Minggu, 03 April 2016

SKRIPSI KEDUDUKAN HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA



KATA PENGANTAR

Tiada kata lain selain mengucapkan puji syukur atas terselesaikannya skripsi ini dengan judul
 “ Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama”
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai Gelar Sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Mataram.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penyusun dapatkan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penyusun mohon maaf atas segala kekurangan.
Penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari pihak lain. Oleh karena itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendorong terwujudnya skripsi ini.
Segala kerendahan hati, penyusun mengucapkan terima kasih khususnya kepada:
1.      Bapak Syafril S.Pd., M. Pd Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Mataram.
2.      Bapak H. Zaini Bidaya, SH., MH. Selaku Ketua Program Studi PPKn Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Mataram.
3.      Bapak H. Zaini Bidaya, SH., MH. Selaku Dosen Pembimbing Pertama, yang telah memberikan petunjuk bagi penyusun dengan penuh dedikasi membantu untuk menyelesaikan skripsi ini.
4.      Bapak Drs. H.  M. Yunan HS, M. Pd selaku Dosen Pembimbing Kedua, yang telah memberikan petunjuk dan arahan bagi penyusun dari awal sampai tersusunnya skripsi ini.
5.      Bapak / Ibu Dosen Pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan ilmunya demi memperluas wawasan terhadap dunia ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu hukum pada khususnya.
6.      Seluruh Karyawan Tata Usaha Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Mataram yang telah membantu kelancaran dalam bidang administrasi.
7.      Suamiku yang telah menuangkan sayangnya selama ini, serta memberikan dukungan moral maupun materil.
8.      Anak-anakku yang ikut membantu segala kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penyusun berharap semoga hasil pemikiran yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana diharapkan. Amin.

Hormat saya,                          

   Penyusun                             







MOTTO



“MIMPI DAN ANGAN-ANGAN
TIDAK AKAN TERWUJUD
TANPA PERJUANGAN DAN PENGORBANAN”












DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………..1
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………………………..2
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… ………..3
KATA PENGANTAR……………………………………………………………… ………..4
MOTTO………………………………………………………………………………………..6
DAFTAR ISI………………………………………………………………………… ……….7
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………  …………8
ABSTRAK……………………………………………………………………………………...9
BAB I   PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang…………………………………………………………………10
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………….…   ……16
C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………….…………  ……….16
D.     Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………….…… ….17
BAB II  TINJAUAN PUSTAKA
A.     Tinjauan Umum Tentang Perkawinan……………………………………...18
2.1  Berlakunya Undang-undang Perkawinan…………………………………18
2.2  Pengertian Perkawinan……………………………………………………19
2.3  Pelaksanaan Perkawinan……………………………………………..…...21
2.4  Larangan Perkawinan……………………………………………..……...22
2.5  Pemutusan dan Berakhirnya Perkawinan…………………………..…….29
2.6  Konsep Perkawinan………………………………………………….…...30


BAB III  METODE PENELITIAN
A.     Metode Pendekatan…………………………………………………………….35
1.1    Jenis Penelitian………………………………………………..…………..35
B.     Sumber dan Jenis Bahan Hukum………………………………………..……..35
C.     Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum…………………….……..……37
D.     Analisis Bahan Hukum………………………………………………………...37
BAB IV  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.     Perkawinan beda agama menurut pandangan agama dan undang-undang no. 1 tahun 1974 di Indonesia……………………………………………………………………38
B.     Kedudukan hokum anak apabila terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama.....53
C.     Akibat hokum bagi anak apabila terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama.…62      
BAB  V  PENUTUP
A.     Kesimpulan……………………………………………………………………69
B.     Saran………………………………………………………………………..…70
DAFTAR PUSTAKA
            …………………………………………………………………………….…..72






ABSTRAK
Suryaningsih , 2016 : KEDUDUKAN HUKUM ANAK AKIBAT PERCERAIAN DALAM         PERKAWINAN BEDA AGAMA.
Dosen Pembimbing  I  : H. Zaini Bidaya , SH., MH
Dosen Pembimbing  II : Drs. H. M. Yunan HS, M.Pd

Perkawinan merupakan suatu hak yang asasi, oleh karena itu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin terlaksananya hal tersebut, dimana setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah agar dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan istri, manusia harus mengesahkannya dengan perkawinan, dan kemudian mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum. Namun kini banyak ditemukan fenomena dimana kehidupan masyarakat bahwa perkawinan beda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini kemudian akan berakibat pada status anak apabila terjadi perceraian antara orang tua yang melakukan perkawinan beda agama tersebut.
Berdasarkan latar belakang dari kasus yang diteliti maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana kedudukan hukum anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama dan bagaimana akibat hukum bagi dalam perkawinan beda agama anak apabila terjadi perceraian orang tuanya.
Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat normative dengan menggunakan jenis penelitian normative. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data skunder. Data primer diproleh dengan melakukan studi kepustakaan. Sedangkan data skunder diproleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen berupa pengumpulan bahan-bahan yang diproleh dari buku-buku, serta peraturan perundang-undangan. Setelah bahan dikumpulkan dan diteliti, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penelitian hukum anak menjadi tidak sah apabila berasal dari perkawinan yang tidak sah dari orang tuanya akibat adanya perkawinan beda agama, sehingga apabila terjadi perceraian akibat adanya perkawinan beda agama dari orang tuanya tersebut, maka kedudukan hukum anak yang lahir menjadi tidak sah menurut undang-undang. Perceraian akibat perkawinan beda agama juga menyebabkan si anak tidak mempunyai hak mewaris dari kedua orang tuanya dimata hukum.



Kata kunci : Kedudukan hukum anak, perceraian, dan perkawinan beda agama.
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk.
Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu dengan  yang  lainnya  oleh  karena  di  Indonesia  mengakui  adanya  bermacam- macam agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian dimungkinkan  dalam  Negara  Republik  Indonesia  yang  berdasarkan  Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama. Pasangan suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan, pada umumnya ingin memiliki keturunan dari perkawinan yang telah mereka lakukan, tetapi ada pula pasangan suami istri yang hidup bersama tanpa keinginan untuk mendapatkan keturunan.
Hal tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri yang telah lanjut usia. Adanya akibat hukum dalam berhubungan hidup bersama pada suatu perkawinan, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan tentang perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-syarat untuk peresmian, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama ini dalam suatu undang- undang, dalam hal ini UU Perkawinan. Sebelum lahirnya UU Perkawinan yang merupakan peraturan perundang- undangan yang bersifat Nasional, Pemerintah mengadopsi peraturan dari Zaman Pemerintah   Hindia   Belanda   yang   membagi   masyarakat   kedalam   beberapa golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di Indonesia diatur dalam:
1.      Bagi  orang  Indonesia  asli  yang  beragama  Islam  berlaku  Hukum Agama Islam.
2.      Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing- masing.
3.      Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI.
4.      Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. ( Selanjutnya disebut KUH Perdata).
5.      Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.
Sebelum lahirnya UU Perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat masing-masing. Menurut hukum adat, perkawinan adalah suatu   ikatan   antara   seorang   laki-laki   dengan   seorang   perempuan   untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat. Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan  dan  harta  kekayaan  seseorang  dalam  kehidupan  bermasyarakat. Disamping hal tersebut, pada saat itu dikenal pula yang namanya “perkawinan campuran”  yaitu perkawinan  campuran antar  golongan,  perkawinan  campuran antar tempat dan perkawinan campuran antar agama. Saat ini yang dimaksud perkawinan campuran hanyalah untuk perkawinan internasional.
Setelah berlakunya UU Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga negara oleh karena itu, setiap warga negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap UU Perkawinan yang  menjadi  landasan  untuk  menciptakan  kepastian  hukum, baik  dari  sudut hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan.
Ketentuan   Pasal   2   ayat   (1)   UU   Perkawinan   menjelaskan   bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan prinsip perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama masing-masing adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah.
Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang  diakui  oleh  Negara.   Menurut  Subekti  sebagaimana  dikutip  pada  buku Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah hidup   bersama   antara   seorang   laki-laki   dengan   seorang   perempuan   yang  memenuhi syarat-syarat  yang  termasuk dalam  peraturan      hukum.
Dalam ajaran agama islam perkawinan ini memiliki nilai ibadah, pada pasal 2 kompilasi hukum islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya juga merupakan ibadah. Jika ikatan antara suami isteri sedemikian kokohnya maka tidak sepatutnya dirusakkan dan disepelekan, setiap usaha untuk melenyapkan hubungan perkawinan seharusnya sedapat mungkin di hindari karena perceraian itu merupakan perbuatan halal yang di benci oleh Allah SWT.
Akad perkawinan dalam Hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (misaqan galiza) yang terkain dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Namun seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan harus berakhir di tengah perjalanan. Ahmad kuzari dalam pendapatnya menyatakan bahwa : “sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan ataua dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat lepas yang lemudian dapat di sebut dengan talak. Makna dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian”.
Meskipun demikaian perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan terakhir setelah melakukan ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan dengan maksud mempertahankan serta memperbaiki kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lagi kecuali dengan perceraian antara pasangan suami inters tersebut.
Terjadinya perceraian dalam rumah tangga mengakibatkan dampak atau pengaruh yang buruk pada perkembangan mental atau jiwa anak, terutama anak yang masih berada di bawah umur. Akibat dari perceraian kedua orang tuanya, maka kehidupan anak dalam keluarga tidak lagi berjalan normal kerna tidak lain mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya selayaknya sebuah keluarga yang utuh. Demikian juga di lingkungan pergaulannya, seorang anak yang orang tuanya telah bercerai akan timbul rasa iri melihat teman-temannya yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah, karena selalu membandingkan dengan hidupnya yang kelam. Selain itu, pengaruh besar dampak perceraian pada anak akan mengalami rasa traumatik melihat orang tuanya tidak bersama lagi.
Dengan terjadinya perceraian ini, maka kekuatan orang tua  berakhir dan berubah menjadi perwalian. Oleh karena itu, jika perkawinan di putus oleh hakim maka harus pula di atur tentang perwalian anak-anak yang masih di bawah umur. Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang masih berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana di atur dalam undang-undang.
Pada dasarnya perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak masih belum bisa atau belum cakap dalam bertindak hukum. Oleh karena itu maka perlulah ada seorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan  memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus dan melindungi anak dan hartanya.
Ketentuan-ketentuan ini disebut sebagai salah satu cara penyelundupan hukum bagi perkawinan beda agama. Perkawinan yang dijalani dengan pebuh keharmonisan pada awalnya apabila tidak dijaga dengan baik, akan menimbulkan ketidakcocockan diantara keduanya sehingga kebanyakan salah satu pasangan menginginkan adanya perceraian. Perceraian merupakan salah satu sebab dari putusnya perkawinan berarti dalam hal ini berakhirnya hubungan suami istri.
Perceraian yang dilakukan antara suami istri yang memiliki agama dan keyakinan yang sama tidak ada masalah dalam pengajuan permohonan/gugatannya kepada pengadilan, karena jelas jika perceraian itu dilakukan oleh mereka yang memiliki agama islam maka pengadilan agama yang memutusnya, namun jika perceraian dilakukan oleh mereka yang menganut agama diluar islam maka pengadilan negeri yang akan memutusnya karena sesuai dengan kewenangan absolute suatu pengadilan. Hal ini menjadi dilema jika perceraian itu dilakukan oleh mereka yang melakukan perkawinan beda agama yang dilangsungkan diluar negeri dan juga kebanyakan penyelesaian percerainnya dilakukan di pengadilan negeri. Disini timbul pertanyaan apakah pengadilan negeri berwenang memutus perceraian beda agama ini. Dimana diketahui bahwa Negara Indonesia sendiri tidak mengakui adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Disini terjadi suatu ketidakpastian dalam system hukum Indonesia, karena undang-undang
tidak melarang perkawinan beda agama ini secara tegas, sehingga banyak pihak yang menginginkan perkawinan beda agama ini, dengan menggunakan cara-cara tertnetu untuk melangsungkan perkawinannya dengan memanfaatkan celah hukum yang ada dalam undang-undang perkawinan ini.
Berdasarkan uraian penjelasan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama”
A.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, selanjutnya dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana kedudukan hukum anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama
2.      Bagaimana akibat hukum bagi anak adalam perkawinan beda agama apabila terjadi perceraian orang tuanya.
B.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini mempunyai tujuan secara umum sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui kedudukan hukum anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama
b.      Untuk mengetahui akibat hukum bagi anak apabila terjadi perceraian
2.      Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberi sumbangan dan masukkan terhadap masyarakat sehingga mereka lebih dapat mengetahui dan memahami mengenai Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian
dalam Perkawinan Beda Agama.
b.      Bagi Masyarakat
Memberi sumbangan pengetahuan dalam bidang Hukum pada umumnya serta Hukum Perkawinan pada khususnya terutama mengenai Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian dalam Perkawinan Beda Agama.
c.       Bagi Peneliti
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi, sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam ilmu Pendidikan Kewarganegaraan di Fakultas Kegurauan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammdiyah Mataram disamping wawasan dan pengetahuan mengenai Kedudukan Hukum Anak Akibat Perceraian dalam Perkawinan Beda Agama.




C.     Ruang Lingkup Penelitian
Agar tidak terjadi pembiasan dalam pembahasan maka dalam penulisan, penyususn menitikberatkan pada ruang lingkup pembahasan tentang kedudukan hukum anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama dan akibat hukum bagi anak apabila terjadi perceraian.

















 BAB  II
                                                        TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
2.1   Berlakunya Undang-Undang Perkawinan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia terdapat beraneka ragam hukum perkawinan yang berlaku bagi berbagai golongan penduduk dari berbagai daerah, yaitu sebagai berikut (Mulyadi, 1 :1996) :
1.      Bagi  orang  Indonesia  asli  yang  beragama  Islam  berlaku  Hukum Agama Islam.
2.      Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing- masing.
3.      Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI.
4.      Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. ( Selanjutnya disebut KUHPerdata).
5.      Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.
Sebenarnya bangsa Indonesia telah lama bercita-cita untuk mempeunyai undang-undang yang mengatur tentang perkawinan secara nasional, yang berlaku bagi semua bangsa Indonesia. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan bahwa, yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Perdata untuk Perkawinan dan segala sesuatu yang berhungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan (burgerlijk wetboek), Ordonantie Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Untuk Ordonantie Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74), Peraturan perkawinan campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken, S. 1989 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah di atur dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Meskipun pasal dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut menentukan demikian, Mulyadi (1996) berpendapat bahwa :Pasal 66 diatas tidaklah mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen ( Huwelijken Ordonantie Christen Indonesieners, S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan, melainkan sejauh telah diatur dalam Undang-Unadng Nomor 1 Thaun 1974.
Dalam Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan, bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada saat tanggal diuandangkan, sedangkan pelaksanannya secara efektif lebih lanjut akan diatur secara khusus dengan Pertauran Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975.
Sebagaimana diketahui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur :
a.       Pencatatan Perkawinan
b.      Tata Cara Perkawinan
c.       Akta Perkawinan
d.      Tata Cara Perceraian
e.       Pembatalan Perkawinan
f.       Waktu Tunggu
g.      Beristri Lebih Dari seorang
·            Sedangkan hal-hal mengenai :
a.       Harta benda yang beredar dalam perkawinan
b.      Hak dan kewajiban orang tua dan anak, serta
c.       Kedudukan anak dan perwalian
2.2   Pengertian Perkawinan
Istilah perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan dengan al-nikah yang bermakna al-wathi’dan al-dammu wal al-tadakhul. Yang terkadang disebut juga dengan istilah al-dammu wa al-jam’u, atau ibarat’an al-wath’ wa al-‘aqad yang berarti bersetubuh, berkumpul dan akad. Wahab al-Zuhaily, seorang ulama fikih berpendapat sebagai berikut : “Akad yang memperbolahkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan”.
Hazairin berpendapat bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah adanya hubungan seksual. Senada dengan pendapat Hazairin, Mahmud Yunus mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan seksual. Menurut kedua pakar Indonesia ini, tidak ada nikah (perkawinan) apabila tidak ada hubungan seksual.
Didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tepatnya pada Pasal 1 ayat (2), mengatakan bahwa perkawinan adalah :”ikatan lahir batun antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pencantuman kalimat “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena Negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsure lahir atau jasmani saja, tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani (Idris Ramulyo 2 :1974).
Sedangkan pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat pada pasal 2 yang menyatakan bahwa pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Kata miitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman Allah SWT yang terdapat pada Surah An-nisa’ ayat 21 yang artinya: “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsaqan ghalidhan).
Tujuan perkawinan mencakup aspek personal dan sosial, aspek personal meliputi penyaluran
kebutuhan biologis yang tidak bertentangan dengan agama dan kaidah hukum yang ada. Mufida, Ch (107:2008) berpendapat ada tiga hierarki kebutuhan dalam perkawinan, meliputi :
1)      Kebutuhan fisiologis, seperti penyaluran hasrat pemenuhan kebutuhan seksual yang sah dan normal
2)      Kebutuhan psikologis, ingin mendapatkan perlindungan, kasih sayang, ingin merasa aman, ingin melindungi dan ingin dihargai.
3)      Kebutuhan sosial, memenuhi tugas sosial dalam suatu adat keluarga yang lazim bahwa menginjak usia dewasa  menikah merupakan cerminan dari kematangan sosial. Kebutuhan religi, sebagai realisasi terhadap perintah agama.
2.3   Pelaksanaan Perkawinan
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), pengaturan tentang cara yang mendahului perkawinan diatur dalam pasal 50-58, sedangkan tentang pelaksanaan perkawinan diatur dalam Pasal 71-78. Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa : “semua orang yang hendak kawin harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Sipil ditempat tinggal salah satu dari kedua pihak”.
Selanjutnya menurut Pasal 51 menyatakan bahwa :”Pemberitahuan itu harus dilakukan, baik sendiri, maupun dengan surat-surat yang cukup dengan memperlihatkan kehendak kedua calon suami-istri, dan tentang pemberitahuan itu oleh pegawai catatan sispil harus dibuat sebuah akta”.
Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur tentang pemberitahuan ini, melainkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 3 Ayat 1 menyatakan bahwa : “setiap orang yang akan memberitahukan perkawinan untuk memberitahukan kehendakanya itu kepada Pegawai Pencatatan ditempat perkawinan akan
dilangsungkan”. Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon suami sitri tersebut.
Pemberitahuan ini dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinannya   
dilakukan, kecuali karena adanya alasan penting yang diberikan oleh Camat atas nama Kepala Daerah (PP No 9 Tahun 1975). Selanjutnya, dilakukan pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatatan Nikah yang diangkat oleh Menteri agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya (UU No 32 Tahun 1954, Pasal 1 Ayat 2).
Perkawinan dilakukan setelah hari kesepuluh sejak kehendak perkawinan diumumkan Oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, yang pelaksanaannya dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
2.4   Larangan Perkawinan
Dari berbagai pandangan hukum, ada larangan-larangan terntu untuk melakukan perkawinan. Meskipun pada dasarnya seorang laki-laki dapat menikah dengan wanita manapun, tetapi tentu ada batasan-batasannya. Apabila melihat kembali pada Pasal 50 Kitab Undang-Undang hukum Paerdata (BW), pada pasal 30-35 menyebutkan larangan perkawinan adalah sebagai berikut (Hadikusuma,  Hadikususma 57 :2007) :
1.      Antara mereka satu dengan yang lain beratlian keluarga dalam garis lurus keatas dan kebawah, baik karena kelahirannya yang sah atau tidak sah atau karena perkawinan;
2.      Antara mereka yang beratlian keluarga dalam garis menyimpang antara saudara pria dan saudara wanita yang sah atau tidak sah;
3.      Antara ipar pria dan ipar wanita karena perkawinan sah atau tidak sah, kecuali si suami atau si istri yang mengakibtakan periparan sudah meninggal atau jika karena keadaan tidak hadirnya suami atau istri, terhadap istri atau suami yang ditinggalkannya, oleh hakim dijinkan untuk kawin dengan orang lain.
4.      Antara paman atau paman orang tua dan anak wanita saudara atau cucu wanita saudara, seperti juga bibi atau bibi dari orang tua dan anak pria saudara atau cucu pria dari saudara yang sah atau tidak sah.
5.      Antara mereka yang perkawinannya telah dibubarkan karena putusan hakim setelah pisah meja dan ranjang, atau karena perceraian, kecuali setelah lewati waktu satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang terakhir. Perkawinan yang kedua kalinya antara orang-orang yang sama dilarang.
6.      Seorang wanita dilarang kawin lagi kecuali setelah lewat waktu 300 hari sejak perkawinannya terakhir dibubarkan.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, larangan perkawinan terdapat pada Pasal 8, yang melaranag dilakukannya perkawinan apabila (Soeimin 13: 2001) :
1.      Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
2.      Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kesamping, yaitu antara saudara, anatara seseorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan saudara neneknya;
3.      Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak/tiri.
4.      Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi /paman susuan;
5.      Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau sebagai kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
6.      Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin.
Dengan demikian, larangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyangkut beberapa larangan, larangan yang berkaitan terhadap seseorang yang mempunyai hubungan darah, hubungan semenda, hubungan susuan, hubungan periparan dan hubungan yang mempunyai hubungan dengan larangan agama, serta tidak disebtkan adanya larangan menurut Hukum Adat kekerabatan (Hadikusuma,  59:2007).

Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang hanya memuat secara singkat hal-hal mengenai perkawinan termasuk larangan kawin, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan lebih rinci dan tegas. Bahkan dalam hal ini, KHI mengikuti sistematika Fikih yang berlaku. Mengenai larangan kawin ini dimuat pada Bab VI Pasal 39-44.
Di dalam Pasal 39 dinyatakan yaitu : dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita disebabkan :
1.      Karena pertalian nasab :
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b.      Dengan seorang wanita keturuan ayah dan ibu;
c.       Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya;

2.      Karena pertalian kerabat semenda :
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
b.      Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
c.       Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al-duhkul;
d.      Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya;

3.      Karena pertalian sesusuan :
a.       Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus keatas;
b.      Dengan seorang wanita seseusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah;
c.       Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesususan ke bawah;
d.      Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e.       Dengan anak yang di susui oleh istrinya dan keturunannya.
Sedangkan larangan yang bersifat mu’aqqat seperti yang dimuat pada Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu sebagai berikut :
1.      Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
2.      Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain
3.      Seorang wanita yang tidak beragama Islam
Pasal 41 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena sepersusuan :
1.      Seorang pria dilarang memandu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sepersusuan dengan istrinya :
a.       Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
b.      Wanita dengan bibinya atau keponakannya
2.      Larangan pada ayat 1 (satu) itu tetap berlaku meskipun istrinya telah ditalak raj’I tetapi
3.      masih dalam masa ‘iddah
·         Selanjutnya dalam pasal 54 Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa :
1.      Selama seorang masih dalam kedaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah
2.      Apabila terjadi perkawinan dalam kedaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam ihram, perkawinannya tidak sah.
Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristri empat  (4) dan masih terikat dalam perkawinan atau ditalak raj’I masih dalam masa ‘iddah. Dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa :“seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempuanyai empat istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam ‘iddah talak raj’I ataupun salah seorang diantaranya mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya masih dalam ‘iddah talak raj’i”.
Jelaslah bagi seorang suami yang ingin memiliki lebih dari satu orang istri dalam Hukum Islam dibatasi sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan. Jika ingin menikah lagi untuk yang kelima kalinya maka terlebih dahulu harus menceraikan salah seorang istrinya. Namun harus diingat bahwa kebolehan untuk menikah lebih dari seorang istri itu harus melalui prosedur tertentu dan syarat-syarat yang cenderung sangat ketat (Amir dan Azhari 152:2006).
Selanjutnya larangan kawin juga berlaku antara laki-laki dengan bekas istrinya yang telah ditalak ba’in (tiga) sampai bekas istrinya tersebut telah melangsungkan pernikahan dengan pria lain dan telah terjadi perceraian lagi. Larangan terhadap istri yang telah ditalak tiga diatur dalam pasal 43 KHI yang berbunyi :
1.      Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a.       Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
b.      Dengan seorang wanita bekas istrinya yang telah di li’an
2.      Larangan tersebut pada ayat satu (1) huruf a gugur kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’dal al dukhul dan telah habis masa ‘iddahnya.
Selanjutnya didalam Pasal 44 KHI dinyatakan bahwa : “seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam”.
Dengan demikian, berkaitan dengan larangan perkawinan yang termuat dalam fikih, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari Fikih, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Meskipun demikian, masih ada satu bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu Nikah Mut’ah, yang artinya perkawinan antara seorang laiki-laki dengan seorang wanita yang dibatasi oleh waktu tertentu.
      2.5   Pemutusan dan Berakhirnya Perkawinan
Sebagai mana yang disebut dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas dietanh jalan yang menyebabkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun putusan pengadilan.
Dalam Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan ada 4 (empat) cara putusnya perkawinan, yaitu :
1.      Karena kematian;
2.      Karena keadaan tak hadir suami atau istri, selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan dari istrinya atau suaminya;
3.      Karena keputusan hakim setelah ada perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil atau BS (Burgerlijek Stand);
4.      Karena perceraian.
Selanjutanya pada psal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa :
1.      Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
3.      Tata cara perceraian didepan siding pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan sendiri.
Sedangkan mengenai hal-hal yang dapat menjadi alasan yang menyebabkan terjadinya perceraian terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19, yang terdiri dari
1.      Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
4.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
5.      Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengakar dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Jika ada hal-hal lain yang dapat menjadi dasar untuk menuntut terjadinya perceraian perkawinan, salah satu pihak baik suami ataupun istri berhak untuk menuntut untuk pisah meja dan ranjang. Gugatan perceraian perkawinan harus di ajukan ke Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya suami mempunyai tempat tinggal pokok pada waktu mengajukan permohonan atau tempat tinggal sebenarnya bila tidak mempunyai tempat tinggal pokok (Hadikusuma,  150:2007).
        2.6  Konsep Perwalian
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa, pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria (Abu, 1 :2012).

Seperti diketahui bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada juga disebutkan pengertian dari perwalian itu, yaitu pada Pasal 330 Ayat 3 menyatakan : “mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Didalam sistem perwalian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada dikenal beberapa asas, yakni :
1.      Asas tidak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)
Pada setiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu :
a)      Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b)      Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige di luar Indonesia didasarkan pada Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.      Asas persetujuan dari keluarga
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalu tidak dating sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3.      Orang-orang yang ditunjuk sebagai wali
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu :
a)      Perwalian oleh suami atau istri yang hidupn lebih lama, pasal 345-354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan :“apabila ada salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum di pangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya”.
b)      Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.
Pasal 355 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan hakim menurut ayat terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain”.
c)      Perwalian yang diangkat oleh Hakim
Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan :“semua Minderjarige yang berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh pengadilan”.
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perihal mengenai perwalian ditentukan pada pasal 50, yang menyebutkan :
1.      Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
2.      Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
·         Selanjutnya pasal 51 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa :
1.      Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi.
2.      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
3.      Wali wajib mngurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.
4.      Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu
5.      memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
6.      Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Sedangkan pengertian perwlian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perubahan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
1.      Perwalian hanya terhadap anak yang mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2.      Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
3.      Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salahs eorang kerabat untuk betrindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
4.      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan atau badan hukum.




















 BAB   III
METODE PENELITIAN

A.    Metode Pendekatan
3.1              Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum sekunder dan merupakan suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, juga menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.
·         Untuk menjawab masalah dalam penelitian ini, digunakan pendekatan sebagai berikut :
1.      Pendekatan perundang-undangan (statute Approach) yakni mengkaji peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah yang dibahas.
2.      Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan dengan mengkaji konsep-konsep atau pandangan para ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
B.     Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan penyusunan untuk mendapatkan data yang valid dan akurat adalah sebagai berikut :
a.       Sumber Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bahan Hukum Sekunder yang bersumber dari studi Kepustakaan.
Studi kepustakaan adalah bahan hukum yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, literature, pendapat para sarjana, penelitian hukum, majalah hukum, jurnal hukum dengan melakukan penelaahan kepustakaan dengan membaca, mengkaji, dan memilah bahan hukum yang ada kaitannya dengan objek atau judul penelitian.
b.      Jenis Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1)      Bahan Hukum Primer, bahan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terdiri dari : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Tasa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
2)      Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, symposium yang dilakukan oleh pakar terkait dengan permasalahan yang angkat dalam penelitian ini dan seterusnya.
3)      Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang member petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.
C.    Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen berupa pengumpulan bahan-bahan yang diperoleh dari buku-buku serta peraturan perundang-undangan. Setelah bahan dikumpulkan dan diteliti, maka kemudian bahan di olah, dipelajari dan disusun secara sistematis, logis, dan yuridis guna memperoleh kesimpulan yang jelas mengenai objek yang diteliti.
D.    Analisis Bahan Hukum
Sebelum melakukan analisa, analisa kualitatif, yaitu menelaah, mengakaji konsep-konsep hukum maupun asas-asas hukum dalam peraturan perundang-undangan, guna memperoleh dan mendapatakan dalil-dalil dan argumentasi, sehingga pada akhirnya diperoleh kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang diajukan, serta dianalisis secara deskriptif, yaitu menggambarkan apa yang menjadi jawaban atas pertanyaan dalam skripsi ini sehingga mendapatkan jawaban dari permasalahan penelitian.







BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.          Perkawinan Beda Agama Menurut Pandangan Agama Dan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di Indonesia.

Perkawinan beda agama di Indonesia merupakan salah satu polemik yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas dan tuntas walaupun di Indonesia sudah memiliki UU Nomor 1 tahun 1974 yang menjadi payung hukum dalam perihal perkawinan, namun pada pelaksannya masih banyak kekurangan, sebut saja perkawinan beda agama yang belum di atur secara tegas dalam undang-undang tersebut padahal dalm realita sosial kemasyarakatannya Indonesia yang banyak agama, artinya Negara Indonesia bukan hanya mengakui satu agama saja sebagai agama Negara melainkan ada 5 (lima) agama yang telah diakui yaitu : Islam, Kristan protestan, khatolik, Hindu dan Budha, Khonghucu.
Apabila kita teliti dengan cermat pasal demi pasal serta penjelasan yang termaksud dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka kita tidak akan menemukan secara pasti mengenai perkawinan antar agama. Maka wajar jika muncul aneka penafsiran dan masalah, sebab persoalannya apakah UUP Nomor 1 Tahun 1974 itu memperbolehkan atau melarang perkawinan antar orang yang berbeda agama.
Namun jika kita melihat penjelasan yang ada di beberapa pasal yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 kita dapat menemukan beberapa pernyataan yang menyebutkan hal-hal yang terkait dengan perbedaan agama didalam suatu perkawinan. Berikut pasal-pasal yang menjelaskan mengenai dampak adanya perbedaan agama atau keyakinan dalam suatu perkawinan :
Pasal 2 (1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Syarat-syarat perkawinan pasal 6 (6) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 8 butir f. Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin.
Sehingga dapat kita simpulkan perkawinan beda agama secara garis besar dilarang pelaksanaannya di Indonesia dan memang dalam sebaiknya di hindari karena akan menimbulkan masalah hukum bagi kedua belah pihak dikemudian hari sebagaimana yang telah dirumuskan dalam beberapa pasal di atas. Akan tetapi didalam masyarakat dewasa ini, banyak terjadi perkawinan beda agama yang di langsungkan. Banyak dari mereka yang terlibat dalam perkawinan tersebut memang kurang mengetahui dampak perkawinan beda agama itu sendiri. Mereka pada umumnya tidak memikirkan tentang dampak yang mereka alami setelah perkawinan tersebut jadi. Mereka yang mengutamakan hal bagaimana agar mereka bisa menyatukan hubungan mereka hanya pada saat itu saja. Apabila kita mencari sebab dari timbulnya hal seperti ini di masyarakat, maka kita akan menemukan berbagai macam factor penyebab mereka yang jadikan landasan dalam melakukan perkawinan tersebut.
Dalam hal ini, hal yang mendasarkan bukan karena mereka tidak mengetahui aturan yang ada dan yang berlaku (UU ataupun hukum dari agamanya masing-masing), namun kebanyakan disebabkan oleh rasa cinta dari keduanya dan tidak ingin dipisahkan oleh siapapun, apakah itu keluarga dari kedua belah pihak, bahkan oleh aturan sekalipun, yang mereka inginkan hanyalah bagaimana agar tali kasih yang telah mereka bina dapat dilanjutkan pada jenjang perkawinan, yang mungkin telah menjadi komitmen bersama dari kedua pasangan tersebut.
Inilah salah satu kendala yang dihadapi bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan, namun terbentur pada aturan yang ada yaitu oleh persoalan pada perbedaan agama yang di anut dari mereka yang akan melangsukan perkawinan tersebut. Dimana dalam perkembangan terakhir, jalan bagi pemeluk agama islam dalam melaksanakan perkawinan semacam ini telah di tutup sama sekali, namun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa hal-hal seperti ini masih saja dapat kita temui dimasyarakat.
Berikut penulis akan membahas berbagai pandangan dari ke lima agama yang ada di Indonesia dan Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap beda agama, yakni :
1.    Agama Islam
Menurut agama islam, Islam sendiri sebagai agama yang di anut oleh mayoritas penduduk Indonesia sebenarnya menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Islam memang mengharamkan perkawinan beda agama, tapi disisi lain pendapat para ulama juga ada yang membolehkan. Meskipun pendapat itu banyak mengundang kontrofersi, tapi di dalam Al-Quran juga tidak terdapat larangan secara tegas tentang adanya perkawinan beda agama dilarang atau pun di bolehkan. Pada umumnya perkawinan beda agama menurut islam di bagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Perkawinan anatara pria muslim dengan wanita Non-Muslim dan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria Non-Muslim.
Maka dari itu, perkawinan antara pria muslim dengan wanita non-muslim tapi ahli kitab itu dibolehkan karena, ahli kitab disini juga belajar tentang injil-injil dan taurat sama halnya dengan yang diajarkan islam yang telah diturunkan Allah SWT. Aturan-aturan hukum agama yang bersumber dari Al-Quran intinya sama dengan yang diajarkan pada ahli kitab, jadi menurut para sebagaian ulama, perkawinan tersebut dibolehkan karena dalam melangsungan perkawinan tersebut, pria muslim bisa dengan mudah membimbing pasangan wanitanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga sehingga kalau wanita ini benar-benar berpegang teguh pada injil dan taurat maka para menurut ulama mereka akan menganut agama islam. Keputusan ini merupakan ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Quran dan Hadist dalam suatu perkara yang terjadi. Larangan perkawinan beda agama antara wanita muslim dengan pria non-muslim juga disebabkan oleh karna dikhawatirkan wanita muslim akan meninggalkan agamanya dan mengikuti agama pria yang akan dikawininya. Karena pria adalah kepala rumah tangga, maka besar kemungkinan pria non muslim akan mengajak istrinya yaitu wanita muslimah untuk mengikuti agama atau keyakinannya.
Di dalam kompilasi hukum islam yang ada menyangkut perkawinan beda agama. Hal itu dapat dijumpai dalam 4 tempat, yaitu pada Pasal 40 dan 44 Bab VI tentang larangan, Kompilasi Hukum Islam melarang umat islam melakukan perkawinan dengan non muslim. Kemudian Pasal 61 Bab X tentang pencegahan perkawinan, maka perkawinan dapat dicegah oleh orang-orang yang telah diberi hak untuk melakukan pencegahan.Terakhir pada Pasal 116 Bab XVI tentang putusnya perkawinan,maka perkawinan pasangan suami istri yang sama-sama beragam Islam dapat putus akibat salah satu dari mereka keluar dari islam.
Pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim telah diatur dalam Al-Quran  Surat Al-Maidah ayat 5,yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab,tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan,maka Allah SWT pasti akan menegaskanya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan mahruf Al-Mukhalafah, secara implicit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.
 Dalam kitab tafsir Al-Tabati karya Imam Ibnu Jarir At-Tabari, menuturkan Hadis Riwayat Jabir Bin Abdillah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Kami (kaum muslim) menikahi wanita ahli kitab, tetapi mereka (pria ahli kitab) tidak boleh menikahi wanita kami”
·            Berikut juga beberapa penjelasan yang dijadikan dasar hukum mengenai perkawinan beda agama menurut ahli (para ulama) :
1.      Penjelasan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
Menurut Hamka, yang dimaksud dengan ahli Al-kitab adalah yahudi dan nasrani. Dia tidak memberikan kreteria tertentu sehingga dengannya yahudi dan nasrani tersebut dapat disebut sebagai ahli Al-kitab. Bahkan, orang nasrani mempersekutukan Al-masih dengan tuhan pun, dia katagorikan sebagai ahli Al-kitab. Hamka berkata:
“Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab sama juga dengan musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah SWT dengan Isa Almasih, mengatakan Al masih anak Allah SWT. Padahal soal ini telah diperbincangkan sebelum ini dalam surat Al-Nisa dan akan dibicarakan lagi beberapa ayat sesudah ini. Di dalam surat ini sendiri. Soal orang Nasrani mempersekutukan Al-Masih dengan Allah SWT adalah masalah yang berdiri sendiri. Sekarang dating ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah bahwa ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan lain terhadap Isa al-Masih, namun makanan mereka halal kamu makan”.
Hamka mengemukakan pandangan para ulama dalam kita-kitab Fiqh yang menerangkan bahwa seorang suami muslim, jika di minta oleh istrinya yang Nasrani tersebut untuk menemaninya ke gereja, patutlah sang suami itu mengantarnya, dan dirumah, sang suami jangan  menghalai istrinya itu untuk mengerjakan agamanya. Kebolehan mengawini perempiuan ahli Al-Kitab ini menurut Hamka adalah bagi laki-laki muslim yang kuat ke-islamannya (keagamaannya).
2.      Penjelasan M. Qurasih Shihab
M. Qurasih Shihab, beliau mengatakan larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan pria non muslim- termaksud pria ahli al-kitab, diisyaratkan oleh Al-Quran. Isyarat ini di tahani dari redaksi surat Al-Baqarah: 221, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita ahli al-kitab, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahann semacam itu diperbolehkan, pasti ayat itu akan menegaskan.
وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِين حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {221}
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221).
Larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu agaknya di latar belakangi oleh harapan akan lahitnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tentram terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria muslim dan perempuan ahli al-kitab (utu al-kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak saat itu, tetapi juga karena seorang muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah membawa ajaran agama. Sehingga pria yang biasanya lebih kuat dari wanita jika beragama islam, dapat menoleransi dan mempersilahkan ahli al-kitab menganut dan melaksanakan syari’at agamanya. Lakum dinukum wa liya din ( bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku) (Q.S. Al-Kafirun: 6).
3.      Pandangan Imam Al-Qurtubi.
Pandangan imam Al-Qurtubi tantang nikah berbeda agama dapat di lihat dalam kitab tafsirnya Al-Jami’li Ahkam Al-Quran, jus 2 halaman 235-236. Ayat yang dijadikan penjelasan adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan surat Al-Maidah ayat 5. Surah Al- Baqarah ayat 221 mengharamkan mengawini wanita-wanita musyrikah kemudian surah Al-Maidah ayat 5 menasakh sebagaian hokum yang ada didalam surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut. Wanita-wanita ahli al-kitab di halalkan oleh surat Al-Maidah ayat 5. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Ibn ‘Abbas, Demikian juga dikatakan oleh Malik bin Anas dan Sufyan bin Sa’id al-Tsuri dan ‘Abdurrahman bin Umru al-Auza’i.
Menurut Qatadah dan Sa’id bin Jubair bahwa lafas ayat 221 surah al-baqarah tersebut umum, masuk di dalamnya setiap wanita kafir, tetapi yang dimaksud adalah khusus. Jadi didalam ayat itu tidak termaksud al-kitabiyat. Kekhususan tersebut dapat diketahui dari adanya ayat 5 surat al-maidah. Pendapat seperti ini juga dikatakan sebagai salah satu pendapat Imam Syafi’I’.
2.      Agama Kristen Protestan.
Pada prinsipnya perkawinan beda agama menurut Kristen juga sangat tidak dibolehkan dan menghendaki agar penganut agama Kristen untuk tetap menikah dengan pasangan yang seagama. Karena bagi Kristen, tujuan dari perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan suami, isteri dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga yang abadi dan kekal. Untuk itu, apabila mereka yang menikah dengan berlainan agama maka rumah tangga mereka akan sulit untuk mencapai kebahagiaan. Hal tersebut terdapat juga di dalam Alkitab yang tercantum dalam 2 Korintus Pasal (6) ayatnya ke – 14 yang berbunyi : “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orangorang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”

Pernyataan tersebut merupakan larangan terhadap seorang Kristen dengan non-kristen, karena jelas-jelas merupakan pasangan yang tidak seimbang. Perkawinan Kristen mencerminkan hubungan Kristus dengan jemaat. Hubungan Kristus dengan jemaat adalah hubungan yang eksklusif dan kudus. Di Alkitab pun dijelaskan bahwa suami istri mengasihi istri sama seperti mengasihi Kristus. Dan istri harus tunduk kepada suami seperti tunduk kepada Kristus. Jadi jelas bahwa suami istri harus sama-sama mengasihi Kristus (beriman pada Kristus) dan menjadikan Kristus sebagai pemimpin bahtera perkawinan mereka tapi, di sisi lain, alkitab juga tidak melarang adanya perkawinan beda agama antara Kristen dengan non-kristen asalkan tidak pada orang yang kafir yang tidak percaya adanya Tuhan maupun mereka yang menyembah berhala.
Pada prinsipnya Kristen mengajarkan umatnya untuk saling menyayangi dengan cinta kasih dan mengajarkan untuk menjaga kekudusan Allah dengan tidak kawin dengan berbeda agama melainkan kawin dengan seagama, walaupun demikian dalam Alkitab juga tidak menghalangi adanya perkawinan
beda agama disebabkan karena ada beberapa kisah para tokoh besar yang juga melangsungkan perkawinan beda agama, misalnya : Yusuf, Musa, Esau, Simeon dan Yehuda. Yaitu yang terdapat dalam Alkitab, pada Kejadian 38 : 1-2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan), Kejadian 46:10 (Simeon juga menikah dengan wanita Kanaan), Kejadian 41-45 (Yusuf dengan Asnat, anak Potijera, imam di On-Mesir), Kejadian 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Becri orang Hel). Bilangan 12:1 (Musa – sang pemimpin Israel menikah dengan seorang perempuan Kusy).
Walaupun menikah beda agama tidak dihalangi, mereka juga harus memiliki dasar kepercayaan atau mereka yang memiliki iman agar tidak menyimpang, sama halnya seperti agama lain juga menginginkan pasangan yang  memiliki iman agar bisa menuntun yang gelap kedalam terang. Tapi banyak juga dari para pendeta-pendeta yang melarang keras tentang adanya perkawinan beda agama karena menyimpang dari ajaran agama dan kekudusan Allah.
3.          Agama Khatolik
Bagi agama khatolik,pada prinsipnya sama dengan Kristen protestan yang mana perkawinan beda agama menurut khatolik tidak dapat dilakukan. Tidak dapat dilakukan dikarenakan agama Khatolik memandang perkawinan sebagai sakramen. Dan Sakramen adalah suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah. Sehingga dengan menerima Sakramen, seseorang berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus.   
            ’’Menurut Khatolik juga, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali (Al.Budyapranata pr.1986: 14). Jadi perkawinan menurut agama Kristen Khatolik adalah perbuatan  yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara kedua suami isteri,tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis (Kan.1055 : 2).”
Dari pertanyaan diatas dapat dipahami bahwa perkawinan dalam lingkup Kahtolik sangat dianggap suci dan sakral. Sehingga perkawinan tersebut sesuai dengan kesadaran dan kemauan dari kedua belah pihak tanpa adanya paksaan untuk berjanji bersatu dalam ikatan suci tanpa ditarik kembali janjinya itu, karena perkawinan Katholik ini harus sekali seumur hidup dan tidak ideal jika adanya perkawinan beda agama antara Katholik dan non- Katholik.pada prinsipnya Katholik sangat melarang adanya perkawinan beda agama,namun dilain kemungkinan pada tiap gereja katholik juga terdapat proses ijin maupun dispensasi yang kemungkinan terjadinya perkawinan beda agama, yang diberikan oleh Uskup lewat lembaga keuskupan Katholik. Dispensasi atau pengecualian dari Uskup ini baru akan diberikan apabila ada harapan dapat terbinanya suatu keluarga yang baik dan utuh setelah perkawinan. Dispensasi ini diberikan kepada perkawinan antara Katholik dengan non – Katholik yang tidak dibaptis yaitu Islam, Hindu,Budha. Sedangkan perkawinan antara Katholik dengan non – Katholik yang telah dibaptis hanya dibutuhkan izin dari Uskup.
            Maka dari itu, untuk sahnya perkawinan dengan orang yang beda iman yaitu Katholik dengan non – Katholik, perlu ijin atau dispensasi beda agama dari uskup,dan yang bersangkutan harus menerima azas perkawinan Kristen katholik yakni monogamy yaitu tidak adanya pasangan lain dan tidak cerai serta proses pemberkatannya harus di gereja katholik,tanpa yang non- Katholik harus menjadi katholik akan tetapi pihak non-Katholik harus bersedia mengizinkan anaknya dibaptis katholik. Serta mengerti atau paham akan kedua hal yang sangat sakral bagi Katholik yaitu Cinta dan Perkawinan. Cinta yaitu saling mencintai satu sama lain dalam keadaan apapun  itu dan perkawinan yaitu mengandung asaz monogamy atau sekali seumur hidup. Dengan demikian,perkawinan beda agama menurut Katholik boleh diberkati dan dianggap sah.
4.         Agama Hindu.
            Menurut Hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orangtuanya dikemudian hari Neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smtri. Jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum Hindu makaperkawinan itu tidak sah.
            Bedasarkan pernyataan di atas yaitu perkawinan menurut agama Hindu merupakan ikatan antara pria dan wanita yang dalam hubungan suami isteri tersebut menjadi layak agar mendapat keturunan. Karena bagi Hindu, anak adalah anugerah yang terindah bagi orang tuanya karena kelak dia akan menyelamatkan arwah kedua orangtuanya yang telah meninggal dari alam neraka. Dan menurut Hukum Hindu, dalam melangsungkan perkawinan,kedua belah pihak harus mengikuti upacara ritual  agar disucikan sebelum perkawinan itu dilangsungkan. Apabila tidak mengikuti upacara ritual tersebut,maka perkawinan itu tidak sah menurut agama Hindu.
            Pada prinsipnya juga tiap-tiap agama memiliki aturan masing – masing yang berbeda-beda, sama hal nya dengan Agama Hindu yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak dibolehkan.Sesuai dengan Kitab Manawa Dharmasastra,Buku ke-III (Tritiyo’dhyayah) Pasal (27):  “menyatakan bahwa suatu perkawinan Hindu itu, pertamanya harus diriasi dan setelah itu menghormati orangtua dihadapan ahli weda yang berbudi bahasa baik. Maksud dari diriasi itu adalah yang berpendidikan baik atau diberi pendidikan tentang taat beragama,berbudi luhur dan sopan santun agar kelak dalam menjalani kehidupan berumahtangga, akan selalu tentram dan bahagia. Dan sebelum kedua pihak akan masuk ke jenjang perkawinan yang tentram bahagia, tentunya harus mendapat restu dari orangtua. Menghormati orangtua dihadapan ahli weda yang berbudi bahasa baik itu adalah kedua belah pihak harus meminta izin atau doa restu dari orangtua yang sudah membesarkan mereka. Dan penghormatan terhadap orangtua tersebut harus dilakukan dihadapan ahli weda atau ahli kitab yaitu wiku atau menurut umat Hindu yang adalah  pendeta agar disucikan.’’
            Apabila dalam perkawinan beda agama misalnya salah satu  di antara kedua belah pihak beragama non-Hindu, maka sebelum diadakan upacara ritual Pawiwahan (perkawinan) pria atau wanita yang  beragama non-Hindu itu harus bersedia di Hindukan terlebih dahulu dengan upacara sudhi waddani. Upacara Sudhi waddani ini adalah upacara untuk mereka yang akan menganut agama Hindu sebagai pengesahan status agama seseorang yang sebelumnya non-Hindu menjadi penganut agama Hindu dan yang menjalani upacara sudhi waddani itu harus siap lahir batin,tulus ikhlas dan tanpa paksaan dalam menganut agama Hindu.
5.    Agama Budha.
            Beda halnya dengan pandangan menurut Agama Budha, Menurut pandangan Budha, Umat Budha tidak memaksakan atau pun melarang seseorang untuk kawin atau tidak. Karena perkawinan bagi umat  Budha merupakan sesuatu yang harus dipikirkan secara matang dan harus konsekuen dan setia pada pilihannya, agar tercapai keluarga yang bahagia berlandaskan kepada Sanghyang Adi Budha.
            Menurut hukum Perkawinan Agama Budha keputusan Sangha Agung tanggal 1 januari 1977 pasal (1) dikatakan : “Perkawinan adalah sesuatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami, dan seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (Metta), kasih saying (karunia) dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan yang maha esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa.”
            Dalam pandangan Budha, manusia diberikan kebebasan untuk kawin, tidak kawin atau pun kawin dengan yang berbeda agama, karena umat Budha tidak memaksakan kehendak seseorang. Yang penting bagi umat Budha, kawin, tidak kawin maupun kawin dengan yang berbeda agama adalah keputusan yang sudah diambil tanpa paksaan dari pihak lain demi mendapatkan kebahagiaan yang sejati.
            Bagi umat Budha, perkawinan beda agama tidaklah menjadi masalah. Asalkan yang non-Budha mau mengikuti adat perkawinan budha tanpa mengantut agama Budha. Karena menurut keputusan Sangah Agung Indonesia, perkawinan agama dimana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, diperbolehkan asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tatacara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak beragama budha, tidak diharuskan untuk masuk agama budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam acara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka “ yang merupakan dewa-dewa umat Budha.
             Jadi walaupun yang non-Budha tidak menganut agama budha, tetapi dalam pelaksanaannya yang non-budha harus bersedia mengikuti syarat-syarat dalam pelaksanaan perkawinan seperti mengucapkan janji-janji atas nama sang Budha, Dharma dan Sangka. Karena bagi umat Budha, dengan mengucapkan kata-kata tersebut, maka secara tidak langsung yang non-Budha telah dianggap menganut agama Budha tanpa mengharuskan non-Budha untuk meyakinin agama Budha walaupun sebenarnya hanya menundukan diri pada kaidah agama budha dalam pelaksanaan perkawinan tersebut.
6.      Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
            Berdasarkan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW , Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974. Jadi, bukanlah “Peraturan Perundangan” itu secara keseluruhan. Hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang yang baru ini masih tetap dapat dipakai.
            Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang pengaturan perkawinan, sistemnya tidak mengatur secara tegas bahkan tidak ada hukum yang mengatur tentang adanya perkawinan beda agama. Karena yang diatur dalam Undang-undang perkawinan itu hanyalah perkawinan campuran tentang pasangan yang berbeda kewarganegaraan. Perkawinan beda agama disini hanya berdasarkan pada Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) dan (2). Apabila ditinjau pada pasal 2 ayat (1) dan (2) UU perkawinan, sahnya suatu perkawinan adalah menurut hokum agamanya atau keyakinannya masing-masing. Dan pada ayat (2) berbunyi pada tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, yang dimaksud dengan menurut hokum agamanya masing-masing yaitu tergantung dari sahnya hokum masing-masing agama yang bersangkutan dalam melangsungkan perkawinan beda agama, aturan dari masing-masing agamanya. Berarti dengan adanya masalah peraturan perkawinan di Indonesia, Undang-undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada agama, dan agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan berbeda agama.
            Maka dari itu, jelas diketahui bahwa dalam melangsungan perkawinan, diharuskan untuk seagama agar pelaksanaannya tidak terdapat hambatan maupun penyelewengan agama. Karena dalam pelaksanannya menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Perkawinan beda agama tidak boleh dilaksanakan, dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan dalam pencatatan perkawinan sesuai ketentuan yang sudah diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan ( UUP ).
B.     Kedudukan Hukum Anak akibat perceraian dalam perkawinan beda agama.   
1.      Sahnya Perkawinan
            Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, oleh karna itu mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum, penting sekali kaitannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum positif), yaitu berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sedangkan menurut pasal 2 Komplikasi Hukum Islam, bahwa : Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqoon ghooliidhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.
            Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi suami istri dan anak-anaknya termaksud untuk kepentingan harta kekayaan yang terdapat dalam perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan bagi yang beragama islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan  Nikah, Talak dan Rujuksebagaimana diatur dalam Undang-undang  No. 32 Tahun 1954. Bagi mereka yang beragama selain islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tidak menentukan sahnya suatu pristiwa hukum seperti perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa hukum itu telah terjadi dan dilakukan, sehingga hanya bersifat administrative, karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya.
2.      Akibat Perkawinan
            Perkawinan yang dilakukan oleh suami istri secara sah akan membawa konsenkuensi dan akibat di bidang hukum.  Akibat hokum tersebut adalah :
1)      Timbulnya hubungan atara suami istri.
Dalam hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah, maka mereka mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menegakan rumah tangganya.
2)      Timbulnya harta benda dalam perkawinan
Suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai harta benda, baik yang diproleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan terhadap harta kekayaan perkawinan tersebut selanjutnya diatur pada pasal 35 sampai pasal 37 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
3)      Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak.
Akibat hukum terakhir dari perkawina yang sah adalah adanya hubungan antara orang tua dan anak. Pengaturan selanjutnya terhadap hal ini diatur dalam pasal 45 sampai pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
            Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara agama saja, dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Catatan Sipil, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Untuk itu pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan.
            Seperti telah dijelaskan diatas bahwa perkawinan yang sah akan mengakibatkan anak-anak yang dilahirkan tersebut menjadi anak sah. Prodjohamidjojo mengatakan :bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat dari persetubuhan setelah dilakukan nikah. Sedangkan di dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa : anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
            Lebih lanjut didalam pasal 43 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 setelah keluar keputusan MK No 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 :
a.       Anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan yang perdata dengan ibunya tetapi juga tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
b.      Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan
Pemerintah.
3.      Pengertian Perkawinan beda Agama.
            Perkawinan beda agama tidak diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Walaupun demikian pada pokoknya perkawinan beda agama ini tidak diinginkan oleh pembentuk UU. Hal tersebut terlihat dari isi Pasal 1 mengatakan, perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya. Kemudian didalam pasal 2 ayat (1) juga ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanyaa.   
            Walaupun demikian dalam kenyataan masih ada terjadi perkawinan ini di tengah-tengah masyarakat yang dilakukan secara tertutup/dirahasiakan, atau secara terang-terangan dengan melangsungkan perkawinan tersebut di luar negri dan setelah itu kembali ke Indonesia dan mencatatkannya di Kantor Catatan Sipil seolah-olah perkawinan tersebut sama dengan perkawinan campuran sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 Undang-undang Perkawinan.
            Di dalam pasal 57 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di atur tentang perkawinan campuran antara dua orang yang tunduk pada dua hokum yang berlainan. Pasal ini menyangkut perbedaan warga Negara dan tidak secara tegas menyebutkan adanya perkawinan beda agama. Menurut pasal 60 ayat (1) Undang-undang Perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
            Berbeda dengan ketentuan Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Stb. 1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran. Didalam pasal 1 ditentukan, bahwa : yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah , Perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hokum yang berlainan, adalah perkawinan antara golongan penduduk Bumi Putra dengan seseorang dari golongan Eropa atau Timur Asing atau antara seorang golongan Eropa dengan seorang penduduk Timur Asing.
            Perkawinan beda agama yang terjadi sebelum lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang didasarkan pada ketentuan GHR di atas, tidak sesuai lagi untuk diterapkan pada saat ini. Peraturan perkawinan jaman colonial seperti GHR dan HOCI, dibentuk untuk kepentingan politik Belanda saat itu yang menerapkan penggolongan penduduk. Di dalam pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa peraturan perkawinan yang ada pada jaman Belanda tersebut dunyatakan tidak berlaku lagi, sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini.
            Apapun alasan yang dikemukakan dan bagaimanapun cara yang dilakukan, maka sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan tidak sah. Oleh karna itu tidak membawa konsekuensi hokum yang sah terhadap segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.
4.      Kedudukan anak dalam perkawinan beda agama.
            Pengertian anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari anak itu dalam arti sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari seorang pria dan seorang wanita, maka si wanita melahirkan manusia lain yang dapat menyatakan bahwa seorang pria adalah ayahnya dan seorang wanita adalah ibunya. Menurut ketentuan pasal 42 Undang-undang Perkawinan, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Oleh karena antara waktu bersetubuh dan waktu lahir dari si anak ada tenggang waktu beberapa bulan (masa hamil), maka pada waktu anak itu lahir tidak mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan, siapakah sebenarnya ayah dari anak itu. Untuk itu diperlukan suatu perkawinan antara seorang wanita dan seorang pria, yang dengan bersetubuh menghasilkan anak itu.
            Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, hal tersebut ditegaskan dalam pasal 42 Undang-undang Perkawinan tersebut bermakna bahwa hanya dari perkawinan yang sah saja yang dapat mempunyai anak yang sah. Ini adalah sama dengan apa yang ditetapkan dalam pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang secara lebih tegas mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memproleh suami sebagai bapaknya. Demikian juga dengan ketentuan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan atau dalam akibat perkawinan yang sah. Ketentuan-ketentuan yang disebutkan tadi memberikan apa yang dinamakan suatu “perasangka undang-undang.” Dengan demikian setiap perkawinan yang sah, akan melahirkan keturunan yang sah pula. Sehingga dari definisi pasal 42 Undang-undang Perkawinan mengandung arti, bahwa suatu perkawinan yang tidak sah mengakibatkan anak yang dilahirkan adalah anak tidak sah.
            Dalam Kitab Undang-undanh Hukum Perdata, anak luar kawin dapat diakui bapaknya, pengakuan ini menimbulkan hukuman perdata antara anak dengan bapak yang mengakuinya, tetapi tidak menimbulkan hubungan dengan keluarga bapak yang mengakuinya itu. Namun demikian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda yang baru (sejak tahun 1956), ada ketentuan yang menyatakan bahwa ibu dari anak itu tidak perlu mengakui dan secara otomatis sudah timbul hubungan perdata antara ibu dan anak, jadi hanya bapak saja yang harus mengakui anaknya.
            Di atas telah di uraikan bahwa perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak sah, karenanya apabila perkawinan tersebut tetap berlangsung dan dari hasil perkawinannya dikaruniai  anak maka sesungguhnya anak hasil perkawinan tersebut adalah tidak sah, karena perkawinannya sendiri tidak sah. Dalam perkawinan beda agama,masalah kewarisan sangat berpotensi menimbulkan konflik dalam keluarga. Sehingga dapat menjadi hambatan hak waris anak yang lahir dalam perkawinan beda agama.
            Menurut UUP anak dalam hal ini tidak dapat mewariskan karena undang-undang tersebut telah menutupi suatu kemungkinan terjadi perkawinan antar agama dengan adanya pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bunyi pasal tersebut membawa akibat bahwa anak di sini hanyalah mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 43 UUP ),jika perkawinan antar agama tersebut tidak dapat dilangsungkan maka berakibat pada anak tersebut, yang statusnya menjadi anak luar nikah.
            Menurut hukum kewarisan Ahlul Sunnah Wal Jamma’ah, system kewarisannya selalu memberikan kedudukan yang lebih baik kepada pihak laik-laki. Oleh karena itulah jika anak perempuan menjadi ahli waris, maka ia harus didampingi oleh anak laki-laki, dan begitu pula seterusnya ke bawah.
            Namun jika yang menjadi ahli waris anak laki-laki begitu juga seterusnya ke bawah,maka ia tidak perlu di damping oleh pihak perempuan. Pada system kewarisan islam bilateral Hazairin baik anak laki-laki maupun anak perempuan (pihak laki-laki dan pihak perempuan)  akan mendapatkan kedudukan yang sama atau tidak ada salah satu pihak yang lebih diprioritaskan untuk memproleh harta warisan (sebagai ahli waris yang diutamakan terhadap ahli-ahli waris lain). Menurut system kewarisan islam, jika perkawinan antar agama di sini dinyatakan sah adanya dengan merujuk pada Surat  Al-Maidah ayat 5, yang berbunyi “Seorang laki-laki muslim menikahi seorang wanita non-muslim sejauh wanita tersebut ahli kitab/kitabiyah.” Begitu pula halnya dengan anak yang dihasilkan dari perkawinan antar agama juga akan memproleh warisan yang sama dengan anaknya yang dihasilkan dalam perkawinan antar orang-orang yang seagama jika hal tersebut dilihat dalam konsepsi hukum Perdata Barat.
5.      Hak mewarisi anak hasil perkawinan beda agama.
            Secara umum perkawinan beda agama sangat berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan hukum tersendiri, baik kepada pasangan suami istri itu sendiri maupun kepada pihak luar/ketiga termaksud hak waris anak yang lahir dari perkawinan beda agama.
            Keabsahan perkawinan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri. Hak istri terhadap nafkah dan harta bersama sepenuhnya akan bergantung pada ada tidaknya perkawinan yang sah sebagai alas hukumnya, begitu pula dari perkawinan yang sah akan melahirkan anak-anak yang sah.
            Hak pemeliharaan terhadap anak yang dimiliki orang tuanya, hanya akan dapat diproleh apabila orang tua memiliki status perkawinan yang sah. Sebaliknya, perkawinan beda agama yang telah memiliki bukti otentik berupa Buku Nikah dapat diajukan pembatalan dengan alas an bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hokum agama sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pembatalan perkawinan tersebut walaupun tidak berlaku surut, namun aka menimbulkan masalah kejiwaan yang sangat besar bagi perkembangan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut.
            Mengenai hak kewarisan antara suami istri dan anak-anaknya seandainya keabsahan perkawinan pasangan beda agama tidak dipersoalkan dan dianggap perkawinan tersebut adalah sah termaksud status anak-anaknya juga dianggap sah, namun hak kewarisan diantara mereka tidak ada perbedaan agama menggugurkan hak saling mewarisi.
            Apabila persoalan kewarisan dilihat dari aspek keadilan, maka larangan perkawinan beda agama jelas lebih melindungi hak kewarisan masing-masing. Hal ini disebabkan anak-anak tidak mungkin beragama kembar,karena agama adalah masalah keyakinan. Konsekuensinya anak-anak hanya akan seagama dengan salah satu dari kedua orang tuanya dan atau bisa menganut agama lain yang dianut oleh kedua orang tuanya.
            Apabila ada anak yang seagama dengan bapak atau ibunya saja, maka ia hanya akan mendapatkan hak kewarisan dari bapak atau ibunya saja yang seagama, sehingga ia akan berhadapan dengan saudaranya yang beda agama. Hal ini karena menimbulkan masalah keadilan, yaitu anak yang seagama akan mendapatkan hak kewarisan sedangkan saudara kandungnya yang beda agama tidak mendapatkan hak kewarisan.


C.    Akibat Hukum bagi anak apabila terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama.
            Berdasarkan pasal 45 (1) UUP No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi bahwa :” kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus.”   
            Dengan kata lain bahwa setiap anak berhak mendapatkan nafkah, kasih sayang, serta mendapatkan pendidikan yang memadai dari kedua orang tuanya hingga si anak beranjak dewasa dan mampu untuk hidup sendiri sekalipun ikatan perkawinan kedua orang tuanya telah putus.
            Seorang anak berhak mendapatkan nafkah dari orang tuanya guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, yang dimaksud nafkah yang harus dipenuhi oleh orang tua tersebut adalah kebutuhan pokok anak, yakni kebutuhan sandang, pangan, dan papan agar si anak tidak terlantar karena adanya perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya. Nafkah ini adalah hal yang utama yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak karena hal ini menyangkut masalah kelangsungan hidup yang layak bagi si anak.
            Selanjutnya yang wajib dipenuhi oleh orang tua terhadap anaknya adalah menyangkut hak seorang anak untuk memperoleh kasih sayang. Meskipun orang tuanya telah putus karena perceraian, namun hal itu tidak serta merta memutuskan hubungan batin antara si anak dengan kedua orang tuanya, setiap anak berhak memperoleh kasih sayang dari kedua orang tuanya seumur hidupnya. Kasih sayang ini wajib diberikan kepada seorang anak dengan maksud agar si anak tidak mengalami gangguan psikologis dalam hidupnya yang disebabkan karena adanya perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya hingga dikemudian hari.
            Hal terakhir yang menjadi hak bagi seorang anak dari orang tuanya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Hak pendidikan ini wajib diperoleh oleh seorang anak karena dengan asumsi bahwa pendidikan menjadi dasar pedoman bagi anak untuk memperoleh ilmu pengetahuan setinggi-tingginya guna menjadi bekal bagi si anak dikemudian hari untuk menjamin kehidupan yang lebih layak dimasa yang akan datang. Bagi orang tua, meskipun telah mengalami perceraian, wajib membiayai, memberikan serta menuntun si anak di dalam dunia pendidikan.
            Suatu perkawinan tentunya selalu menimbulkan akibat hukum dan apabila perkawinan tersebut adalah perkawinan beda agama tentunya akan menimbulkan berbagai masalah. Masalah-masalah tersebut menyangkut hubungan suami istri dan berimbas kepada anak-anak apabila memiliki keturunan seperti yang telah dijelaskan pada paragraph diatas. Sehingga pada umumnya akibat hukum disini dibagi menjadi dua bagian yaitu menurut aspek psikologis dan menurut aspek yuridis.
            Akibat yang timbul pada perkawinan beda agama menurut aspek psikologis disini antara lain memudarnya rumah tangga yang telah dibina belasan tahun. Pada awalnya sewaktu masih pacaran, perbedaan itu dianggap sepele , bisa diatasi oleh dasar cinta. Tetapi lama kelamaan ternyata perbedaan itu bisa saja menjadi boomerang dalam membangun kokohnya rumah tangga. Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama islam) pergi umroh atau naik haji, tentunya merupakan suatu kebahagiaan bagi seorang suami jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke Gereja atau ke Vihara. Maka suatu rumah tangga yang awalnya saling mencintai, lama kelamaan akan memudar akibat perbedaan keyakinan. Karena salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam dalam sholat berjama’ah bersama anak istri begitu juga sebaliknya kebahagiaan seorang istri Kristen ataupun Budha adalah pergi ke Gereja atau ke Vihara berdoa bersama suami dan anak-anaknya.
            Begitupun ketika Bulan Ramadhan tiba, suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga apabila pasangannya sama-sama beragama muslim. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di sisi lain istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama, betapa indahnya melakukan ibadah di gereja bersanding dengan suami dan merayakan Natal bersama, namun itu semua hanya khayal.
            Pada kasus ini juga ada seorang ibu yang merasa bahagia karena anak-anaknya ikut agama ibunya. Kondisi itu membuat seorang ayah merasa kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman pluralisme ini perkawinan beda agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu di ingat bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangatlah penting untuk menjaga keharmonisan dan tumbuh kembang anak-anak dalam keluarga. Maka dari itu, kewajiban yang harus dilaksanakan setiap pasangan suami istri yang membina keluarga yaitu, saling mengisi dan melengkapi di antara pasangannya. Dan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 33 mengatakan bahwa suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, dan setia member bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewajiban suami istri tersebut harus didasarkan dengan rasa saling menghormati maupun saling mencintai agar kekokohan berumah tangga tetap terjalin.
            Pasangan yang kawin berbeda agama yang awalnya hanya didasari dengan rasa cinta, lama kelamaan seiring bertambahnya usia pasti akan merasakan akibatnya. Karena pada usia yang semakin dewasa tentunya akan mengarah pada pemikiran tentang adanya kebahagiaan yang kekal. Dan kebahagiaan disini tentunya tidak saja didasari dengan rasa cinta itu sendiri tetapi juga harus didasari dengan rasa imam yang membimbing pasangan untuk lebih taat pada penciptanya dalam mencapai kebahagiaan yang kekal. Apabila semua itu tidak dimiliki dalam artian berbeda keyakinan, maka didalam rumah tangga tersebut akan terasa renggang dan hampa.
            Dan masalah perkawinan beda agama apabila dikaruniai keturunan, tentunya akan berpengaruh pada kedudukan anak serta mental anak dan bagaimana menjaga hubungan baik antara anak dan orang tua mengenai perkawinan beda agama. Masalah – masalah yang timbul disini  adalah berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi Muslim, kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya menganut agama Kristen. Secara tidak langsung telah menjadi suatu kompetisi bagi kedua pasangan orang tuanya demi mempengaruhi agama mana yang akan di anut. Maka anak pun terbebani mentalnya dalam memilih atau menganut agama mana yang akan di anutnya. Memang anak yang baik dan terpuji yaitu anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan menghormati semua segala perintah, akan tetapi ketika anak di hadapkan pada masalah yang seperti ini anak pasti akan bingung mana yang harus di pilih, psikologi anak bisa saja menjadi terganggu oleh permasalahaan orang tuanya.
            Mereka bingung siapa yang harus di ikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian dimana nilai-nilai agama sangan berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.
            Pada azasnya, Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau keyakinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Ketegasan pelarangan perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
            Ketegasan larangan perkawinan beda agama adalah mutlak mengingat perkawinan bukan saja mempunyai unsure lahir/jasmani, tetapi unsure batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Ketegasan larangan ini jelas menunjukan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama islam ditegaskan dalam pasal 44 KHI ( Komplikasi Hukum Islam) dengan penegasan bahwa seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam, sedangkan bagi pria islam menurut pasal 40 huruf ( c ) KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Larangan ini karena perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah SWT dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaiman maksud pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut hokum Islam merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya adalah ibadah. Karena, perkawinan     merupakan lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
            Yang menarik untuk menjadi pertimbangan bagi mereka yang tetap ingin melangsungkan perkawinan beda agama adalah masalah permeliharaan anak ketika terjadi perceraian dalam perkawinannya tersebut. Sama seperti perceraian pada umumnya, masalah hak pengasuhan dan pemeliharaan anak kerap terjadi masalah yang pelik. Namun yang lebih pelik dan patut menjadi pertimbangan adalah potensi terjadinya pemurtadan atau pindah agama pada si anak. Posisi si anak menjadi objek dari kepentingan orang tuanya. Anak itu dapat mengalami kebingungan dan kesesatan karena diberikan pemahaman agama yang berbeda-beda. Hal ini jelas bertentangan dengan kepentingan yang terbaik bagi anak.
            Perkawinan beda agama merupakan hal yang prinsip dalam hokum islam. Oleh karena itu, dapat dimungkinkan, sebelum perkawinan kedua mempelai beragama islam, tetapi setelah menjalani perkawinan salah satu mempelai memeluk agam non-islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut pasal 116 huruf ( k ) KHI dengan tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan  dalam rumah tangga sebagai penyebab atau alasan terjadinya perceraian.
            Jika hal itu terjadi, maka akibat hukum dari perceraian terhadap anak-anak, menurut pasal 105 KHI ditentukan:
a.       Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c.       Biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya.
            Bagi anak yang belum berumur 12 tahun, berdasarkan pasal 105 KHI di atas, tentunya hak pengasuhan dan pemeliharaan si anak jatuh kepada ibunya. Jika si ibu adalah pemeluk agama islam, tidak menjadi masalah. Tetapi kalau si ibu ternyata bukan pemeluk agama islam ? Tentunya ini menjadi suatu hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan baik-baik bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan.





BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah Penyusun paparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Penjelasan dari masing-masing agama mengenai perkawinan beda agama:
a.       Perkawinan beda agama menurut agama islam pada dasarnya diharamkan. Perkawinan ini diharamkan karena di dalam Islam pernikahan haruslah tercipta suatu pernikahan yang sakinah dalam keluarga, sehingga antara suami dan istri memiliki kesesuaian arah dalam pandangan hidup.
b.      Perkawinan beda agama menurut agama Kristen protestan sangatlah tidak diperbolehkan, karena didalam suatu ikatan pernikahan umatnya harus memiliki keyakinan yang seiman agar dapat mencapai suatu keseimbangan hidup untuk mencapai suatu kehidupan yang kekal dan abadi dihadapan Tuhan.
c.       Perkawinan beda agama menurut agama Khatolik tidak boleh terjadi dengan alasan apapun, karena dalam ajaran khatolik pernikahan merupakan ikatan lahir batin tidak hanya antara suami istri saja namun ikatan antara manusia dengan Tuhannya, sehingga pernikahan itu haruslah didasari oleh kepercayaan yang sama kepada Tuhan agar dapat menjalankan kehidupan secara bersama-sama untuk selama-lamanya.
d.      Perkawinan beda agama menurut agama Hindu dilarang keberadaannya, karena bagi umat Hindu pernikahan adalah suatu acara yang sangat sacral dimana suatu pernikahan harus dilangsungkan melalui suatu ritual berdasarkan ajaran hindu untuk mencapai suatu pernikahan yang sah, sehingga pasangan yang melangsungkan suatu pernikahaan harus menganut agama yang sama, yakni agama hindu.
e.       Perkawinan agama menurut agama Budha tidak terlalu menjadi suatu larangan yang mutlak atau disakralkan, karena yang menjadi dasar utama dari suatu pernikahan adalah suatu kehendak  yang kuat dan tulus dari masing-masing pihak untuk melaksanakan suatu pernikahan sesuai dengan adat budha tanpa harus menganut ajaran budha itu sendiri.
2.      Akibat hukum bagi anak apabila terjadi perceraian dalam perkawinan beda agama :
a.       Di mata hukum seorang anak hanya berhak mendapatkan harta warisan dari salah satu orang tuanya yang memiliki agama yang sama.
b.      Seorang anak baru bisa memilih sendiri hak pemeliharaan terhadap salah satu orang tuanya setelah si anak berumur 12 tahun.
c.       Selama anak belum berumur 12 tahun, semua biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
B.     Saran-saran
            Berdasarkan dari hasil penelitian ini, maka Penyusun memberikan saran dan masukan atas hasil penelitian ini sebagai berikut :
1.      Bahwa dengan melihat pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974, hendaklah sebelum melangsungkan suatu pernikahan sebaiknya orang tua haruslah memikirkan bagaimana akibat hukum dari adanya pernikahan tersebut dikemudian hari, karena jika perkawinan dilangsungkan dengan perbedaan agama dapat berdampak bagi kedudukan hukum si anak, dimana kedudukan si anak menjadi tidak sah. Hal ini lah yang menjadi dasar agar kepada setiap pria dan wanita sebaiknya tidak melangsungkan pernikahan yang secara undang-undang dilarang demi kepentingan masa depan mereka dan anaknya kelak.
2.      Bahwa dengan melihat pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974, maka pencegah perkawinan yang didasarkan pada perkawinan yang beda agama haruslah dilakukan agar apabila terjadi perceraian dalam perkawinan yang beda agama di kemudian hari tidak merugikan anak secara hukum. Dengan adanya perceraian dalam perkawinan yang beda agama dapat berakibat
 batin anak menjadi menderita karena kurangnya kasih sayang yang didapat dari kedua orang tuanya secara utuh dan pendidikan moral yang ada pada anak menjadi berkurang, dengan adanya perceraian beda agama ini juga dapat menyebabkan kerugian tersendiri bagi anak yakni hak mewaris terhadap orang tuanya menjadi terbatas, yakni hanya berhak mewaris kepada salah satu orang tuanya saja yang memiliki agama yang sama.






DAFTAR PUSTAKA
1.      Buku – buku
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, 2006. Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Study Kritis Perkembangan Hokum Islam Dari Fiqh, Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Sampai Kompilasi Hokum Islam ), Jakarta : Kencana.
Hadikusuma, Hilman, 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju.
Latif, Jamil, 1982. Aneka Hukum Perceraian di Negara Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mulyadi, 1996. Hukum Perkawinan Nasional, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP.
Mufidah, Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang : Uin Press, 2008 )
Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Indra, M Ridwan : Hukum Perkawinan di Indonesia, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1994.
Prodjohamidjojo, Martiman: Hukum Perkawinan Indonesia, ILCP, Jakarta 2002 hal 59.
Soeimin, Soedharyo, 2001. Hukum Orang dan Keluarga. Persfektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Barat, Jakarta : Sinar Grafika.
Sudarsono, 2005. Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta.
2.      Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Indonesia, UUD Negara Republik  Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Indones ia, UU No. 50 Tahun 2009  tentang  perubahan kedua atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
Indonesia, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3.      Artikel dan Makalah
Agus Abu Zadid, 2012. Perkawinan Nikah (dalam kacamata islam)
Arikel,Pengaturan,2012, Mengenai Perwalian Ditinjau dari Persfektif Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Sekalilagi.com, “Tentang Perkawinan Antar Agama “ diakses tanggal 3 November 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar