anak.
Selanjutnya yang wajib dipenuhi oleh
orang tua terhadap anaknya adalah menyangkut hak seorang anak untuk memperoleh
kasih sayang. Meskipun orang tuanya telah putus karena perceraian, namun hal
itu tidak serta merta memutuskan hubungan batin antara si anak dengan kedua
orang tuanya, setiap anak berhak memperoleh kasih sayang dari kedua orang
tuanya seumur hidupnya. Kasih sayang ini wajib diberikan kepada seorang anak
dengan maksud agar si anak tidak mengalami gangguan psikologis dalam hidupnya
yang disebabkan karena adanya perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya
hingga dikemudian hari.
Hal terakhir yang menjadi hak bagi
seorang anak dari orang tuanya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Hak
pendidikan ini wajib diperoleh oleh seorang anak karena dengan asumsi bahwa pendidikan
menjadi dasar pedoman bagi anak untuk memperoleh ilmu pengetahuan
setinggi-tingginya guna menjadi bekal bagi si anak dikemudian hari untuk
menjamin kehidupan yang lebih layak dimasa yang akan datang. Bagi orang tua,
meskipun telah mengalami perceraian, wajib membiayai, memberikan serta menuntun
si anak di dalam dunia pendidikan.
Suatu perkawinan tentunya selalu
menimbulkan akibat hukum dan apabila perkawinan tersebut adalah perkawinan beda
agama tentunya akan menimbulkan berbagai masalah. Masalah-masalah tersebut
menyangkut hubungan suami istri dan berimbas kepada anak-anak apabila memiliki
keturunan seperti yang telah dijelaskan pada paragraph diatas. Sehingga pada
umumnya akibat hukum disini dibagi menjadi dua bagian yaitu menurut aspek psikologis
dan menurut aspek yuridis.
Akibat yang timbul pada perkawinan
beda agama menurut aspek psikologis disini antara lain memudarnya rumah tangga
yang telah dibina belasan tahun. Pada awalnya sewaktu masih pacaran, perbedaan
itu dianggap sepele , bisa diatasi oleh dasar cinta. Tetapi lama kelamaan
ternyata perbedaan itu bisa saja menjadi boomerang dalam membangun kokohnya
rumah tangga. Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama islam) pergi
umroh atau naik haji, tentunya merupakan suatu kebahagiaan bagi seorang suami
jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya
ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke Gereja atau ke Vihara.
Maka suatu rumah tangga yang awalnya saling mencintai, lama kelamaan akan memudar
akibat perbedaan keyakinan. Karena salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim
adalah menjadi imam dalam sholat berjama’ah bersama anak istri begitu juga
sebaliknya kebahagiaan seorang istri Kristen ataupun Budha adalah pergi ke
Gereja atau ke Vihara berdoa bersama suami dan anak-anaknya.
Begitupun ketika Bulan Ramadhan
tiba, suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga apabila
pasangannya sama-sama beragama muslim. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi
ketika pasangannya berbeda agama. Di sisi lain istrinya, yang kebetulan
beragama Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama, betapa indahnya
melakukan ibadah di gereja bersanding dengan suami dan merayakan Natal bersama,
namun itu semua hanya khayal.
Pada kasus ini juga ada seorang ibu
yang merasa bahagia karena anak-anaknya ikut agama ibunya. Kondisi itu membuat
seorang ayah merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman
beragama. Di zaman pluralisme ini perkawinan beda agama kelihatannya semakin
bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu di ingat
bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan yang kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangatlah
penting untuk menjaga keharmonisan dan tumbuh kembang anak-anak dalam keluarga.
Maka dari itu, kewajiban yang harus dilaksanakan setiap pasangan suami istri
yang membina keluarga yaitu, saling mengisi dan melengkapi di antara
pasangannya. Dan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal 33 mengatakan bahwa suami istri wajib saling cinta mencintai,
hormat menghormati, dan setia member bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain. Dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban suami istri
tersebut harus didasarkan dengan rasa saling menghormati maupun saling
mencintai agar kekokohan berumah tangga tetap terjalin.
Pasangan yang kawin berbeda agama
yang awalnya hanya didasari dengan rasa cinta, lama kelamaan seiring
bertambahnya usia pasti akan merasakan akibatnya. Karena pada usia yang semakin
dewasa tentunya akan mengarah pada pemikiran tentang adanya kebahagiaan yang
kekal. Dan kebahagiaan disini tentunya tidak saja didasari dengan rasa cinta
itu sendiri tetapi juga harus didasari dengan rasa imam yang membimbing
pasangan untuk lebih taat pada penciptanya dalam mencapai kebahagiaan yang
kekal. Apabila semua itu tidak dimiliki dalam artian berbeda keyakinan, maka
didalam rumah tangga tersebut akan terasa renggang dan hampa.
Dan masalah perkawinan beda agama
apabila dikaruniai keturunan, tentunya akan berpengaruh pada kedudukan anak
serta mental anak dan bagaimana menjaga hubungan baik antara anak dan orang tua
mengenai perkawinan beda agama. Masalah – masalah yang timbul disini adalah berebut pengaruh agar anaknya mengikuti
agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi Muslim,
kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya menganut agama Kristen. Secara tidak
langsung telah menjadi suatu kompetisi bagi kedua pasangan orang tuanya demi
mempengaruhi agama mana yang akan di anut. Maka anak pun terbebani mentalnya
dalam memilih atau menganut agama mana yang akan di anutnya. Memang anak yang
baik dan terpuji yaitu anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan
menghormati semua segala perintah, akan tetapi ketika anak di hadapkan pada
masalah yang seperti ini anak pasti akan bingung mana yang harus di pilih,
psikologi anak bisa saja menjadi terganggu oleh permasalahaan orang tuanya.
Mereka bingung siapa yang harus di
ikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan
dan perkembangan kepribadian dimana nilai-nilai agama sangan berperan. Kalau
agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.
Pada azasnya, Hukum Perkawinan
Indonesia melarang terjadinya perkawinan antara kedua calon mempelai yang
berbeda agama atau keyakinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur dalam
pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Ketegasan pelarangan perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam pasal 8 huruf
(f) UU No. 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa perkawinan dilarang antara dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Ketegasan larangan perkawinan beda
agama adalah mutlak mengingat perkawinan bukan saja mempunyai unsure
lahir/jasmani, tetapi unsure batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Ketegasan larangan ini jelas menunjukan bahwa perkawinan merupakan suatu
perikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Larangan perkawinan beda agama bagi
pemeluk agama islam ditegaskan dalam pasal 44 KHI ( Komplikasi Hukum Islam)
dengan penegasan bahwa seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama islam, sedangkan bagi pria islam
menurut pasal 40 huruf ( c ) KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Larangan ini karena perkawinan
menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah SWT
dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaiman maksud pasal 2 KHI yang menegaskan
bahwa perkawinan menurut hokum Islam merupakan akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya adalah
ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci yang bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Yang menarik untuk menjadi
pertimbangan bagi mereka yang tetap ingin melangsungkan perkawinan beda agama
adalah masalah permeliharaan anak ketika terjadi perceraian dalam perkawinannya
tersebut. Sama seperti perceraian pada umumnya, masalah hak pengasuhan dan
pemeliharaan anak kerap terjadi masalah yang pelik. Namun yang lebih pelik dan
patut menjadi pertimbangan adalah potensi terjadinya pemurtadan atau pindah
agama pada si anak. Posisi si anak menjadi objek dari kepentingan orang tuanya.
Anak itu dapat mengalami kebingungan dan kesesatan karena diberikan pemahaman
agama yang berbeda-beda. Hal ini jelas bertentangan dengan kepentingan yang
terbaik bagi anak.
Perkawinan beda agama merupakan hal
yang prinsip dalam hokum islam. Oleh karena itu, dapat dimungkinkan, sebelum
perkawinan kedua mempelai beragama islam, tetapi setelah menjalani perkawinan
salah satu mempelai memeluk agam non-islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut
pasal 116 huruf ( k ) KHI dengan tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga sebagai penyebab atau
alasan terjadinya perceraian.
Jika hal itu terjadi, maka akibat hukum
dari perceraian terhadap anak-anak, menurut pasal 105 KHI ditentukan:
a. Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c. Biaya
pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya.
Bagi anak yang belum berumur 12
tahun, berdasarkan pasal 105 KHI di atas, tentunya hak pengasuhan dan pemeliharaan
si anak jatuh kepada ibunya. Jika si ibu adalah pemeluk agama islam, tidak
menjadi masalah. Tetapi kalau si ibu ternyata bukan pemeluk agama islam ?
Tentunya ini menjadi suatu hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan
baik-baik bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah Penyusun paparkan pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penjelasan
dari masing-masing agama mengenai perkawinan beda agama:
a. Perkawinan
beda agama menurut agama islam pada dasarnya diharamkan. Perkawinan ini
diharamkan karena di dalam Islam pernikahan haruslah tercipta suatu pernikahan
yang sakinah dalam keluarga, sehingga antara suami dan istri memiliki kesesuaian
arah dalam pandangan hidup.
b. Perkawinan
beda agama menurut agama Kristen protestan sangatlah tidak diperbolehkan,
karena didalam suatu ikatan pernikahan umatnya harus memiliki keyakinan yang
seiman agar dapat mencapai suatu keseimbangan hidup untuk mencapai suatu
kehidupan yang kekal dan abadi dihadapan Tuhan.
c. Perkawinan
beda agama menurut agama Khatolik tidak boleh terjadi dengan alasan apapun,
karena dalam ajaran khatolik pernikahan merupakan ikatan lahir batin tidak
hanya antara suami istri saja namun ikatan antara manusia dengan Tuhannya,
sehingga pernikahan itu haruslah didasari oleh kepercayaan yang sama kepada
Tuhan agar dapat menjalankan kehidupan secara bersama-sama untuk
selama-lamanya.
d. Perkawinan
beda agama menurut agama Hindu dilarang keberadaannya, karena bagi umat Hindu
pernikahan adalah suatu acara yang sangat sacral dimana suatu pernikahan harus
dilangsungkan melalui suatu ritual berdasarkan ajaran hindu untuk mencapai
suatu pernikahan yang sah, sehingga pasangan yang melangsungkan suatu
pernikahaan harus menganut agama yang sama, yakni agama hindu.
e. Perkawinan
agama menurut agama Budha tidak terlalu menjadi suatu larangan yang mutlak atau
disakralkan, karena yang menjadi dasar utama dari suatu pernikahan adalah suatu
kehendak yang kuat dan tulus dari
masing-masing pihak untuk melaksanakan suatu pernikahan sesuai dengan adat
budha tanpa harus menganut ajaran budha itu sendiri.
2. Akibat
hukum bagi anak apabila terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama :
a. Di
mata hukum seorang anak hanya berhak mendapatkan harta warisan dari salah satu
orang tuanya yang memiliki agama yang sama.
b. Seorang
anak baru bisa memilih sendiri hak pemeliharaan terhadap salah satu orang
tuanya setelah si anak berumur 12 tahun.
c. Selama
anak belum berumur 12 tahun, semua biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
B.
Saran-saran
Berdasarkan dari hasil penelitian
ini, maka Penyusun memberikan saran dan masukan atas hasil penelitian ini
sebagai berikut :
1. Bahwa
dengan melihat pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974, hendaklah sebelum melangsungkan
suatu pernikahan sebaiknya orang tua haruslah memikirkan bagaimana akibat hukum
dari adanya pernikahan tersebut dikemudian hari, karena jika perkawinan
dilangsungkan dengan perbedaan agama dapat berdampak bagi kedudukan hukum si
anak, dimana kedudukan si anak menjadi tidak sah. Hal ini lah yang menjadi
dasar agar kepada setiap pria dan wanita sebaiknya tidak melangsungkan
pernikahan yang secara undang-undang dilarang demi kepentingan masa depan
mereka dan anaknya kelak.
2. Bahwa
dengan melihat pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974, maka pencegah
perkawinan yang didasarkan pada perkawinan yang beda agama haruslah dilakukan
agar apabila terjadi perceraian dalam perkawinan yang beda agama di kemudian
hari tidak merugikan anak secara hukum. Dengan adanya perceraian dalam
perkawinan yang beda agama dapat berakibat
batin anak menjadi menderita karena kurangnya
kasih sayang yang didapat dari kedua orang tuanya secara utuh dan pendidikan
moral yang ada pada anak menjadi berkurang, dengan adanya perceraian beda agama
ini juga dapat menyebabkan kerugian tersendiri bagi anak yakni hak mewaris
terhadap orang tuanya menjadi terbatas, yakni hanya berhak mewaris kepada salah
satu orang tuanya saja yang memiliki agama yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku
– buku
Amiruddin
dan Zainal Asikin, 2008. Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo.
Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, 2006. Hukum
Perdata Islam Di Indonesia (Study Kritis Perkembangan Hokum Islam Dari Fiqh,
Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Sampai Kompilasi Hokum Islam ), Jakarta :
Kencana.
Hadikusuma,
Hilman, 2007. Hukum Perkawinan Indonesia
Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju.
Latif,
Jamil, 1982. Aneka Hukum Perceraian di
Negara Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mulyadi,
1996. Hukum Perkawinan Nasional,
Semarang : Fakultas Hukum UNDIP.
Mufidah,
Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan
Gender (Malang : Uin Press, 2008 )
Idris
Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam : Suatu
Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta : Bumi Aksara.
Indra,
M Ridwan : Hukum Perkawinan di Indonesia,
CV. Haji Masagung, Jakarta, 1994.
Prodjohamidjojo,
Martiman: Hukum Perkawinan Indonesia,
ILCP, Jakarta 2002 hal 59.
Soeimin,
Soedharyo, 2001. Hukum Orang dan
Keluarga. Persfektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Barat,
Jakarta : Sinar Grafika.
Sudarsono,
2005. Hukum Perkawinan Nasional,
Jakarta : Rineka Cipta.
2.
Peraturan
Perundang-undangan
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
Indonesia,
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Indonesia,
UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Indones
ia, UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
Indonesia,
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Indonesia,
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
3.
Artikel
dan Makalah
Agus
Abu Zadid, 2012. Perkawinan Nikah (dalam
kacamata islam)
Arikel,Pengaturan,2012,
Mengenai Perwalian Ditinjau dari
Persfektif Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dan Undang-undang No. 1 Tahun
1974.
Sekalilagi.com,
“Tentang Perkawinan Antar Agama “
diakses tanggal 3 November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar