Jumat, 15 April 2016

PENGERTIAN KEDUDUKAN IBADAH



BAB I

PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu. Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Dari definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal yang sering kita anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya tidak dapat diremehkan begitu saja, misalnya :
  • Menjaga lisan dari perbuatan dosa, misalnya dengan tidak berdusta dan mengumbar fitnah, mencaci, menghina atau pun melontarkan perkataan yang bisa menyakiti hati.
  • Menjaga kehormatan diri dan keluarga serta sahabat.
  • Mampu dan bersedia menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.
  • Berbakti dan hormat kepada kedua orang tua atau orang yang lebih tua dari kita.
  • Menyambung tali silaturahim dan kekerabatan.
  • Menepati janji.
  • Memerintahkan atau setidaknya menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar.
  • Menjaga hubungan baik dengan tetangga.
  • Menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan).
  • Menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal kita.
  • Memanjatkan do’a, berdzikir, mengingat Allah kapan dan dimanapun kita berada.
  • Membaca Al Qur’an.
  • Mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).



BAB II

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ibadah
Secara etimologis , ibadah berarti menyembah, taat, tunduk, patuh, hina, menyesal dan mengabdi (ahmad warson munawir , 1984: 951-952). Sedangkan secara terminologis, ibadah adalah : bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan mentaati segala perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya dan mengamalkan segala yang di ijinkan Allah . ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus : yang umum ialah segala amalan yang di ijinkan Allah . yang khusus adalah apa yang telah di tetapkan Allah akan perincian-perincian, tingkah dan cara-caranya yang tertentu (pp muhammadiyah majelis tarjih, tt:276)
Dalam pandangan ahli hukum islam, hakikat ibadah adalah mengabdi kepada Allah yang dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan, ketaatan dan penyerahan diri secara total baik secara lahir dan batin oleh seorang hamba kepadanya . hal itu dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa penciptaan manusia di dunia ini memang untuk mengabdi kepada Allah dengan jalan beribadah kepadanya . dengan kata lain, semua aktifitas manusia dalam hidupnya dikerjakan dalam rangka mengabdi kepada Allah dengan cara mematuhi, mentaati, menjalankan perintah, menjauhi larangan dan mengamalkan apa yang diijinkan oleh Allah. Dalam Al-Qur’an adapun ayat yang menjelaskan tentang hal ini antara lain yang artinya:
“Dan tidaklah Kami utus rasul sebelummu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah (beribadahlah) kepadaKu (QS: Al-Anbiya’:25).
“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap umat itu seorang rasul yang menyeru mereka supaya menyembah (beribadah) kepada Allah dan menjauhi thaghut (sembahan selain Allah) (QS: Al-Nahl:36).
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah (beribadah) kepadaKu (QS:Az-Dzariyat:56).

B.     Kedudukan ibadah dalam Islam

1.      Bahagian ini amat penting dipelajari agar terbentuknya sahsiah Muslim yang memahami ibadah dengan benar dan sanggup mengamalkannnya didalam kehidupan ini.
  1. Ini kerana hidup ini hanyalah BERNILAI, apabila dipenuhi dengan amal ibadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan jin dan manusia tidak ada tujuan lain melainkan hanya untuk beribadah kepada Nya sahaja dan hanya beribadah itu sahajalah jalan yang dapat menyelamatkan jin dan manusia di dunia dan di akhirat nanti. (Az Azzariyat 51: 56)
  2. Itulah sebabnya Allah selalu memerintahkan dan menggalakkan manusia khususnya orang yang beriman agar memenuhi hidupnya untuk beribadah kepada Allah sahaja. (Al Baqarah 2:21; Al Bayyinah 98:5)
  3. Khususnya kepada orang-orang yang beriman, Allah telah memberikan panduan, agar pada setiap solat (sewaktu membaca doa iftitah) mereka mengucapkan secara tegas suatu pernyataan, bahawa hanya kepada Allah sahaja kita beribadah: Sesungguhnya solat ku,  ibadah ku, hidup dan mati ku adalah untuk Allah Rabb sekalian alam. (Hadis Riwayat Muslim)
  4. Setiap Rasul yang diutus kepada setiap umat, antara inti dakwah dan seruannya ialah agar umatnya beribadah kepada Allah dan menjauhi Toghut (seseorang yang melampui batas). (An Nahl 16:36)
  5. Dan demikianlah pentingnya pengertian beribadah kepada Allah dalam kehidupan di dunia ini. Maka sudah seharusnya kita sebagai manusia yang beriman mencurahkan segala perhatian kita untuk memahami erti dan hakikat ibadah ini sehingga dapat memahaminya dengan benar-benar, dan selanjutnya dapat kita amalkan.
  6. Ini kerana sememangnya kita hidup di dunia ini tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah sahaja.
  7. Walaubagaimanapun kita harus menerima satu kenyataan bahawa kebanyakan umat Islam keliru dan salah faham tentang hakikat ibadah. Kebanyakan mereka menyangka bahawa ibadah itu hanyalah berupa amalan-amalan penyembahan kepada Allah sahaja, seperti solat, puasa, haji, zikir, zakat, membaca Al Quran, qorban, aqiqah dan pelbagai lagi ibadah biasa berbentuk ritual semata-mata. Sedangkan itu sebenarnya hanyalah sebahagian daripada tuntutan ibadah kepada Allah.
  8. Kepada mereka ibadah itu hanyalah di masjid, ketika ijab dan qabul (pernikahan), sewaktu kematian dan ketika berdoa.
  9. Ada dikalangan umat Islam juga menganggap dan mengatakan bahawa Islam hanya bersangkut-paut dengan hubungan manusia dengan Allah sahaja dan tidak mengatur hubungan manusia dengan manusia (muamalat) dan hubungan manusia dengan alam. Pada mereka ibadah itu hanya di masjid dan hanya di masjid sahaja.
  10. Pada mereka menjadi sesuatu yang aneh sekiranya kita mengatakan pada mereka bahawa ibadah itu juga berlaku di rumah, pejabat, kelas, universiti, pasar-pasar malam, kedai serbanika, kedai-kedai makan, parlimen, medan peperangan, mahkamah dan di mana-mana sahaja tempat-tempat lain selain masjid.
  11. Mereka juga merasa aneh jika mereka diajak untuk beribadah kepada Allah dalam soal pentadbiran negara, ekonomi, pendidikan, ketenteraan, sosial, perlembagaan dan perundangan negara, hubungan luar, kebudayaan, sukan, undang-undang jenayah, perlancongan dan teknologi.
  12. Mereka juga berasa aneh sekiranya seorang pemimpin negara membaca khutbah jumaat dan mereka juga merasa aneh jika seseorang mengatakan kepada mereka tidak ada sekularisme di dalam Islam. (pemisahan antara segala aspek muamalat dengan Syareat Islam)
  13. Pada mereka urusan negara mesti dipegang oleh pemimpin yang dipilih melalui pilihanraya dan pemimpin itu bukanlah seseorang yang memiliki Ilmu Dien, memperjuangkan Dienul Islam, berjanggut dan berjubah  manakala urusan Islam pula diberikan kepada Imam dan juga mufti. (itupun hanya dalam persoalan ibadah mahdah/ khusus sahaja)
  14. Padahal ibadah itu hakikatnya meliputi seluruh kehidupan manusia. (Az Azzariyat 51: 56; Al An'am 6:162-163; Al Bayyinah 98:5) Sesungguhnya solat ku,  ibadah ku, hidup dan mati ku adalah untuk Allah Rabb sekalian alam. (Hadis Riwayat Muslim)
  15. Terdapat juga satu golongan lain yang terlalu berlebih-lebihan dalam perlaksanaan ibadah. Mereka menganggap perkara sunat sebagai wajib dan perkara-perkara yang mubah (harus) dianggap haram. Mereka cepat mengkafirkan golongan lain dan cepat pula menghukum haram dan bida’ah nya sesuatu perbuatan.
  16. Mereka ini dalam beribadah (terutama sekali ibadah-ibadah mahdah/ khusus) tidak berpandukan wahyu Allah dan petunjuk Rasul Nya dan mencipta ibadah-ibadah baru kononnya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sesiapa yang mengerjakan sesuatu amalan yang bukan daripada kami, maka amalan itu tertolak. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
  17. Mereka pernah wujud pada zaman Nabi saw. Mereka ingin berpuasa sepanjang masa tanpa berbuka, solat sepanjang malam tanpa tidur seketikapun dan tidak mahu berkahwin dengan wanita.
  18. Lalu Rasulullah saw mencegah sahabatnya itu supaya tidak terlalu berlebih-lebihan dengan sabdanya yang mulia: Maka akupun berpuasa dan akupun berbuka, aku solat namun aku juga beristirehat, dan aku juga menikahi wanita-wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunnah ku, ia bukan dari golongan ku. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
  19. Dalam pengajian yang singkat ini dengan izin Allah SWT, kita berusaha untuk memahami makna dan hakikat ibadah, sehingga kita dapat mengamalkan dengan berdasarkan pemahaman yang benar dan sempurna dalam batas yang dapat kita jangkau. Semoga dengan demikian selamatlah hidup kita di dunia dan di akhirat amin.
C.    Pembagian Ibadah
Jika mengacu kepada definisi di atas, maka secara garis besar ibadah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Ibadah Umum (‘Ammah)
Ibadah umum adalah ibadah dalam pengertian yang luas, yaitu ibadah yang tidak di tentukan tata cara atau aturannya secara baku sebagaimana halnya ibadah khusus (mahdhah). Ibadah umum mencakup semua aktifitas hidup yang baik dan mngandung manfaat baik bagi diri sendiri, orang lain, bangsa, agama atau negara dan diniatkan ibadah (dalam rangka taat) kepada Allah. Dalam ibadah umum, Allah dan Rasulullah hanya memberikan pedoman-pedoman umum dan tidak menjelaskan teknis pelaksanaannya. Contoh ibadah umum antara lain tata cara jual beli, bernegara, bermasyarakat, bergaul dan lainnya. Dalam khazanah ilmu fikih islam, ibadah umum ini juga disebut ibadah ghairu mahdhah.
Dalam konteks ibadah umum, teks-teks Al-Qur’an dan hadis dapat dipahami secara kontekstual dengan pendekatan burhani.[1] Manusia dengan menggunakan potensi fisik, perasaan dan akalnya diberi otoritas atau kewenangan penuh untuk melakukan kreasi dan inovasi, bahkan sangat dianjurkan oleh agama. Nabi bersabda:
“Dari Jarir bin Abdullah, dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab Badui datang menemui Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya Rasulullah saw menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata: tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedehkahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah saw, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: siapa yang melakukan satu sunnah (sesuatu yang baru) yang baik dalam islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah yang buruk dalam islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun (HR. Muslim: 4830).
Dalam kasus penyilangan serbuk sari kurma, Aisyah ra dan lainnya bercerita:
“dari Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi saw pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma, lalu beliau bersabda: sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi saw melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab: bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda; kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. (HR. Muslim: 4308).
Dalam redaksi yang lain Nabi saw bersabda;
“jika sesuatu menyangkut urusan dunia, maka itu adalah urusan kalian, dan jika menyanhkut perkara-perkara agama kalian, maka serahkan kepadaku (Ibnu Majah: 2462, Ahmad: 12086,23773)
Sedangkan kaidah ushul yang dijadikan pedoman dalam ibadah umum adalah:
“Pada dasarnya melaksanakan urusan dunia itu hukumnya boleh, sampai ada dalil yang melarangnya.
2.      Ibadah Khusus (Khashshah)
Ibadah khusus berarti ibadah yang sudah ditetapkan tata cara, aturan, ketentuan dan mekanismenya secara rinci dan detail. Hanya Allah dan Rasulullah saw yang memiliki otoritas untuk mengatur dan membuat ketentuan ibadah khusus. Dalam masalah ini, manusia tidak memiliki otoritas atau kewenangan melalui potensi fisik, perasaan dan akalnya untuk berkreasi. Manusia hanya menerima, mengikuti dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah saw (sam’an wa tha’atan / sami’na wa atha’na), tanpa melakukan modifikasi sedikitpun dengan menambahkan atau menguranginya. Contoh ibadah khusus antara lain dalam masalah tata cara thaharah, najis, wudlu salat, zakat, puasa, haji. Dalam khazanah ilmu fikih ibadah khusus juga disebut ibadah mahdhah.
Secara metadologis, pemahaman terhadap nas-nas Al-Qur’an danm hadis yang terkait dengan ibadah mahdah (ibadah khusus) harus dipahami secara orisinil, tekstual, literal, dengan pendekatan bayani. Tidak boleh ada kreasi ataupun modifikasi dari manusia. Jika ada kreasi dan modifikasi, maka disinilah terjadi bid’ah.
Kaidah ushul yang dijadikan pedoman dalam ibadah khusus adalah:
“Pada dasarnya melaksanakan ibadah itu hukumnya haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya.
“Pada dasarnya ibadah itu sesuai perintah dan mengikuti (Nabi saw).
“Pada dasarnya ibadah itu terlarang (batal), sampai ada dalil yang memerintahkannya.
“Pada dasarnya ibadah itu penuh kehati-hatian, maka tidak diperintah atasnya, kecuali apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya.
D.    Bid’ah dalam Ibadah
secara etimologis, bid’ah artinya menciptakan, memulai, mendirikan dan gemuk (Ahmad Warson Munawwir, 1984:70). Asy-Syatibi dalam bukunya Al-I’tisham menjelaskan pengertian bid’ah secara etimologis seperti berikut:
“Bid’ah menurut bahasa artinya mengadakan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya (As-Syatibi, Tt: I: 26).
Arti menurut bahasa ini dapat dijumpai juga antara lain dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 117 dan Al-ahqaf: 9. Sedangkan bid’ah secara terminologis, As-syatibi membuat dua definisi, yaitu:
“(Bid’ah) adalah suatu cara yang diadakan di bidang agama yang menyerupai hukum syara’, yang dimaksudkan dengan mengerjakannya ialah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah (As-Syatibi, Tt: I: 26).
“(Bid’ah) Adalah suatu cara yang diadakan di bidang agama yang menyerupai hukum syara’, yang dimaksudkan dengan mengrjakannya ialah seperti apa yang dimaksudkan dengan mengerjakan cara syari’at (As-Syatibi, Tt: I: 26).
Dua definisi As-Syatibi di atas menegaskan bahwa bid’ah yang ada dalam bidang ibadah khusus itu adalah suatu cara yang dibuat-buat atau diada-adakan oleh manusia dalam bidang agama dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya As-Syatibi menguraikan beberapa contoh bid’ah yang dapat terjadi pada ibadah khusus, Antara lain:
1.      Membuat ketentuan sendiri, seperti orang yang bernazar puasa dengan berdiri, tidak duduk, berpanas-panasan, tidak mau berteduh.
2.      Membuat cara dan gerak tertentu, yang tidak ada ketentuan dalam agama, seperti berzikir kepada Allah dengan cara berkumpul dengan satu suara (bersama-sama).
3.      Mengadakan ibadah-ibadah tertentu, pada waktu tertentu, tang tidak ada ketentuan dalam agama, seperti ibadah puasa nisfu Sya’ban dan beribadah pada malamnya (As-Syatibi, Tt: I: 26).
Dengan demikian dalam ibadah khusus tidak ada bid’ah hasanah (baik). Semua bid’ah statusnya jelek (Sayyi’ah) dan diklaim sebagai sesuatu yang sesat. Nabi bersabda:
“Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah saw bersabda: sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan tiap-tiap bid’ah itu sesat (HR. Muslim: 1435).
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
“Dari Aisyah bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Barang siapa mengerjakan suatu pekerjaan yang bukan perbuatan dari kami, maka ia tertolak (HR. Muslim: 3243).
a.      Dalil-dalil tentang bid’ah
Dalil-dalil yang banyak membicarakan tentang bid’ah antara lain :
1.      Hadits Aisyah ra. Rasulullah bersabda “Hal yang mengada-ada dalam urusanku, yang tidak ada perintahku, maka hal itu akan tertolak”. Muttafaq alaih
2.      Hadits Jabir bin Abdullah, yang menceritakan bahwa pernah Rasulullah berkhutbah dan menyatakan :”Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Dan seburuk-buruk urusan adalah yang baru, dan setiap bid’ah adalah sesat” HR Ahmad.
3.      Hadits Irbadh ibn Sariyah yang menceritakan: Suatu hari Rasulullah SAW shalat bersama kami, lalu ia menghadapi kami dan menasehati kami dengan nasehat yang melelehkan air mata, menggetarkan hati. Berkatalah salah seorang dari kami: “Ya Rasulullah sepertinya ini adalah nasehat perpisahan, maka apa yang akan engkau pesankan untuk kami? Sabda Nabi: “Aku wasiatkan kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati kepada pemimpin kalian, meskipun ia adalah budak hitam. Maka sesungguhnya barang siapa yang akan hidup berumur panjang, pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka tetaplah kalian dalam sunnahku, sunnah khalifah rasyidin yang mendapatkan hidayah. Peganglah dan gigitlah dengan gigi taringmu. Dan waspadalah dengan hal-hal baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat”. An Nasa’iy menambahkan: “ dan setiap bid’ah akan masuk neraka.” HR Ahlussunan.
b.      Penyebab Lahirnya Bid’ah
Bid’ah dalam agama lahir disebabkan oleh banyak sebab. Secara global penyebab itu dapat dikategorikan dalam dua kelompok: penyebab intern dan ekstern.
1.      Penyebab-penyebab intern
  1. Ketidak tahuan terhadap Sunnah Nabi
  2. Keinginan untuk berbuat baik yang berlebihan
  3. Ketakutan kepada Allah yang berlebihan
  4. Mengikuti syetan
  5. Mencari dan mempertahankan kedudukan
  6. Adanya pendapat yang memperbolehkan taqlid (mengekor dalam beramal tanpa mengetahui dalil) 
  7. Pengalihan belajar Al Qur’an dan Sunnah pada pendapat ulama dan fuqaha (ahli fiqh).
  8. Syubhat (ketidak jelasan) antara bid’ah dan al mashalih al mursalah ( kebaikan yang tidak disebutkan dalam tekstual dalil syar’iy)
2.     Penyebab-penyebab ekstern
Penyebab ekstern munculnya bid’ah adalah rekayasa dari luar yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam seperti yang dilakukan kaum zindiq (kafir ateis) dengan menyebarkan pemikiran dan pemahaman yang merusak akidah dan konsep Islam, seperti pengkultusan kepada orang-orang shalih, atau penghentian pemberlakuan syariah Islam, sehingga umat Islam mencari alternatif syariah lainnya.
c.       Hukum Bid’ah
Secara umum bid’ah adalah perbuatan dosa yang haram dikerjakan. Hal ini dapat kita perhatikan dari dalil-dalil yang menerangkan tentang bid’ah sebagaimana tersebut di atas. Meski begitu tingkatan haramnya berbeda-beda sebagaimana tingkatan maksiyat yang lain.  
Hukum bid’ah dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu bid’ah kabirah (besar) dan bid’ah  shaghirah (kecil). 
1.     Bid’ah Shaghirah
Bid’ah Shaghirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah furu’iyyah (cabang), karena adanya syubhat (ketidak jelasan) dalil. Bid’ah ini akan terus kecil jika:
  1. tidak menjadi bentuk kebiasaan (mudawamah)
  2. tidak mengajak orang lain mengikutinya
  3. tidak melakukannya di tempat umum, atau tempat pelaksanaan sunnah mu’tabarah (diakui)
  4. tidak dianggap remeh.
2.     Bid’ah Kabirah
Bid’ah Kabirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah-masalah pokok, tidak pada masalah furu’iyyah, pelakunya diancam dengan ancaman Al Qur’an maupun As Sunnah. Sebagaimana tingkatan bobot yang ada dalam dosa besar, begitu juga perbedaan tingkatan dalam bid’ah kabirah. Bahkan ada yang membuat pelakunya menjadi kufr.
d.      Macam-macam Bid’ah
Macam bid’ah dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok  berikut ini :
1.      Bid’ah Haqiqah (asli)
Bid’ah Haqiqah adalah sesuatu yang baru dan sama sekali tidak ada dalil syar’inya, baik dalam Al Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Tidak ada istidlal (petunjuk dalil) yang digali oelh para ulama mu’tabar. 
2.      Bid’ah Idlafiyyah (tambahan)
Bid’ah Idlafiyyah adalah sesuatu yang secara prinsip memiliki dasar syar’iy, tetapi dalam penjelasan dan operasionalnya tidak berdasar dalil syar’iy.
  1. Dari sisi waktu seperti :shalat, raghaib, shalat nisfu sya’ban. Secara prinsip shalat malam diajarkan dalam agama, tetapi pembatasan waktu dan kerangka tertentu inilah yang tidak ditemukan dalil syar’inya.
  2. Dari sisi penyimpangan prinsip, seperti Talhin (lagu) dalam adzan. Adzannya sendiri diajarkan dalam agama, tetapi melagukan adzan dalam nada tertentu menjadi bid’ah
  3. Dari sisi sifat pelaksanaan, seperti : mengeraskan dzikir dan bacaan Al Qur’an di hadapan jenazah. Dzikir dan tilawah Al Qur’an adalah ibadah yang masyru’, tetapi pelaksanaannya di hadapan jenazah menjadi lain.
Penolakan pada bid’ah kelompok ini adalah sikap penolakan pada kaifiyah (cara), bukan pada prinsipnya.
3.      Bid’ah Tarkiyyah (meninggalkan)
Bid’ah Tarkiyyah adalah sikap meninggalkan perbuatan halal dengan menganggap bahwa sikapnya itu tadayyun (kesalihan beragama). Sikap ini bertentangan dengan konsep syari’ah secara umum. Seperti yang pernah diajukan oleh tiga orang yang bertanya tentang ibadah Nabi, lalu masing-masing dari tiga ini berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang halal dengan tujuan agar lebih shalil dalam beragama. Sehingga keluar pernyataan Nabi: …barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari ummatku”. Muttafaq alaih
4.       Bid’ah  Iltizam dengan Ibadah Muthlaqah (mewajibkan diri dengan ibadah yang bebas )
Bid’ah Iltizam adalah pembatasan diri pada syari’ah yang mutlak, dengan waktu atau tempat tertentu. Syari’ah yang mutlak itu bisa berupa ucapan, perbuatan. Seperti bershalawat Nabi, dsb. Secara prinsip bershalawat diajarkan agama dan diperintahkan untuk banyak melakukannya, kecuali yang dibaca pada shalat. Bid’ah dalam hal ini muncul ketika ada pembatasan waktu atau tempat tertentu, tidak bisa dilakukan di luar waktu atau tempat yang telah ditentukan itu.
Imam Hasan Al Banna memandang bid’ah selain bid’ah haqiqah, tidak termasuk dalam bid’ah prinsip yang menyesatkan, akan tetapi lebih merupakan keberagaman ijtihad dalam masalah furu’iyyah. Ada dalil prinsip yang menjelaskan pokok masalah, lalu muncul ijtihad dalam penerapan dan pelaksanaannya. 
e.       Bahaya Bid’ah
Tersebarnya bid’ah dalam kehidupan umat akan berakibat buruk  dan akan memperlemah umat.  Akibat yang ditimbulkan antara lain :
1.      Memperlemah iman umat, karena bid’ah lebih mendasarkan pada hawa nafsu, bukan pada wahyu Allah.
2.      Menyebarkan taqlid (mengekor  tanpa mengenali dalil), karena biasanya bid’ah lebih cocok dengan hawa nafsu, bukan dengan dalil syar’iy. 
3.      Tergusurnya/punah sunnah-sunnah Rasulullah, sehingga Islam tidak dikenali lagi kecuali namanya saja. 
f.       Cara Menghadapi bid’ah
          Menghadapai bid’ah yang menyesatkan ini, kita wajib melakukan sesutu untuk menghentikannya. Cara efektif dalam menghadapi bid’ah adalah lewat bentuk-bentuk pengingkaran/penolakan dengan hikmah (bijak), bashirah (ketajaman mata hati), dialog yang sehat dan metode-metode lain yang tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar dari yang hendak dihapuskan. 
Metode efektif menghadapi bid’ah adalah metode yan dapat diukur tingkat pencapaiannya dengan biaya yang paling ringan dan korban yang paling minimal. Sarana dan cara menghadapi bid’ah  tidak baku dan kaku, tetapi berkembang sesuai dengan situasi, ruang dan waktu  bid’ah itu muncul.
Rasulullah saw telah memberikan teladan dalam menghadapi bid’ah dengan hikmah dan bashirah agar tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar lagi. Dalam ruang dan waktu yang berbeda diperlukan sikap yang berbeda. Rasulullah membedakan sikapnya dalam menghadapi bid’ah di Makkah, di Madinah dan di Makkah seusai Fathu Makkah. Hal ini bisa kita lihat dari  sikap Nabi terhadap berhala yang ada di sekitar Ka’bah, antara sebelum hijrah dan sesudah fathu Makkah. Dan  adakah yang lebih bid’ah dibandingkan dengan berhala di sekeliling Ka’bah?

 

BAB III
P E N U T U P

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa : Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.
Secara garis besar ibadah dibagi menjadi dua: Ibadah umum (‘Ammah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
 Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup ‘ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.
Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan, itu datangnya dari kealpaan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca semua. Terutama dari dosen Mata kuliah Bapak Muhammad Nasir, M.Pdi  Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya. Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah wassalamu’alaikum wr.wb.






DAFTAR PUSTAKA

[1] Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana.
[2] Suryadi dan R. Nasrullah, 2008, Rahasia Ibadah Orang Sakit, Bandung: Madania Prima.
[3] Ibid.
[4] Isham bin Abdul Muhsin al-Humaidi Khalid bin Abdurrahman Ad-Darwisy, 2007, Ibadah pelepas lelah,Klaten: Wafa press.
[5] Ibnu Mas’ud,  Zainal Abidin S., Fiqh Madhzab Syafi’I, 2007, Bandung: Pustaka Setia.
























[1]  Menurut Abib Al-Jabiri, ada 3 pendekatan yang dipakai dalam memahami teks-teks keagamaan, yaitu [1] pendekatan bayani; [2] pendekatan burhani; dan [3] pendekatan irfani. Secara sederhana, pendekatan bayani, adalah pendekatan yang menekankan pada aspek-aspek linguistic. Sedangkan pendekatan burhani adalah pendekatan dalam memahami teks-teks keagamaan berdasarkan rasio. Adapun pendekatan irfani adalah pendekatan dalam memahami teks-teks keagamaan berdasarkan institusi dan perasaan (zauq) (Muhammad Abid Al-Jabiri, 1993). Pendekatan ini juga diadopsi oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah saat bernama Majelis Tarjih dan pengembangan pemikiran islam (MTPPI) (Suara Muhammadiyah, NO.15 dan 16 TH. Ke-85).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar