Andri Adi Saputra (NIM :11113A0138P). Analisis
Pola Interaksi Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat Lokal Di Sumbawa Besar,
(Studi di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa Besar).
ABSTRAK
Dosen Pembimbing 1 : Dr. H. Suwardi AH, SH.,
M.PA
Dosen Pembimbing 2 : Sawaludin, S.Pd., M.Pd
Hubungan manusia dengan alam sekitar maupun
dengan manusia lainnya selalu akan menghasilkan interaksi. Dalam hidup bersama,
manusia menciptakan hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan
ini tampak pada masyarakat Kecamatan Alas dengan masyarakat pendatang dalam
hubungannya baik dalam agama, sosial, budaya dan ekonomi. Penulis merasa
tertarik mengkaji tentang pola interaksi masyarakat pendatang terhadap
masyarakat lokal di Kecamatan Alas untuk mengetahui bentuk dan pola hubungan
yang terjalin antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal.
Untuk menjawab permasalahan di atas penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, yakni penulis berusaha
menceritakan keadaan yang sesungguhnya dengan cara mencari beberapa masyarakat
lokal dan pendatang untuk diwawancarai, dan observasi serta mengumpulkan
beberapa dokumentasi tenteng pola interaksi masyarakat pendatang dengan
masyarakat lokal. Setalah data terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan
cara mereduksi/mengelompokkan data, setelah itu melakukan penyajian
data/display data kemudian menarik kesimpulan/memverifikasi data.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa interaksi
masyarakat pada daerah penelitian antara masyarakat lokal dan pendatang
berjalan dengan baik. Hubungan baik tersebut ditunjukkan oleh para masyarakat
dengan sikap antusia masyarakat pendatang yang selalu aktif dalam mengikuti dan
melestarikan berbagai bentuk acara keagamaan khusunya yang berhubungan dengan
kegiatan hari-hari besar Islam. Selanjutnya adanya konsep baru pada masyarakat
yaitu terbentuknya pembaruan sosial, kondisi sosial, tatanan sosial, interaksi
sosial, sistem sosial, sistem kepercayaan, norma sosial, sistem adat dalam hal
perkawinan.
Kata
kunci: Pola Interaksi, Pendatang dan Lokal
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pada awal terbentuknya nenek
moyang suku Sumbawa atau ‘Tau Samawa’
adalah terdiri dari berbagai jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian
nusantara kita ini. Mereka mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk yang
lebih dahulu mendiami daerah sumbawa. Walaupun mereka tidak bersama pada waktu
datangnya, tetapi karena telah berabad-abad lamanya hidup dalam lingkungan
kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari keturunan mereka inilah akhirnya
merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya “Tau Samawa” (Lalu Mantja, 2011:15). Dari
pengaruh pencampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat kita lihat, bahwa
watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh rasa toleran.
Penduduk Sumbawa pada masa
lalu, berasal dari berbagai-berbagai tempat dan datangnya secara berkelompok
lalu masing-masing membuat tempat kediamannya. Kemudian mereka berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain terdesak oleh suasana dan keadaan, baik karena
arus perpindahan yang baru, maupun karena tarikan alam untuk mereka jadikan
tempat bercocok tanam dan pemeliharaan ternak. Tempat-tempat ini akhirnya
merupakan tanah ulayat (tanah adat), yang dimana dalam istilah adat Sumbawa
dikenal dengan nama “larlamat” “Nyaka” (Lalu Mantja, 2011:8).
Tanah samawa atau yang
dikenal dengan sebutan Sumbawa adalah merupakan salah satu wilayah indonesia
yang didiami oleh berbagai suku, agama, ras yang hidup bersama dalam satu
kerukunan. Keberadaan pendatang di Sumbawa selalu disambut baik oleh warga
penduduk lokal asli, semua hidup dalam satu kesatuan tanpa memandang adanya
perbedaan.
Kaitan dari pada penjelasan
diatas bahwa pada masa ini masyarakat Sumbawa Besar khususnya wilayah
penelitian adalah masyarakat yang sedang mengalami proses transisi globalisasi
dan moderinisasi, transisi modernisasi dalam artian bahwa masyarakat yang dulu
merupakan masyarakat yang budayais yang sulit berubah dan sangat kental akan
nilai ketradisionalannya yang kemudian memegang teguh menjalankan, dan
menjunjung tinggi nilai, norma dan adat istiadat yang telah mereka yakini
secara turun temurun sedikit demi sedikit mulai luntur disebabkan pengaruh arus
globalisasi dan penetrasi budaya luar. Perubahan dinamika yang menjembatani
pola pikir, karakter, pola berperilaku, gaya hidup adalah salah satu bentuk
pengaruh yang disebabkan oleh modernisasi itu sendiri. Dapat disebutkan adalah
salah satu contoh gambaran yang terjadi akibat adanya pengaruh dari berbagai
latar belakang dan kemajemukan budaya yang ada di Kabupaten Sumbawa Besar
terutama di daerah yang akan saya jadikan tempat penelitian. Secara sadar bahwa
dapat dikatakan adalah wilayah ini merupakan wilayah yang didiami oleh berbagai
suku dan adat istiadat yang beragam. Tidak dapat dipungkiri dengan adanya
kemajemukan budaya mengakibatkan suatu budaya asli itu tidak mungkin tidak
terpengaruh oleh adanya budaya lain. Oleh karena itu nampak jelas perbedaan
yang sangat signifikan.
Secara sadar manusia memiliki
naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dilahirkan dan disosialisasikan
dalam kehidupan masyarakat. Hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan
bagi setiap manusia. Itulah sebabnya, individu menjalin hubungan dengan
individu atau kelompok yang lain, sebab manusia tidak dapat bertahan hidup
tanpa berhubungan dengan individu atau kelompok yang lainnya. Hubungan antara
individu dengan individu atau individu dengan kelompok juga disebut dengan
interaksi sosial.
Dalam beberapa kasus, timbul
konflik yang tajam antara masyarakat lokal dengan warga pendatang. Baik itu
disebabkan oleh perebutan dominasi sektor perekonomian maupun penguasaan
aset-aset strategis ataupun yang disebabkan oleh indikator-indikator lain
seperti benturan-benturan budaya yaitu budaya local dan budaya yang dibawa oleh
masyarakat pendatang. Konflik antar etnis ini memang bukan yang pertama terjadi
di wilayah Sumbawa. Menurut pemberitaan, konflik di wilayah ini sudah terjadi
semenjak tahun 1981. Beralih pada konteks penelitian, terkait dengan masalah
yang akan dikaji pada daerah Kecamatan Alas yang menjadi dasar penelitianya itu
sebagai media untuk menemukan maslah-masalah pada masyarakat itu sendiri.
Masyarakat Kecamatan Alas memiliki penduduk yang majemuk, yaitu suku Samawa
sebagai penduduk asli. Selain itu, juga terdapat suku Jawa, Bugis, Melayu dan
Sasak yang berdiam di sana, dengan adat istiadat, agama, dan latar belakang
yang berbeda. Bukan hanya itu saja, proses assimilasi dan akulturasi yang
terjadi pada masyarakat Kecamatan Alas pun menarik untuk diteliti. Bagaimana
akhirnya proses interaksi dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan penerimaan
unsur kebudayaan pendatang atau justru mengakibatkan perubahan pada unsur
kebudayaan lokal. Berikut adalah sediki gambaran daerah penelitian yang penulis
letakkan dalam latar belakang masalah penelitian ini agar menjadi sudut pandang
dan tolak ukur dalam penyesuaian penelitian.
Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut sebagai peneliti saya bermaksud mengadakan penelitian dengan
berjudul “Analisis Pola Interaksi Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat
Lokal di Sumbawa Besar” (Studi di Kecamatan Alas, Sumbawa Besar).
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar
belakang, maka timbul beberapa pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam
penelitian ini, antara lain:
1.2.1
Bagaimanakah pola interaksi antara
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang?
1.2.2
Bagaimanakah gambaran proses
asimilasi atau akulturasi yang berlangsung di Kecamatan Alas antara kebudayaan
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang?
1.3
Tujuan Penelitian
Sedangkan mengenai tujuan
yang hendak dicapai melalui penelitian dapat di uraikan sebagai berikut:
1.3.1
Untuk mendapatkan data dan fakta
serta menggambarkan bagaimana berlangsungnya pola interaksi antara masyarakat
pendatang dengan masyarakat lokal.
1.3.2
Untuk menggambarkan faktor-faktor
yang mengintegrasikan proses asimilasi atau akulturasi yang berlansung di Kecamatan
Alas antara kebudayaan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat-manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.4.1
Manfaat Teoritis
Dapat memberikan kontribusi
berupa informasi, data, fakta, analisis terhadap studi-studi yang terkait
dengan kajian interaksi sosial. Walaupun penelitian ini berkisar pada pola
interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat asli, namun sedikit banyak
dapat digeneralisasikan secara umum.
1.4.2
Manfaat Praktis
1.4.2.1
Bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa
Besar
a.
Memberikan masukan dalam bentuk
bacaan khususnya disertakan kepada masyarakat Sumbawa Besar baik bagi
masyarakat lokal maupun bagi masyarakat pendatang dan dapat di jadikan sebagai
bahan tolak ukur positif dari adanya kemajemukan itu, serta harapan demi
berlansungnya masyarakat yang ideal. Untuk memperkaya wawasan terutama bagi
kaum muda mudi yang yang berwawasan intlektual sebagai pesan, bahan kajian dan
renungan bagi yang membaca hasil penelitian ini tentang analisis pola interaksi
masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar (Studi
di Kecamatan Alas).
b.
Menjadi wahana untuk memperkaya
khazanah edukasi khususnya bagi publik masyarakat Sumbawa Besar tentang adanya
interaksi masyarakat lokal dan masyarakat pendatang.
1.4.2.2
Bagi penulis
Bagi penulis sendiri adalah
menambah wawasan dan pengetahuan tentang interaksi masyarakat pendatang dengan
masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar
1.4.3
Manfaat Akademis
a.
Memberikan manfaat dan kontribusi dalam
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang interaksi
masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar
b.
Sebagai bahan pertimbangan dan
acuan bagi masyarakat setempat dalam memahami interaksi
masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.5
Pola Interaksi Sosial
1.5.1
Pengertian Pola Interaksi
Sebagai mahluk sosial,
manusia dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan hubungan dengan manusia yang
lain. Hubungan tersebut terjadi karena manusia saling membutuhkan untuk dapat
memenuhi kebutuhannya. Karena manusia tidak bisa lepas dari manusia lainnya dan
tidak bisa melakukan seorang diri. Kecenderungan manusia berhubungan melahirkan
komunikasi dengan manusia yang lainnya. Komunikasi terjadi karena saling
membutuhkan melalui sebuah interaksi.
Interaksi merupakan hubungan
antar manusia yang sifat dari hubungan tersebut adalah dinamis artinya hubungan
itu tidak statis, selalu mengalami dinamika , (M. Setiadi dan Usman, 2011:62). Hubungan antara manusia satu dan
lainnya disebut interaksi. Dari interaksi akan menghasilkan produk-produk
interaksi, yaitu tata pergaulan yang berupa nilai dan norma yang berupa
kebaikan dan keburukan dalam ukuran kelompok tersebut. Pandangan tentang apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk tersebut mempengaruhi perilaku
sehari-hari (M. Setiadi dan Usman,
2011:38).
Interaksi adalah proses
dimana orang-orang berkomunikasi saling memengaruhi dalam pikiran dan tindakan.
Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas
dari hubungan satu dengan yang lain. Ada beberapa pengertian interaksi sosial
yang ada di lingkungan masyarakat, di antaranya; Menurut H. Booner dalam
bukunya, Sosial Psychology, memberikan rumusan interaksi sosial, bahwa:
“interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu atau lebih, dimana
kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan
individu lain atau sebaliknya.” Menurut Gillin and Gillin yang menyatakan bahwa
“interaksi sosial adalah hubungan-hubungan antara orang-orang secara
individual. Antarkelompok orang, dan orang perorang dengan kelompok” (M Setiadi
dkk, 2007:90-91).
Dengan demikian pada
dasarnya, interaksi ialah hubungan antar inividu, kelompok, dimana dengan
adanya hubungan itu dapat saling mempengaruhi, merubah baik dari yang buruk
menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Dalam kamus bahasa Indonesia,
pola artinya adalah gambar, corak, model, sistem, cara kerja, bentuk, dan
struktur (KBBIB, 2008:1088). Sedangkan interaksi artinya hal yang saling
melakukan aksi, berhubungan, memengaruhi, dan antar hubungan (Ibid, 542).
Apabila kata tersebut dikaitkan dengan interaksi maka dapat diartikan pola
interaksi adalah bentuk dasar cara komunikasi individu dengan individu atau
individu dengan kelompok atau kelompok dengan individu dengan memberikan timbal
balik antara pihak satu dengan yang lain dengan maksud atau hal-hal tertentu
guna mencapai tujuan.
Dalam Kamus lengkap Bahasa
Indonesia, M. Ali menyatakan bahwa pola adalah gambar yang dibuat contoh atau
model. Jika dihubungkan dengan pola interaksi adalah bentuk-bentuk dalam proses
terjadinya interaksi. Interaksi yang bernilai pendidikan dalam dunia pendidikan
ataupun yang disebut dengan interaksi edukatif, sebagai contoh dari pola
interaksi adalah dalam hal seorang guru menghadapi murid-muridnya yang
merupakan suatu kelompok manusia di dalam kelas. Di dalam interaksi tersebut
pada taraf pertama akan tampak bahwa guru mencoba untuk menguasai kelasnya
supaya proses interaksi berlangsung dengan seimbang, di mana terjadi saling
pengaruh-mempengaruhi antara kedua belah pihak. Sebagai contoh lain seorang
guru mengadakan diskusi diantara anak didiknya untuk memecahkan sebuah
persoalan, disinilah proses interaksi itu akan terjadi, adanya saling
memberikan pendapat yang berbeda satu sama lain.
Dapat disimpulkan bahwa pola
interasksi merupakan suatu cara, model, dan bentuk-bentuk interaksi yang saling
memberikan pengaruh dan mempengaruhi dengan adanya timpal balik guna mencapi
tujuan. Guru sebagai pengajar memiliki peran penting utuk dapat mengatur
jalannya kegiatan belajar mengajar melalui pola interaksi dimana guru berperan
sebagai pemberi aksi melalui pengajaran dan juga bisa menjadi penerima aksi
melalui pertanyaan-pertayaan yang diajukan oleh siswa. Sebaliknya siswa pun
memiliki peran yang sama dengan guru bisa sebagai pemberi aksi melalui melalui
pertanyaan-pertayaan yang diajukan olehnya dan juga bisa menjadi menjadi
penerima aksi melaui belajar dan mendengarkan. Namun, kerja sama dapat sangat
membantu dalam proses kegiatan belajar mengajar yang diperlukan oleh guru dan
siswa.
Pola dalam sosiologi berarti
gambaran atau corak hubungan sosial yang tetap dalam interaksi sosial. Contoh
pola, antara lain:
a.
Seorang anak harus menghormati orang tuanya.
b.
Seorang bawahan harus menghormati atasannya
c.
Seorang siswa harus mengormati gurunya.
Terbentuknya pola dalam
interaksi sosial tersebut melalui proses cukup lama dan berulang-ulang.
Akhirnya, muncul menjadi model yang tetap untuk dicontoh dan ditiru oleh
anggota masyarakat. Pola sistem norma pada masyarakat tertentu akan berbeda
dengan pola sistem norma masyarakat lainnya karena pola interaksi masyarakat
diterapkan berbeda-beda. Adanya pola interaksi dalam sebuah masyarakat tersebut
nantinya akan menghasilkan sebuah keajegan, di mana keajekan adalah gambaran
suatu kondisi keteraturan sosial yang tetap dan relatif tidak berubah sebagai
hasil hubungan yang selaras antara tindakan, norma, dan nilai dalam interaksi
sosial.
1.5.2
Pengertian Interaksi Sosial
Sudah menjadi kenyataan bahwa
manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang mempunyai keterbatasan dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, sebagai mahluk sosial manusia saling
bergantung kehidupannya satu sama lain. Depedensi manusia ini tidak saja
terdapat pada awal kehidupannya, akan tetapi dialami manusia seumur hidupnya.
Interaksi merupakan syarat terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Di dalam interaksi sosial terkandung makna-makna
tentang kontak secara timbal-balik dan respon antara individu-individu atau
kelompok. Interaksi sosial adalah istilah yang dikenal oleh parah ahli
sosiologi secara umum sebagai aspek inti bagi berlangsungnya kehidupan bersama.
Interaksi sosial berarti suatu kehidupan bersama yang menunjukkan dinamikanya,
tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami perubahan. Menurut
Soerjono Soekanto (dalam Zainuddin Ali 2006:17), interaksi sosial merupakan
“hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan-hubungan
sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia maupun antar perorangan dengan kelompok manusia”.
Bila menyimak pendapat Soerjono Soekanto tersebut, dapat dipahami bahwa
interaksi sosial merupakan proses individu dalam melakukan hubungan sepanjang
ia hidup sebagai anggota masyarakat, sehingga individu akan merasa menjadi
sebagian dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, interaksi sosial
merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai perekat dalam kehidupan sosial,
baik dalam konteks kehidupan pranata keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat
secara keseluruhan. Apabila interaksi sosial berjalan dengan baik, masyarakat
dapat hidup dengan tenang. Mereka dapat memperoleh hubungan yang baik melalui
interaksi antar sesamanya, baik dalam bentuk berkomunikasi melalui interaksi
maupun dalam bentuk bekerja sama. Oleh karena itu, hubungan masyarakat dalam
bentuk apapun dapat diselsaikan dengan interaksi, baik interaksi dengan
masyarakat bawahan, menenengah, maupun sampai pada kalangan masyarakat paling
atas.
Kontak sosial pada dasarnya
merupakan aksi dari individu atau kelompok yang mempunyai makna bagi pelakunya
yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Penangkapan makna
tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Suatu interaksi
sosial dimungkinkan terjadi karena dua hal yakni, kontak sosial dan komunikasi.
Kontak sosial terjadi secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara
langsung misalkan melalui gerak fisik seseorang, misalnya dari berbicara, gerak
isyarat. Secara tidak langsung misalkan melalui tulisan atau komunikasi jarak
jauh yang menjadi syarat utama terjadinya kontak sosial.
Interaksi sosial adalah kunci
dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa adanya interaksi sosial
tidak mungkin adanya kehidupan. Bertemunya orang perorangan secara badaniyah
belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup suatu kelompok sosial. Pergaulan
baru akan terjadi apabila individu atau kelompok bekerja sama, saling
berkomunikasi untuk mencapai tujuannya masing-masing, bahkan mungkin terjadi
persaingan, pertikaian, pertentangan diantara individu atau kelompok.
Berlangsungnya suatu proses
interaksi didasarkan pada berbagai faktor antara lain imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri secara
terpisah maupun dalam keadaan bergabung. Imitasi adalah kecendrungan dalam diri
seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain dengan kata lain secara tidak
disadari seseorang mengambil sifat, sikap, norma, pedoman hidup sebagainya.
Sugesti adalah dorongan yang berasal dari dalam dirinya dan kemudian diterima
oleh orang lain dan dijadikan sebagai pedoman untuk berinteraksi. Sedangkan
identifikasi mempunyai peranan penting yaitu dapat mendorong seseorang untuk
mematuhi nilai-nilai yang berlaku, tetapi juga dapat melemahkan atau dapat
mematikan perkembangan daya kreasi seseorang. Simpati merupakan perasaan
individu tertariknya dengan individu lain.
Hal tersebut merupakan faktor
minimal yang menjadi dasar bagi keberlangsungan proses interaksi sosial,
walaupun kenyataan proses tersebut sangat kompleks sehingga terkadang sulit
mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.
1.5.3
Syarat-syarat Terjadinya Kontak
Sosial
Suatu interaksi tidak mungkin
dapat terjadi apabila tidak memenuhi kedua syarat yaitu adanya kontak sosial
dan komunikasi.
a.
Kontak Sosial
Kontak sosial pada dasarnya
merupakan aksi dari individu atau kelompok yang mempunyai makna bagi pelakunya,
yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Secara fisik kontak
baru akan terjadi apabila terjadi hubungan badaniyah atau tanpa menyentuh
seperti halnya berhubungan melalui telepon, telegraf, radio, televisi, internet
dan lain-lain. Lebih jelasnya dijelaskan dengan bahasa lain adalah kontak
sosial memiliki dua sifat yang pertama bersifat primer artinya terjadi apabila
hubungan diadakan secara langsung dengan berhadapan muka. Yang kedua bersifat
skunder artinya suatu kontak memerlukan suatu perantara. Cara pertama bersifat
verbal atau gestural, yaitu kontak yang terjadi akibat saling menyapa,
berbicara dan berjabat tangan. Cara kedua adalan nonverbal atau nongestural
yaitu kontak yang terjadi dengan tidak menggunakan kata-kata atau bahasa
melainkan dengan adanya isyarat. Misalkan dengan adanya timbul bau keringat,
bau minyak wangi, lambaian tangan dan sebagainya.
b.
Komunikasi
Manusia merupakan mahluk
yang saling menggantungkan satu sama lain. Keinginan dan kebutuhan yang
dimilikinya tidak dapat dipenuhi tanpa bantuan orang lain. Untuk mewujudkannya,
ia berupaya menyampaikan keinginan tersebut kepada orang lain baik secara
verbal maupun simbol-simbol tertentu, sehingga orang lain dapat memahaminya dan
meresponnya, ketika itu terjadilah komunikasi. Webster s new dictionary 1981:
225) dalam Abdul Chaer dan Leoni (2004:17) dikatakan, komunikasi adalah: Communication
is process by which information is exchange between individualals through a
common system of symbol, sign, or behaviour (Komunikasi adalah proses
pertukaran informasi antar individu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah
laku yang umum). Sedangkan dalam Bambang Pranowo (2008:114), ditegaskan
hubungannya dengan bahasa adalah sistem komunikasi simbolikmenggunakan
kata-kata yang diucapkan sesuai dengan pola-pola tertentu serta memiliki makna
yang telah distandarisasikan.Bahasa mencakup juga tanda (sign), dan simbol.
Bahasa memiliki dua karakteristik utama sebagai sebuah sistem komunikasi.
Pertama adalah kualitas simbolnya. Kedua adalah norma atau yang bisa disebut
sebagai gramatikalnya. Oleh karena itu bahasa dan komunikasi mencakup juga
tanda dan simbol yang memiliki karakteristik utama sebagai sebuah sistem
komunikasi. Tafsiran tersebut dapat berwujud melalui pembicaraan, gerak gerik
badan atau sikap-sikap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
Komunikasi terjadi apabila
sesorang memberi arti pada kegiatan orang lain serta perasaan-perasaan apa saja
yang ingin disampaikan oleh orang tersebut, orang yang bersangkutan kemudian
memberikan reaksi terhadap perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang
tersebut. Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Interaksi
sosial baru bisa berlangsung apabila dilakukan minimal dua orang atau lebih.
2. Adanya
interaksi dari pihak lain atas komunikasi dan kontak sosial.
3. Adanya
hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara satu dan yang lainnya.
4. Interaksi
cendrung bersifat positif, dinamis, dan berkesinambungan.
5. Interaksi
cendrung menghasilkan penyusuain diri bagi subjek-subjek yang menjalin
interaksi.
6. Berpedoman
pada norma-norma atau kaidah sebagai acuan dalam interaksi.
1.5.4
Bentuk-bentuk Interaksi sosial
Bentuk interaksi sosial
dapat berupa kerja sama, persaingan bahkan pertentangan atau pertikaian. Suatu
pertikaian mungkin mendapat suatu penyelesaian. Mungkin penyelesaian tersebut
hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, proses ini dinamakan
akomodasi. Di bawah ini akan dijelaskan bentuk-bentuk interaksi sosial, yaitu:
1.
Kerja sama
2.
Persaingan
3.
Pertentangan
Kebiasaan-kebiasaan dan
sikap-sikap demikian dimulai semenjak masa kanak-kanak dalam kehidupan keluarga
atau kelompok-kelompok kekerabatan. Kerja sama timbul karena orientasi orang
perorangan terhadap kelompoknya yaitu in-group-nya dan kelompok lainnya
yang merupakan out-group-nya. Kerja sama tersebut mungkin akan bertambah
kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan
dari luar yang menyinggung kesetiaan secara tradisionil atau institusionil
telah tertanam di dalam kelompok-kelompok tersebut, dalam diri seorang atau
segolongan orang.Persaingan atau compeetition dapat diartikan sebagai
suatu proses sosial, dimana orang perorangan atau suatu kelompok-kelompok
manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang
pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari publik (Tidak perseorangan maupun
kelompok manusia). Selanjutnya Pertentangan merupakan suatu proses sosial
dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.
1.5.5
Proses-proses interaksi sosial
1.5.5.1
Proses Asosiatif
a.
Kerja sama
Kerja sama timbul karena
orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya yaitu in- group dan
kelompok lainnya yang merupakan out group. Kerja sama akan mungkin
bertambah kuat apabila adanya bahaya-bahaya dari luar yang mengancam atau ada
tindakan-tindakan dari luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional
atau institusional yang mengancam terhadap suatu kelompok. Betapa pentingnya
kerja sama digambarkan oleh Charles H. Cooley (dalam Soekanto 2005:73)
dikatakan bahwa:
Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa merekamempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup
pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan
yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja
sama yang berguna.
Dalam hubungannya dengan
kebudayaan suatu masyarakat, maka kebudayaan itulah yang mengarahkan dan
mendorong terjadinya kerja sama. Lain halnya dengan keadaan yang dijumpai pada
msayarakat Indonesia umumnya. Dikalangan masyarakat indonesia dikenal dengan
nama gotong royong.
b.
Akomodasi
Akomodasi merupakan suatu
cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga
lawan-lawan tersebut kehilangan kepribadiannya. Menurut Gillin dan Gillin
(dalam Soekanto, 2005:75) dikatakan bahwa:
Akomodasi adalah suatu pengertian yang dipergunakan oleh parasosiolog
untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama
artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang dipergunakan oleh
ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana mahluk-mahluk hidup
menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya.
Dengan pengertian tersebut
dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok
manusia yang saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi
ketegangan-ketegangan. Tujuan dari akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan
situasi yang dihadapinya, yaitu:
1.
Untuk mengurangi pertentangan
antara orang-perorangan atau kelompok- kelompok manusia sebagai akibat
perbedaan paham. Untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk sementara
untuk atau secara temporer.
2.
Akomodasi kadang-kadang diusahakan
untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial yang
sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, hidupnya
terpisah seperti, misalnya yang dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang
mengenal sistem berkasta.
3.
Mengusahakan peleburan antara
kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya, melalui perkawinan campuran
atau asimilasi dalam arti yang luas.
Akomodasi sebagai suatu
proses, dapat mempunyai beberapa bentuk, yaitu:
a.
Coercion, adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh suatu
paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi, dimana salah satu pihak
berada dalam keadaan yang lemah sekali, dibandingkan dengan pihak lawan.
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik yaitu secara langsung, maupun
secara psikologis yaitu secara tidak langsung. Misalnya perbudakan, adalah
suatu coercion, dimana interaksi sosialnya didasarkan pada penguasaan
majikan atas budak-budaknya, dimana yang terakhir dianggap sama sekali tidak
mempunyai hak-hak apapun juga.
b.
Compromise, yaitu suatu bentuk akomodasi, dimana pihak-pihak yang terlibat
masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelsaian terhadap
perselisihan yang ada. Sikap untuk dapat melaksanakan compromise berarti
bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti pihak lainnya
begitupun sebaliknya.
c.
Arbitration, merupakan suatu cara untuk
mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan, masing-masing
tidak sanggup untuk mencapainya sendiri. Pertentangan diselsaikan oleh pihak
atau oleh suatu badan yang kedudukannya lebih tinggi dari pihak-pihak yang
bertentangan itu, seperti contohnya adalah penyelsaian suatu perselisihan suatu
perselisihan perbuatan.
d.
Mediation, hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundanglah
pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada.
e.
Conciliation, adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang
berselisih, untuk mencapai persetujuan bersama.
f.
Tolerantion, yang juga sering dinamakan tolerant-participation, ini merupakan
suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil bentuknya, kadang-kadang tolerantion
timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan
karena adanya watak orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia.
g.
Stalamete, merupakan suatu akomodasi,
dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang,
berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.
h.
Adjudication. Yaitu penyelsaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Secara panjang lebar,
Gillin dan Gillin mengurauikan hasil-hasil dari terjadinya proses akomodasi,
dengan banyak mengambil contoh-contoh dari sejarah. Antara lain hasil-hasilnya
sebagai berikut:
1.
Akomodasi menyebabkan usaha-usaha
untuk sebanyak mungkin menghindarkan diri dari benih-benih yang dapat
menyebabkan pertentangan yang baru, untuk kepentingan integrasi masyarakat.
2.
Menekan oposisi. Seringkali suatu
persaingan dilaksanakan demi keuntungan suatu kelompok tertentu misalnya
golongan produsen demi kerugian pihak lain misalnya golongan konsumen.
3.
Akomodasi antara golongan produsen
yang mula-mula bersaing akan dapat menyebabkan turunnya harga, oleh karena
barang-barang dan jasa lebih mudah sampai kepada konsumen.
4.
Koordinasi berbagai keperibadian
yang berbeda. Hal ini tampak dengan jelas apabila dua orang misalnya, bersaing
untuk menduduki kedudukan atau sebagai pimpinan suatu partai politik.
5.
Perubahan dari lembaga-lembaga
kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan yang baru.
6.
Perubahan-perubahankedudukan.
Sebetulnya akomodasi menyebabkan suatu penetapan yang baru dari kedudukan orang
perorangan dan kelompok-kelompok manusia.
7.
Akomodasi membuka jalan kearah
assimilalsi. Dengan adanya proses assimilasi, para pihak lebih sering mengenal
dan dengan demikian juga lebih mudah untuk saling mendekati, oleh karena timbul
benih-benih toleransi.
c.
Assimilasi
Assimilasi merupakan suatu
proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha
mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara orang perorangan atau
kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi
kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan
kepentingan dan tujuan bersama. Proses assimilasi timbul apabila ada
kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya. Memperjelas maksud di
atas adalah:
1.
Orang-perorangan sebagai warga
kelompok-kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu
yang lama.
2.
Kebudayaan-kebudayaan dari
kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling
menyesuaikan diri.
Dan faktor-faktor yang
dapat mempermudah terjadinya suatu assimilasi adalah antara lain:
a.
Toleransi
b.
Kesempatan-kesempatan di bidang
ekonomi yang seimbang.
c.
Suatu sikap menghargai orang asing
dan kebudayaannya.
d.
Sikap yang terbuka dari golongan
yang berkuasa dalam masyarakat.
e.
Persamaan dalam unsur-unsur
kebudayaan.
f.
Perkawinan campuran (Amalgamations).
g.
Adanya bersama dari luar.
Faktor-faktor yang dapat
menjadi penghalang terjadinya assimilasi adalah antara lain:
1.
Terisolirnya kehidupan suatu
golongan tertentu dalam masyarakat (Biasanya golongan minoritas). Suatu contoh
misalnya orang-orang indian di Amerika Serikat yang diharuskan bertempat
tinggal di wilayah-wilayah tertentu yang tertutup (Reservation) .
2.
Kurangnya pengetahuan mengenai
kebudayaan yang dihadapi itu.
3.
Perasaan takut terhadap kekuatan
kebudayaan yang dihadapi itu.
4.
Perasaan bahwa suatu kebudayaan
golongan atau kelompok tertentu, lebih superior dari pada kebudayaan golongan
atau kelompok biasanya.
5.
Dalam batas-batas tertentu,
perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniyah dapat pula menjadi
salah satu penghalang terjadinya assimilasi. Faktor ini merupakan salah satu
dari terhalangnya proses assimilasi.
6.
Suatu in-group feeling yang
kuat dapat pula menjadi penghalang terhadap terjadinya assimilasi. In-group
feeling artinya bahwa suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu
terkait pada suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terikat pada suatu
kelompok yang bersangkutan.Suatu hal lain yang dapat mengganggu proses
assimilasi adalah apabila golongan minoritas mengalami gangguan-gangguan dari
golongan yang berkuasa.
1.5.5.2 Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering
juga disebu sebagai oppositional proces, persis halnya dengan kerja
sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya
ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan.
Proses-proses yang
disosiatif dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1.
Persaingan
Persaingan atau competition
dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana orang perorangan atau
suatu kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui
bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari
publik (Tidak perseorangan maupun kelompok manusia).
Bentuk-bentuk persaingan,
yaitu antara lain: Pertama, persaingan di bidang ekonomi.Kedua, persaingan
dalam bidang kebudayaan. Ketiga, persaingan untuk mencapai kedudukan dan
peranan yang tertentu dalam masyarakat. Keempat, kersaingan karena
perbedaan ras.
2.
Kontravensi
Kontravensi pada hakekatnya
merupakan suatu bentuk proses sosial antara persaingan dengan pertentangan atau
pertikaian. Contravention terutama ditandai oleh gejala-gejala adanya
ketidak pastian mengenai seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka
disembunyikan, kebencian atau keraguan-keraguan terhadap kepribadian seseorang.
Dalam bentuk yang murni, contervention adalah suatu sikap mental yang
tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan
suatu golongan tertentu.Proses contravention mencakup lima sub proses,
yaitu:
a.
Proses yang umum dari contravention
meliputi perbuatan-perbuatan seperti penolakan, keengganan, perlawanan,
perbuatan menghalang-halangi protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan dan
perbuatan mengacaukan rencana pihak lain.
b.
Bentuk-bentuk dari contravention
yang sederhana seperti misalnya menyangkal perbuatan orang lain dimuka
umum, memaki-maki orang lain, melalui surat-surat selembaran, mencerca dan
sebagainya.
c.
Contravention yang bersifat rahasia, seperti umpamanya mengumumkan rahasia pihak
lain, perbuatan khianat dan seterusnya.
d.
Bentuk-bentuk contravention yang
intensif yang mencakup penghasutan, menyebarkan desas-desus,
mengecewakan pihak lain dan sebagainya.
e.
Contravention yang bersifat taktis, misalnya mengejutkan lawan. Mengganggu atau atau
membingungkan pihak lain, umpamanya dalam kampanye pemilihan umum. Hal itu
sering terjadi antara partai-partai politik yang memperubutkan kedudukan
melalui suatu pemilihan umum.
Contoh lain adalah memaksa
pihak-pihak lain untuk menyesuaikan diri (Conformity) dengan memakai
kekerasan, mengadakan provokasi, dan sebagainya.
3.
Pertentangan
Pertentangan merupakan
suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.
Sebab musabab dari pertikaian ini antara lain:
a.
Perbedaan antara orang perorangan.
Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin menyebabkan bentrokan antara
orang-perorangan.
b.
Perbedaan kebudayaan. Perbedaan
kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan
yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian
tersebut.
c.
Bentrokan antara
kepentingan-kepentingan. Bentrokan-bentrokan kepentingan orang perorangan
maupun kelompok-kelompok manusia merupakan sumber lain dari pertentangan.
d.
Perubahan-perubahan sosial.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk sementara waktu
merubah nilai-nilai dalam masyarakat tadidan menyebabkan terjadinya
golongan-golongan yang berbeda pendiriannya mengenai reorganisasi dari sitem
nilai-nilai yang sebagai akibat perubahan-perubahan sosial menyebabkan suatu
disorganisasi.
1.5.6
Interaksionisme Simbolik
Istilah interaksionalisme
simbolik yang digunakan pertama kali oleh Herbert Blumer, pada dasarnya
merupakan satu perspektif psikologi sosial. Perspektif ini memusatkan
perhatiannya pada analisa hubungan antar pribadi. Individu dipandang sebagai
pelaku yang menafsirkan, dan bertindak. Kendati istilah ini digunakan pertama
kalinya oleh Blumer, dalam kenyataannya, beberapa pemikir sebelumnya telah
memberikan sumbangan penting bagi perkembangan perspektif ini.
Teori interaksionalisme
simbolik ini berkembang pertama kali di Universitas Chicago dan dikenal juga
dengan aliran Chicago. Dua orang tokoh besarnya yaitu Jhon Dewey dan Charles
Horton Cooley adalah filsuf yang mula mengembangkan teori interaksionisme
simbolik di universitas Michigan. Tokoh modern dari teori ini adalah Herbert
Blumeryang menjelaskan perbedaan antara teori ini dan teori behaviorisme.
Charles Horton Cooley dalam Bernard Raho SVD (2007:97), menjelaskan dua hal
tentang selfadalah: Petama, dia melihat self sebagai
proses dimana individu-individu biasa melihat diri mereka sendiri sebagai obyek
bersama dengan obyek-obyek lainnya didalam lingkungan sosial mereka. Kedua dia
mengakui bahwa ‘self’ muncul dari komunikasi dengan orang lain. Dalam berinteraksi
dengan orang lain, seseorang individu menafsirkan gerak-gerik orang lain dan
dengan demikian ia dapat melihat dirinya berdasarkan sudut pandangan orang
lain. Mereka membayangkan bagaimana orang lain menilai mereka. Dengan demikian
mereka membentuk gambaran-gambaran tentang diri sendiri. Cooley menamakan
proses ini “looking glass self”(diri berdasarkan penglihatan orang
lain). Dia juga mengakui bahwa ‘self’ muncul dari interaksi berdasarkan
konteks kelompok. Dialah yang mengembangkan konsep tentang kelompok primer yang
mencakup perkembangan keperibadian seseorang. Selanjutnya Jhon Deweydalam
Bernard Raho SVD dikatakan, dia sebagai pendukung utama pragmatisme, dia
memusatkan perhatiannya pada proses-proses penyesuaian diri manusia dengan
lingkungannya. Menurut dia, “keunikan manusia muncul dari proses penyesuaian
diri dengan kondisi-kondisi hidupnya” (Bernard Raho SVD, 2007:97) Dewey
menegaskan bahwa apa yang unik dalam diri manusia adalah kemampuaan untuk
berpikir.
Bagimana proses kehidupan
bermasyarakat itu terjadi menurut pandangan teori interaksionalisme simbolik?.
Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:Individu atau unit-unit
tindakan yang terdiri atas sekumpulan orang tertentu, saling menyesuaikan atau
saling mencocokkan tindakan mereka satu sama lain melalui proses interpretasi.
Interpretasi yaitu proses berpikir yang merupakan kemampuan yang dimiliki
manausia. Jadi dalam proses interaksi manusia itu bukan suatu proses dimana
adannya stimulus atau ransangan secara otomatis dan langsung menimbulkan
tanggapan tetapi antara stimulus yang diterima direspon melalui proses
interpretasi atau berpikir.
Diantara berbagai
pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai
pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik. Pendekatan ini
bersumber pada pemikiran Geroge Herbert Mead. Simbol merupakan sesuatu yang
nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya.
Herbert Blummer, salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran
Mead mengenai interaksionisme simbolik dalam Kamanto Sunarto, menurut Blumer
pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga; pertama bahwa manusia
bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning)
yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang dipunyai
tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan
sesamanya. Ketiga, bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses
penafsiran, (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi
sesuatu yang dijumpainya (Sunarto, 1997:47).
Yang hendak ditekankan oleh
Blumer disini adalah bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak
begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu.
Untuk mempelajari interaksi
sosial digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama interactionist
perspektive. Diantara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari
intreaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme
simbolik (Symbolic interaksionism). Pendekatan ini bersumber dari
pemikiran George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa
sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada
penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.
Dalam interaksi sosial, ada
asumsi teoretis yang distilahkan dengan interaksionisme simbol. Herbert Blumer
menyampaikan rumusan yang paling ekonomis menurutnya dari asumsi-asumsi
interaksionisme simboldimana hal ini berhubungan konsep “diri” konsep perbuatan
(action), konsep obyek, konsep interaksi sosial, konsep joint action.
Ia menyambung pada gagasan-gagasan Mead adalah sebagai berikut: konsep diri,
konsep perbuatan (action), konsep obyek. Ketiga konsep menurut Blumer
tersebut bila dikaitkan dengan gagasan Mead adalah dapat dijelaskan. Manusia
bukan semata-mata organisasi saja yang bergerak dibawah pengaruh
perangsang-perangsang entah dari luar, entah dari dalam, melainkan “organisme
yang sadar akan dirinya”. (An organism having a self). Selanjutnya
perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri
sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak mahluk-mahluk
yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal seperti
kebutuhan perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, peraturan-peraturan
masyarakatnya, situasinya, self image-nya, ingatannya dan cita-cita
untuk masa depan. Manusia hidup ditengah obyek-obyek. Kata “obyek” dimengerti
dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian arti manusia.
Menurut Blumer, obyek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan,
kebendaan seperti Empire state Building atau abstrak seperti konsep
kebebasan, hidup atau tidak hidup terdiri dari golongan atau terbatas pada satu
orang, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran
filsafat. Inti hakikat obyek-obyek tidak ditentukan oleh ciri-ciri instrinsik
mereka, melainkan oleh minat dan arti yang dikenakan kepada obyek-obyek itu.
Konsep interaksi sosial.
Dalam deskripsi Mead,
“proses pengambilan peran” menduduki tempat penting. Interaksi berarti bahwa
para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam
posisi orang lain. Konsep joint action. Blumer mengganti istilah sosial act
dari mead dengan istilah joint action. Artinya ialah aksi kolektif
yang lahir dimana masing-masing perbuatan-perbuatan peserta dicocokkan dan
diserasikan satu sama lain.
1.6
Masyarakat Menurut Teori
Simbolik
Interaksi simbolik
menggambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem,
struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur
institusional, pola status, norma-norma, dan nilai-nilai sosial, melainkan
dengan memakai istilah “aksi”. Masyarakat, organisasi atau kelompok terdiri
dari orang-orang yang menghadapi keragaman stuasi dan masalah yang
berbeda-beda.
Pengaruh interaksionisme yang
paling umum adalah pandangan bahwa kita menggunakan interpretasi orang lain
sebagai bukti “kita”. Berarti, citra diri (Self-image). Kesadaran kita
adalah produk dari cara orang lain berpikir tentang kita. Akibatnya, dalam hal
ini “saya adalah apa yang saya pikir engkau berpikir tentang saya”. Bagi
interaksi simbolik inilah terutama apa yang dimaksud dengan sosialisasi itu.
Jadi bukan aturan-aturan kebudayaan sudah ada, bersifat eksternal, yang secara
umum diinternalisasi oleh manusia, seperti pendapat teori struktural. Citra
diri adalah produk dari proses interpreatif. Alokasi makna antara satu orang
dengan orang yang lain. Yang bagi teori tindakan adalah akar dari semua
interaksi sosial. Maka muncullah suatu gambaran masyarakat yang dinamis,
bercorak serba berubah dan pruralis. Orang saling berhubungan satu sama lain
dan saling menyesuaikan kelakuan mereka secara timbal-balik. Mereka tidak
bertindak dengan berdoman pada satu kebudayaan, struktur sosial dan sebagainya,
melainkan dengan menghadapi situasi-situasi. Ciri-ciri struktural seperti
kebudayaan, pelapisan sosial atau peran-peran sosial yang menyediakan
kondisi-kondisi tindakan mereka tetapi tidak menentukannya.
Interaksionisme simbolik
adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling
terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyatan-pernyataan seperti
‘definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang
mendefinisikan situasi itu nyata, maka hanyalah situasi itu dalam
konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, interaksionisme
simbolik itu jelas menunjukkan jenis-jenis aktivitas manusia yang
unsur-unsurnya memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka
memahami kehidupan sosial. Menurut ahli teori interaksionisme simbolik,
kehidupan sosial secara harfiah adalah interaksi manusia melalui penggunaan
simbol-simbol”. Interaksionisme simbolik tertarik pada: Pertama, cara
manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud, dan
untuk berkomunikasi satu sama lain (Suatu interpreatif yang ortodok). Kedua,
akibat interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang
terlibat selama interaksi social (Pip Jones, 2009:142).
Interaksionisme simbolik
menekankan bahwa interaksi adalah proses interpretatif dua arah. Kita tidak
hanya harus memahami bahwa tindakan seseorang adalah produk bagaimana ia
menginterpretasi perilaku orang lain, tetapi bahwa interpretasi ini akan
memberi dampak terhadap pelaku yang berperilakunya diinterpretasi dengan cara
tertentu pula. Salah satu konstribusi interaksionisme simbolik bagi teori
tindakan adalah elaborasi dan menjelaskan berbagai akibat interpretasi terhadap
orang lain terhadap identitas sosial individu yang menjadi objek interpretasi
tersebut.
1.7
Perubahan Sosial dan
Kebudayaan
Setiap manusia pasti
mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai
nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan
dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.
1.
Definisi Perubahan
Sosial dan Kebudayaan
Para sosiolog maupun
antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai pembatasan pengertian
perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. William F.Ogburn dalam Soerjono
Soekanto (2011:303-304), berusaha memberikan sesuatu pengertian tertentu, walau
tidak memberi definisi tentang perubahan-perubahan sosial. Dia mengemukakan
ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik
yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar
unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Kingsley Davis
(Soerjono Soekanto 2011:, 304), mengartikan perubahan sosial sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya
timbul perorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan
perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan antara buruh dan majikan dan
seterusnya menyebabkan perubahn-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik.
Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering mempersoalkan
perbedaan antara perubahan-perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kingsley
Davis berpendapat bahwa perubahan sosial meerupakan bagian dari perubahan
kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu:
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan dalam bentuk aturan-aturan
organisasi sosial.
2.
Bentuk-bentuk Perubahan Sosial dan
kebudayaan
Perubahn sosial dan
kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
a.
Perubahan lambat dan perubahan
cepat
Perubahan-perubahan yang
memerlukan waktu yang lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling
mengikuti dengan yang lambat, dinamakan evolusi. Perubahan-perubahan tersebut
terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
keperluan-keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul
sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahn tersebut
tidak perlu sejalan dengan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang
bersangkutan.
b.
Perubahan kecil dan perubahan
besar
Agak sulit untuk merumuskan
masing-masing pengertian tersebut di atas, karena batas-batas pembedaannya
sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan
kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial
yang tidak membawa pengaruh langsung yang berarti bagi masyarakat. Perubahan
mode pakaian, misalnya tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat
dalam keseluruhannya, karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahn pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya, suatu proses industrilisasi yang
berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya, merupakan pengaruh besar pada
masyarakat.
c.
Perubahan yang dikehendaki dan
perubahan tidak dikehendaki
Perubahan yang dikehendaki
adalah perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu
oleh pihak-pihak yang akan melakukan perubahan di dalam masyarakat. Pihak yang
menghendaki perubahan disebut agent of change. Agent of change memimpin
masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agent of
change langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan
perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Selanjutnya perubahan yang tidak dikehendaki merupakan
perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar
jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat
sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Konsep perubahan yang dikehendaki atau
tidak dikehendaki tidak mencakup paham apakah perubahan-perubahan tadi
diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Mungkin suatu perubahan yang
tidak dikehendaki sangat diharapkan dan diterima masyarakat. Bahkan para agent
of change yang merencanakan perubahan-perubahan yang dikehendaki telah
memperhitungkan terjadinya perubahan-perubahn yang tidak terduga di
bidang-bidang lain.
3.
faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan sosial dan kebudayaan.
Untuk mempelajari perubahan
masyarakat, perlu diketeahui sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya
perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya perubahn
masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi
memuaskan. Mungkin saja karena ada factor baru yang lebih memuaskan masyarakat
sebagai pengganti faktor-faktor lama itu. Pada umumnya dikatakan bahwa
sebab-sebab tersebut mungkin sumbernya ada yang terletak di dalam masyarakat
itu sendiri da nada yang terletaknya di luar. Sebab-sebab yang terletak di
dalam masyarakat itu sendiri, antara lain adalah:
a.
Bertambah atau berkurangnya
penduduk
b.
Penemuan-penemuan baru
c.
Pertentangan konflik masyarakat
d.
Terjadinya pemberontakan atau
revolusi
Selanjutnya suatu perubahan
sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari
luar masyarakat itu sendiri, antara lain:
a.
Sebab-sebab yang berasal dari
lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia
b.
Peperangan
c.
Pengaruh kebudayaan masyarakat
lain
4.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi Jalannya proses perubahan
Di dalam masyarakat dimana
terjadi suatu proses perubahan, terdapat faktor-faktor yang mendorong jalannya
perubahan yang terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:
a.
Kontak dengan kebudayaan lain.
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion. Difusi
adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain,
dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut masyarakat
mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang dihasilkan.
b.
Sistem pendidikan formal yang
maju. Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan
memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya
serta menerima hal-hal baru dan juga bagimana cara berpikir secara ilmiah.
c.
Sikap menghargai hasil karya
seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju. Apabila sikap tersebut melembaga
dalam suatu masyarakat, maka masyarakat akan merupakan pendorong bagi
usaha-usaha penemuan baru.
d.
Sistem terbuka lapisan masyarakat.
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertical yang luas atau berarti
atau memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan
diri sendiri. Dengan keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan
identifikasi dengan warga-warga yang mempunyai status lebih tinggi.
Identifikasi merupakan tingkah laku yang sedemikian rupa, sehingga seseorang
meras berkedudukan sama dengan orang atu golongan lain yang dianggap lebih
tinggi dengan harapan agar diberlakukan sama dengan golongan tersebut.
e.
Penduduk yang heterogen.
Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar-belakang
kebudayaan yang berbeda, ras yang berbeda, ideologi yang berbeda dan
seterusnya, mempermudah terjadinya pertentangan-pertentangan yang mengundang
kekgoncangan-kegoncangan. Keadaan-keadaan tersebut mempermudah terjadinya
perubahan-perubahan dalam masyarakat.
f.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap
bidang-bidang kehidupsn tertentu. Ketidakpuasan yang berlangsung terlalu lama
dalam masyarakat berkemungkinan besar akan mendatangkan revolusi.
g.
Orientasi ke masa depan
h.
Nilai bahwa manusia harus
senantiasa berikhtiar terjadinya perubahan
5.
Faktor-faktor Yang
Menghalangi terjadinya Proses Perubahan
a.
Kurangnya hubungan dengan
masyarakat lain. Kehidupan asing menyebabkan sebuah masyarakat tidak mengetahui
perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada mamsyarakat lain yang mungkin
akan memperkaya kebudayaannya sendiri. Hal itu juga menyebabkan bahwa para
warga masyarakat terkukung pola-pola pemikirannya oleh tradisi.
b.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang
terlambat. Hal ini mungkin disebabkan hidup masyarakat tersebut terasing dan
tertutup atau mungkin karena lama dijajah oleh masyarakat lain.
c.
Sikap masyarakat yang sangat
tradisionil. Suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau serta
anggapan bahwa trasdisi secara mutlak tidak dapat diubah, menghambat jalannya
proses perubahan.
d.
Adanya kepentingan-kepentingan
yang telah tertanam dengan kuat. Dalam organisasi sosial yang mengenal sistem
sosial pasti akan ada sekelompok orang yang menikmati kedudukan
perubahan-perubahan. Misalnya dalam mamsyarakat feodal atau masyarakat yang
sedang mengalami transisi.
e.
Rasa takut akan terjadinya
kegoyahan pada integritas kebudayaan. Memang harus diakui kalo tidak mungkin
integrasi semua unsur-unsur kebudayaan bersifat sempurna. Beberapa
perkelompokkan unsur-unsur tertentu mempunyai drajat integritas tinggi.
Maksudnya unsur-unsur luar dikhawatirkan akan menggoyahkan integrasi dan
menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu masyarakat.
f.
Prasangka terhadap hal-hal baru
atau asing atau sikap yang tertutup. Sikap-sikap demikian banyak dijumpai pada
masyarakat-masyarakat yang pernah dijajah bangsa-bangsa barat.
g.
Hambatan-hambatan yang bersifat
ideologis. Setiap usaha pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Biasanya
diartikan sebagai usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang sudah
menjadi dasr integritas masyarakat tersebut.
h.
Adat atu kebiasaan. Adat atau
kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat di dalam
memenuhi semua kebutuhan pokoknya. Apabila kemudian pola-pola perilaku tersebut
efektif di dalam memenuhi kebutuhan pokok, krisis akan muncul. Mungkin adat
atau kebiasaan yang mencakup bidang kepercayaan, sistem mata pencaharian, cara
berpakaian tertentu, begitu kokoh sehingga sukar untuk diubah.
1.8
Masyarakat dan Unsur-Unsur
Persamaan Kebudayaan
Sejak lama para sarjana
tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan
diberbagai tempat yang sering kali jauh letaknya satu sama lain. Ketika cara
berpikir mengenai evolusi kebudayaan berkuasa, para sarjana menguraikan gejala
persamaan itu dengan keterangan bahwa persamaan-persamaan itu disebabkan karena
tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai tempat di
muka bumi. Sebaliknya ada juga uraian-uraian lain yang mulai tampak di kalangan
ilmu antropologi, terutama waktu cara berfikir mengenai evolusi kebudayaan mulai
kehilangan pengaruh, yaitu kira-kira pada akhir abad ke-19. Menurut uraian ini,
gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia disebabkan
karena persebaran atau difusi dari unsur-unsur itu ke tempat–tempat tadi.
Selanjutnya diterangkan bahwa menurut Garebner (Koentjaraningrat, 1999:112-113)
yang disebutnya satu Kulturkreise.
Maksud istilah itu adalah lingkaran kebudayaan di muka bumi yang
mempunyai unsur-unsur kebudayaan yang sama.
Metode klasifikasi
unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat di muka bumi ke dalam berbagai kulturkreis
itu diterangkan dalam bukunya yang menjadi sangat terkenal, yaitu Methode
der Etnologie (1911) dalam Koentjaraningrat. Prosedur klasifikasi itu
berjalan sebagai berikut:
1.
Seseorang peneliti mula-mula harus
melihat di tempat-tempat mana di muka bumi terdapat unsur-unsur kebudayaan yang
sama. Misalnya di tiga kebudayaan di tempat-tempat yang kita sebut A, B, dan C
yang letaknya saling berjauhan, terdapat unnsur-unnsur kebudayaan a yang
sama, maka unsur itu yang di A kita sebutkan a, di B kita namakan a, di
C adalah a. Persamaan akan kesadaran tadi dicapai dengan alasan
pembandingan berupa ciri-ciri, atau kualitas, dari ketiga unsur tadi, dan
disebut Qualitats Kriterium.
2.
Si peneliti kemudian harus melihat
apakah di A ada unsur-unsur lain yang sama dengan unsur-unsur di B dan C; dan
misalkan ada unsur b,c, d, dan e di A yang sama dengan unsur-unsur b, c, d, dan
e di C, maka alasan pembandingan berupa suatu jumlah banyak (kuantitas) dari
berbagai unsur kebudayaan tadi di sebut Quantitats Kriterium. Tiap
kelompok unsur-unsur yang sama tadi, yaitu (a b c d e, (a’ b’ c’ d’ e’) dan (a”
b” c” d” e”), masing-masing disebut Kulturkomplex.
3.
Akhirnya peneliti menggolongkan
ketiga tempat itu, yaitu A, B dan C, dimana terdapat ketiga Kultu rkomplex tadi,
menjadi satu, seolah-olah memasukkan ketiga tempat di atas peta bumi bumi itu
ke dalam satu lingkaran. Ketiga tempat tadi itu menjadi Kulturkreis. Dengan
melanjutkan prosedur tersebut, maka di atas peta bumi akan tergambar berbagai Kulturkreis,
yang saling berpadu dan bersimpangisiur. Dengan demikian akan tampak gambaran
atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa yang lampau.
Berhubungan dengan perhatian
terhadap masalah persebaran kebudayaan tersebut di atas, ada seorang sarjana
ilmu hayat yang merangkap ilmu bumi bernama F. Ratzel (1844-1904) yang pernah
mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika. Ia
banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur di berbagai tempat di Afrika
itu, dan kemudian juga pada unsur-unsur kebudayaan lain, seperti bentuk rumah,
topeng,pakaian dan lain-lain. Anggapan dasar para sarjana tadi dapat
diringkaskan sebagai berikut: Kebudayaan manusia itu pangkalnya adalah satu,
dan di suatu tempat yang tertentu, yaitu pada waktu mahluk manusia baru muncul
di dunia ini. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecahah
ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu.
Oleh Karena itu dari penjelasan teori kulturkreise di atas dapat
dihubungkan dengan realitas kebudayaan secara univesal yakni gejala-gejala
persebaran atau difusi kebudayaan yang ada di indonesia terdapat kesamaan
unsur-unsur di dalamnya. Secara umum terdapat bebrapa deminsi yang menjelaskan
kekhasan suatu bangsa. Unsur-unsur identitas itu secara normative berbentuk
sebagai nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis (Ubaedillah dan
Rozak, 2000:97). Selanjutnya keterkaitan antara teori tersebut akan dijelaskan
pada hasil kajian ilmiah ini apakah ada hubungan serta interpretasi dari hasil
kajian tersebut.
Masyarakat dan kebudayaan
adalah dwi tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Ada yang memamandang masyarakat
dari sudut pandang kebudayaan dengan alasan bahwa unsur kebudayaan merupakan
unsur terpenting dari masyarakat, ada yang memandang masyarakat dari aspek
organisasi dan kerja sama karena unsur inilah yang terpentingdalam kehidupan
bermasyarakat. Dan ada pula yang memandang sebagai kelompok-kelompok karena
kelompok adalah unsur yang menentukan kehidupan masyarakat. Berikut ini adalah
sejumlah pengertian dari beberapa ahli mengenai masyarakat. Kehidupan
masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem atau sistem sosial, yaitu suatu
keseluruhan bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu
kesatuan. Menurut Koentjaraningrat masyarakat adalah “kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Sementara menurut
Horton dan Hunt dalam M. Bambang Pranowo (2010:128) mengatakan; masyarakat
adalah “suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain,
sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang
menjadi pegangan masyarakat tersebut”. Kemudian selanjutnya menurut Selo
Soemardjan dalam Jacobus Ranjabar (2016:10) mengatakan; masyarakat adalah
“orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan”.Dari beberapa
definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat adalah suatu
kelompok manusia yang saling berhubungan: pengaruh-mempengaruhi; mempunyai
norma-norma; memiliki identitas yang sama; dan memiliki teritorial kewilayahan
tertentu.
Untuk memberikan penjelasan
yang cukup detail mengenai unsur-unsur masyarakat untuk membedakannya dengan istilah
lain seperti komunitas, perkumpulan dan lain sebagainya adalah:
1.
Adanya kelompok manusia
yang berinteraksi
Syarat pertama yang harus ada dalam
kehidupan masyarakat adanya interaksi diantara anggota kelompok masyarakat
tersebut, berlansung lama, saling pengaruh mempengaruhi dan memiliki prasarana
untuk berinteraksi.
2.
Adanya Norama-norma dan
adat istiadat
Kehidupan masyarakat akan
berlangsung tertib manakalah terdapat norma-norma yang diterapkan secara
kontinyu dan teratur, sehingga menjadi adat istiadat yang khas untuk masyarakat
tersebut yang menjadi pembeda dengan masyarakat lainnya.
3.
Adanya identitas yang
sama
Unsur lain yang membentuk adanya
masyarakat adalah adanya identitas yang sama yang dimiliki oleh warga
masyarakatnya, bahwa mereka memamang merupakan suatu kesatuan khusus yang
berbeda dengan kesatuan-kesatuan lainnya.
4.
Adanya batas wilayah
Suatu masyarakat umumnya mempunyai
batas-batas wilayah yang jelas. Batas-batas itu sering menjadi petunjuk bagi
pengamat untuk memgetahui jenis suku bangsa yang menghuni wilayah tersebut.
Oleh karena itu masyarakat tidak
dapat dipisahkan dari manusia karena hanya manusia saja yang hidup
bermasyarakat. Sebaliknya manusia pun tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.
Dengan adanya kebudayaan di dalam masyarakat itu adalah sebagai bantuan yang
sangat besar sekali pada individu-individu, baik dari sejak permulaan adanya
masyarakat sampai kini. Setiap kebudayaan adalah sebagai jalan atau arah di
dalam bertindak dan berpikir, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman fundamental,
oleh sebab itulah kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Metode yang
digunakan
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Menurut Taylor dan Bogdan
dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (2007:166), Pengertian penelitian kualitatif
dapat diartikan sebagai “penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai
kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari
orang-orang yang diteliti”. Penelitian
kualitatif yang berakar dari paradigma interpretatif, pada awalnya muncul dari
ketidakpuasan atau reaksi terhadap paradigma positivist, yang menjadi
akar penelitian kuantitatif.
Untuk mengadakan pengkajian
selanjutnya terhadap istilah penelitian kualitatif perlu kiranya dikemukakan
beberapa definisi. Pertama, Bogdan dan Taylor (1975: 5) dalam Lexi J.
Moleong (2006:3) mendefinisikan “metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa data-data tertulis
atau lisan dari orang-orang yang diamati”. Menurut mereka, pendekatan ini
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam
hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel
atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) dalam Lexi J.
Moleong (2006: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasanya dan dalam peristilahannya”.
Metode deskriptif adalah
suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu
kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Tujuan metode dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambar-gambar
atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Tujuan utama dalam
menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang
sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab
dari suatu gejala tertentu (Travers, 1978) dalam Consuelo G. Sevilla dan
kawan-kawan. Ada beberapa teori pendekatan yang digunakan untuk penelitian
kualitatif yaitu, perspektif ke dalam fenomenologis, interaksi simbolis,dan
etnometodologi.
Hakikat dari metode
kualitatif adalah totalitas atau gestalt, yaitu ketetapan interpretasi
bergantung kepada ketajaman analisis, objektivitas, sistematik dan sistemik,
bukan pada statistika dengan menghitung beberapa besar probalitasnya bahwa
peneliti benar dalam interpretasinya.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.8.1
Observasi
Metode observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap
gejala-gejala yang diselidiki baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam
situasi yang sengaja dibuat secara khusus. Metode ini dimaksudkan untuk
mencatat terjadinya peristiwa atau terlibatnya gejala tertentu secara langsung
dan juga data-data lain yang dibutuhkan yang sulit diperoleh dengan metode
lainnya.
Observasi ini dilakukan untuk mengamati
dan membuat catatan deskriptif terhadap latar belakang dan semua kegiatan yang
terkait dengan interaksi social masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang di
Kecamatan Alas sehingga dapat diperoleh data yang akurat.
1.8.2
Wawancara (Interview)
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan
secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Dalam
mengunakan wawancara tidak terlepas dari masalah pokok yang perlu diperhatikan
yaitu seleksi individu untuk diwawancarai, pendekatan pada orang yang telah
diseleksi untuk diwawancarai, pengembangan suasana lancar dalam mewawancarai
serta untuk menimbulkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang
diwawancarai.
Dalam penelitian ini penulis
akan melakukan wawancara dengan menggunakan pendekatan wawancara pembicaraan
infomasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang
diajukan sangat bergantung pada wawancara itu sendiri, jadi bergantung pada
spotanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai. Wawancara
demikian pada latar ilmiah. Hubungan wawancara dengan yang diwawancarai adalah
dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaannya dan jawabannya berjalan
seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan informasi saja.
Jadi peneliti mewawancarai permasalahan
tentang bagaimanakah pola interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat
pendatang serta bagaimanakah gambaran proses asimilasi atau akulturasi yang
berlangsung di Kecamatan Alas antara kebudayaan masyarakat lokal dengan
masyarakat pendatang?
1.8.3
Dokumentasi
Dokumentasi diperlukan untuk memperoleh data-data yang
relevan dengan fokus penelitian, seperti catatan dan dokumen ataupun
arsip-arsip lain yang dipandang perlu untuk membantu analisis. Hal ini sesuai
dengan pendapatnya Arikunto (2010:132), bahwa teknik dokumentasi adalah untuk
mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku,
surat dan sebagainya.
3.3. Jenis dan Sumber Data
3.3.1
Jenis Data
Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti memerlukan data yang
akurat agar hasil kajian dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Dalam
melaksanakan penelitian, ada dua jenis data yaitu data kualitatif dan data
kuantitatif (Arikunto, 2010: 98).
a.
Data kuantitatif adalah data yang
berupa angka-angka dengan melalui penelitian perhitungan.
b.
Data Kualitatif adalah data-data
yang berupa uraian-uraian dengan melalui penelitian sisial.
Jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kulitatif, yaitu
dengan cara menjelasakan secara sistematis, analitis dan logis dari
permasalahan yang diteliti yaitu interaksi social
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang di Kecamatan Alas.
3.3.2
Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan
informasi mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua,
yaitu data primer dan data sekunder.
3.3.2.1 Data
primer yaitu berupa data yang berasal dari hasil wawancara dan hasil observasi yan dilakukan oleh
peneliti.
3.3.2.2 Data
sekunder yaitu berupa data yang berasal dari beberapa dokumen yang dikumpulkan
peneliti.
3.4. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
analisis data dari Miles dan Huberman dalam
Lexi J Moeloeng (2009:16-18), yaitu terdiri dari tiga alur kegiatan yang
terjadi secara bersamaan yaitu : Reduksi data, penyajian data/display data, dan
penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang
berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling
susul menyusul.
Bagan 1:
Komponen-komponen Analisis Data
Bagan tersebut dapat
dijelaskan bahwa tiga
jenis kegiatan utama pengumpulan data (reduksi data,
penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi) merupakan proses
siklus interaktif. Peneliti
harus siap bergerak
di antara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan
data, selanjutnya bergerak bolak balik di antara kegiatan reduksi, penyajian,
dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengelompokkan data sesuai dengan aspek-aspek permasalahan penelitian, seperti
mengelompokkan data-data yang sama dari berbagai data yang didapatkan dari
responden yang berbeda, menyederhanakan dan memberi tema sesuai dengan item
pertanyaan penelitian. Reduksi data ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasikan
data lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi,
dengan demikian kesimpulannya dapat diverifikasi untuk dijadikan temuan
penelitian terhadap masalah yang diteliti.
Data yang telah direduksi kemudian disajikan atau ditampilkan
(display) dalam bentuk deskripsi
sesuai dengan aspek-aspek penelitian. Penyajian data ini dimaksudkan untuk
memudahkan peneliti menafsirkan data dan menarik kesimpulan. Sesuai dengan
aspek-aspek penelitian ini, maka data atau informasi yang diperoleh dari
lapangan disajikan secara berturut-turut mengenai keadaan faktual tentang
tradisi ziarah makam Padang Reak oleh masyarakat Sekarbela.
Proses terakhir adalah pengambilan kesimpulan/verifikasi (conclussion/ verification), yang diawali dengan
pengambilan kesimpulan sementara atau tentatif, namun seiring dengan
bertambahnya data maka harus dilakukan verifikasi data dengan cara mempelajari
kembali data yang telah ada. Setelah itu, melakukan verifikasi data dengan cara
meminta pertimbangan dari tokoh-tokoh lain, atau dengan cara membandingkan data
yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu dengan sumber-sumber lain. Baru
kemudian, peneliti menarik kesimpulan akhir untuk mengungkap temuan-temuan
penelitian ini.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Kecamatan Alas
1.
Bidang Kependudukan
Luas Wilayah Kecamatan Alas 123,04
Km2 berada pada ketinggian rata-rata 6,50 meter dari permukaan laut.
Terdiri dari 8 desa yaitu Desa Luar, Desa Dalam, Desa Kalimango, Desa Juran
Alas, Desa Baru, Desa Marente, Desa Labuhan Alas dan Pulau Bungin
·
Jumlah Penduduk : Tahun 2009
|
28.948wa
|
|||||
Laki-laki
|
:
|
15.347wa
|
||||
Perempuan
|
:
|
13.601 Jiwa
|
||||
·
Jumlah Penduduk Tahun 2010
|
|
29.417 Jiwa
|
||||
Laki-laki
|
:
|
15.331 Jiwa
|
||||
Perempuan
|
:
|
14.086 Jiwa
|
||||
·
Terjadi peningkatan sebesar 469 Jiwa
|
||||||
·
Kepadatan Penduduk Tahun 2009 rata-rata 235 Jiwa/Km2
|
||||||
·
Sedangkan kepadatan penduduk tahun 2010 rata-rata 239
Jiwa/Km2
|
||||||
·
Jumlah Rumah Tangga : 6.974 RT Tahun 2009 sedangkan Tahun
2010 jumlah rumah Tangga 7.249 RT terjadi kenaikan sebesar 275 RT
|
||||||
·
Jumlah RT=157, RW=65, Dusun=28 bertambah 1 Dsn Pentemat
Desa Marente
|
||||||
·
Jumlah Rumah Tangga Miskin dengan jumlah Rumah Tangga
tahun 2009=3.317/6.974x100=47.56%
|
||||||
·
Sedangkan tahun 2010 Rasio perbandingan Rumah Tangga
Miskin dengan jumlah Rumah Tangga=3.699/7.249x100=51.03%
|
||||||
·
Terjadi peningkatan sebesar 3.47%
|
||||||
Rumah tangga menurut jenis
pekerjaan :
|
||||||
·
Pertanian
|
2.202 RT
|
|||||
·
Perikanan
|
601 RT
|
|||||
·
Peternakan
|
589 RT
|
|||||
·
Kehutanan
|
51 RT
|
|||||
·
Home Industri
|
510 RT
|
|||||
·
Perdagangan
|
1.001 RT
|
|||||
·
Angkutan
|
529 RT
|
|||||
·
Karyawan
|
492 RT
|
|||||
·
Lainnya
|
1.274 RT
|
|||||
2. Bidang Kesehatan
Jumlah Peserta Jamkesmas tahun 2009
16.512 jiwa, sedangkan tahun 2010 berjumlah 17.065 jiwa, terjadi peingkatan
jumlah peserta Jamkesmas sebesar 553 jiwa. Jumlah Jamkesda 34 jiwa sama seperti
tahun lalu. Jumlah keseluruhan Jamkesmas dan Jamkesda = 17.065 + 34 = 17.099
jiwa
Desa Dalam
|
2.481 jiwa
|
|||||||
Desa Kalimango
|
2.204 jiwa
|
|||||||
Desa Baru
|
3.048 jiwa
|
|||||||
Desa Lab. Alas
|
1.259 jiwa
|
|||||||
Desa Marente
|
1.198 jiwa
|
|||||||
Desa Luar
|
2.056 jiwa
|
|||||||
Desa Juranalas
|
3.245 jiwa
|
|||||||
Desa Pulau Bungin
|
1.021 jiwa
|
|||||||
Jumlah Peserta Jamkesda : 34 jiwa
|
||||||||
1.
|
Desa Luar
|
20 jiwa
|
||||||
2..
|
Desa Juranalas
|
7 jiwa
|
||||||
3.
|
Desa Dalam
|
6 jiwa
|
||||||
4.
|
Desa Lab. Alas
|
1 jiwa
|
||||||
Rasio perbandingan pengguna
Jamkesmas + Jamkesda tahun 2009 = (16.546/28.948)X100=57,16%
|
||||||||
Rasio perbandingan pengguna
Jamkesmas + Jamkesda tahun 2010 = (17.065/29.417)X100=58.01%
|
||||||||
Terjadi peningkatan sebesar 0.85%
|
||||||||
Data Pentahapan Keluarga Sejahtera
|
||||||||
·
Keluarga Pra Sejahtera
|
||||||||
NO
|
Desa
|
2009
|
2010
|
Keterangan
|
||||
1
|
Baru
|
259
|
270
|
+ 11
|
||||
2
|
Luar
|
316
|
295
|
- 21
|
||||
3
|
Dalam
|
429
|
442
|
+ 13
|
||||
4
|
Kalimango
|
154
|
175
|
+ 21
|
||||
5
|
Juranalas
|
170
|
179
|
+ 9
|
||||
6
|
Marente
|
187
|
191
|
+ 4
|
||||
7
|
Pulau Bungin
|
208
|
217
|
+ 9
|
||||
8
|
Lab. Alas
|
170
|
187
|
+ 17
|
||||
Jumlah
|
1893
|
1956
|
+ 63
|
|||||
|
||||
No
|
Desa
|
2009
|
2010
|
Keterangan
|
1
|
Baru
|
187
|
207
|
+ 20
|
2
|
Luar
|
245
|
253
|
+ 8
|
3
|
Dalam
|
363
|
370
|
+ 7
|
4
|
Kalimango
|
202
|
287
|
+ 85
|
5
|
Juranalas
|
296
|
321
|
+ 25
|
6
|
Marente
|
178
|
175
|
- 3
|
7
|
Pulau Bungin
|
177
|
182
|
+ 5
|
8
|
Lab. Alas
|
63
|
73
|
+ 10
|
Jumlah
|
1711
|
1863
|
+ 152
|
|
||||
No
|
Desa
|
2009
|
2010
|
Keterangan
|
1
|
Baru
|
175
|
180
|
+ 5
|
2
|
Luar
|
312
|
314
|
+ 2
|
3
|
Dalam
|
313
|
318
|
+ 5
|
4
|
Kalimango
|
158
|
159
|
+ 1
|
5
|
Juranalas
|
521
|
521
|
-
|
6
|
Marente
|
201
|
205
|
+ 4
|
7
|
Pulau Bungin
|
216
|
219
|
+ 3
|
8
|
Lab. Alas
|
53
|
55
|
+ 2
|
Jumlah
|
1949
|
1971
|
+ 22
|
|
||||
No
|
Desa
|
2009
|
2010
|
Keterangan
|
1
|
Baru
|
171
|
173
|
+ 2
|
2
|
Luar
|
323
|
325
|
+ 2
|
3
|
Dalam
|
290
|
295
|
+ 5
|
4
|
Kalimango
|
366
|
366
|
-
|
5
|
Juranalas
|
354
|
355
|
+ 1
|
6
|
Marente
|
97
|
101
|
+ 4
|
7
|
Pulau Bungin
|
116
|
117
|
+ 1
|
8
|
Lab. Alas
|
84
|
85
|
+ 1
|
Jumlah
|
1801
|
1817
|
+ 16
|
|
||||
No
|
Desa
|
2009
|
2010
|
Keterangan
|
1
|
Baru
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Luar
|
-
|
-
|
-
|
3
|
Dalam
|
-
|
-
|
-
|
4
|
Kalimango
|
2
|
2
|
-
|
5
|
Juranalas
|
3
|
3
|
-
|
6
|
Marente
|
-
|
-
|
-
|
7
|
Pulau Bungin
|
-
|
-
|
-
|
8
|
Lab. Alas
|
-
|
-
|
-
|
Jumlah
|
5
|
5
|
-
|
3. Bidang Pendidikan
a. Jumlah Lembaga Pendidikan Formal
dari tk SMA/SMK s/d TK-Paud :
Tk SMA/SMK, 2 buah : SMAN 1 Alas dan
SMKN Kelautan tidak termasuk SMA Muhammadiyah dan MA NW
Jumlah murid SMAN : 648 siswa
Laki-Laki : 284 siswa
Perempuan : 364 siswa
Jumlah murid SMKN Kelautan : 858
Laki-Laki : 535
Perempuan : 323
b. Tk. SMP terdiri dari 3 SMP (tidak
termasuk MTsN dan MTs NW
Jumlah murid : 1300
Laki-Laki : 596
Perempuan\ : 704
4.2. HASIL
PENELITIAN
4.2.1 Pola Interaksi Masyarakat lokal dengan
Masyarakat Pendatang
Untuk
mendapatkan data atau informasi tentang
pola intraksi masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang, peneliti tetap
menggunakan kolaborasi tiga metode pengambilan data yaitu metode observasi,
dokumentasi dan wawancara. Adapun hasil ketiga metode pengambilan data tersebut
sebagai berikut:
Manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam kehidupan
untuk menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Bentuk dan
pola-pola interaksi dapat dijumpai pada kehidupan masyarakat.
Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses-proses sosial, yang
menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis terkait dengan hubungan
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang yang ada di Kecamatan Alas dan
sekitarnya. Selanjutnya keterangan masyarakat lokal sendiri bahwa pendatang
dinilai banyak yang larut kedalam budaya masyarakat lokal, dan banyak pula
anggota masyarakat lokal yang mencontohi budaya para pendatang tersebut.
Berdasarkan uraian ini, maka dapat ditegaskan bahwa interaksi sosial di
Kecamatan Alas berlangsung cukup baik hingga tidak menimbulkan distorasi sosial
dalam proses pembaruaannya. Keterangan lain yang menyebutkan bahwa,
masjid-masjid berperan nyata dalam membangun pembaruan sosial antara masyarakat
pendatang dan masyarakat lokal. Keaktifan para pendatang dalam Majlis Ta’lim
dan kegiatan ibadah rutin di masjid-masjid semakin mempercepat penerimaan
masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Interaksi yang terjadi ini
dinilai sangat mampu melekatkan hubungan sosial pendatang dengan masyarakat
lokal. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat pendatang terhadap
masyarakat lokal sangat dighargai, menghormati dan keterbukaannya terhadap
masyarakat pendatang yang dinilai taat dalam menjalankan ibadah. Tentunya hal
ini berdampak sangat positif, baik oleh masyarakat lokal maupun pendatang dalam
kerangka masyarakat yang utuh.
Dalam studi ini, untuk memberi gambaran menurut Junaidi
S.Pd yang menjadi ketua komite adat Desa Alas tentang proses interaksi antara
masyarakat lokal dan masyarakat pendatang dalam keterbukaannya serta
timbal-balik yang terjadi antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang.
Sehingga dari proses interaksi tersebut terbentuknya suatu keterikatan
emosional dan saling memiliki demi terbentuknya masyarakat yang saling
menghargai perbedaan. Hasil wawancara dari informan kunci sebagai berikut:
Karena
sangat kuat orientasi bau marua dengan, bau batempu ke dengan, balong
dan bakalako,boat iwit, boat ela, boat tleko, (Bisa setara dengan orang
lain, bisa berkecimpung dengan orang lain juga, sangat kuat orientasi untuk
menjadi orang yang baik dan berguna baik dalam tindakan,tanduk, perkataan,
maupun hati nurani). Kameri kamore dan seling sanyaman ate, Pariri lema
bari, saling sakiki, sabalong sama lewa (Selain itu sangat kuat
orientasi untuk menjalani hidup dengan orang lain secara suka ria dan saling
memberikan kenyamanan hati. yang penting no semal pina boat lenge, parakkonene
(Yang terpenting malu untuk berbuat buruk dan selalu mendekatkan diri
kepada tuhan). (wawancara dengan Juanidi S.Pd)
Dari konsep ajaran filsafat sabalong sama lewa, pariri
lema bari, saling sakiki, no semal pina boat lenge, parak ko nene yang
diyakini oleh segenap masyarakat Sumbawa dapat dibahasakan sebagai suatu
landasan dalam semua aspek kehidupan baik agama, sosial dan budaya. Dimana sabalong
sama lewa, pariri lema bariri, saling sakiki, no semal boat lenge, parak ko
nene dapat di artikan sebagai pentingnya saling menjaga satu sama lain atas
asas kemanusiaan tidak adanya sekat-sekat yang merintangi, malu untuk berbuat
buruk dan selalu mendekatkan diri kepada tuhan sang pencipta. Semua itu
dianggap agar di kemudian hari dari semua bentuk konsep ajaran yang diyakini
itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar yang tidak mudah digoyahkan dalam
kehidupan, saling menghargai suatu perbedaan dan dari perbedaan itu dijadikan
dalam bentuk ikatan yaitu sabalongsama lewa (Sama rasa sama rata, ringan
sama dijinjing berat sama dipikul). Oleh karena itu masyarakat Sumbawa
dapat dikatakan sebagai masyarakat yang kompromis, mempunyai jiwa kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan
yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap
pola tata perilaku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi
ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Interaksi yang terjalin di Kecamatan Alas khususnya di
Desa Dalam dan Desa Baru antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang
adalah hubungan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya bahkan dengan
lingkungan sekitar, dalam hal ini ada keuntungan antara kedua belah pihak dan
menimbulkan suatu bentuk kehidupan yang harmonis dan nyaman dalam kehidupan
sosial, agama dan lain sebagainya yang dapat diwujudkan dalam bentuk
solidaritas, toleransi serta menghormati dan menghargai masyarakat sekitar.
Interaksi yang terjadi antara masyarakat pendatang dengan
masyarakat lokal adalah interaksi kelompok. Hubungan yang dilakukan oleh
masyarakat kecamatan Alas dengan pendatang adalah hubungan yang berlangsung
lama yang ditandai dengan drajat keeratan yang semakin kuat.
1.
Pola Interaksi Masyarakat Lokal Terhadap Pergaulan Hidup
dengan Pendatang
Meningkatnya intensitas masyarakat dan penambahan
penduduk di sebabkan oleh pendatang yang mempengaruhi mayarakat lokal sehingga
mempercepat terjadinya pembaruan sosial terhadap masyarakat lokal itu sendiri.
Keseragaman pada masyarakat akan terwujud suatu hubungan yang baik bilamana
didalamnya terdapat individu yang menilai baik antar individu dan adanya saling
mempengaruhi satu dengan yang lain yakni hubungan saling toleran untuk
bertindak. Tanggapan masyarakat lokal mengenai penilaian mereka terhadap
masyarakat pendatang. Beberapa responden
menyatakan bahwa
“keleluasaan
dalam berbaur dalam suatu sistem sosial lebih mudah dipandang dari pendatang
yang berasal dari Lombok, Jawa, dan sunda”(wawancara dengan beberapa
responden).
Dalam pandangan masyarakat lokal, masyarakat pendatang
dari suku Jawa, Sunda memiliki kelebihan-kelebihan, seperti semangat dan
ketekunan dalam bekerja serta memiliki kreativitas yang tinggi. Selain itu,
mereka juga terkesan dengan sifat kesederhanaan, hemat dan keramah-tamahan yang
pada umumnya banyak terdapat pada masyarakat pendatang dari daerah Jawa, Jawa
barat dan Lombok. Banyak pendatang dari Lombok tersebut dilibatkan dalam
memperkerjakan masyarakat, seperti dibidang pertanian dan pekerjaan fisik
lainnya. Demikian juga penilaiannya terhadap pendatang dari Jawa dan Sunda yang
dipandang mudah diajak untuk bekerja sama dan sangat kreatif dalam berbagai
hal. Implikasinya adalah banyaknya masyarakat lokal yang merasa termotivasi
berperilaku sebagaimana perilaku pendatang dari Jawa dan Sunda.
Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat disetiap
masyarakat. Corak kehidupan yang subsistem sangat bergantung pada pembaruan
sosial sesuai dengan keadaannya tersebut menyebabkan tindakan sosial masyarakat
lokal dalam berperilaku sosial diadopsi oleh masyarakat lokal terhadap perilaku
masyarakat pendatang dan dimulai oleh kalangan pemuda yang cendrung lebih
pleksibel dalam berinteraksi dengan pendatang. Dalam pemikiran Peter L. Berger
dalam bukunya perubahan sosial adalah sebuah proses yang terjadi secara
terinstitusi. perubahan sosial tidak semata berasal dari tindakan individu yang
memiliki kebebasan penuh. Dalam proses perubahan sosial, dibutuhkan aspek
kolektifitas, aspek kebersamaan sebagai kelompok manusia, sebagaimana Marx menekankan
bahwa penjungkirbalikan terhadap kelas sosial yang baku dimungkinkan melalui
aksi bersama yang terstruktur (Berger,
2009:133). Untuk memperkuat teori tentang perubahan sosial selanjutnya
menurut Wilbert Moore dalam Elly M. Setiadi dan kawan-kawan (2008:49) memandang
perubahan sosial sebagai “perubahan struktur sosial, pola perilaku, dan
interaksi sosial”. Masyarakat membutuhkan peranserta pemuda untuk kemajuan
bersama. Pemuda adalah tulang punggung masyarakat. Generasi tua memiliki
keterbatasan untuk memajukan bangsa. Selanjutnya alasan perubahan atau adopsi
nilai akibatnya perubahan sosial dari berbagai aspek kehidupan oleh masyarakat
pendatang yang menular dari kalangan muda sampai kalangan tua termasuk tokoh
masyarakat dan tokoh agama adalah:
1.
Keinginan untuk menjadi masyarakat yang maju seperti masyarakat lain.
2.
Faktor kemampuan untuk melakukan perubahan sosial dan berperilaku cukup
tinggi.
1.
Faktor pendorong perubahan
a.
Meningkatnya aksesbilitas di kawasan.
b.
Banyak dan beragamnya asal dan etnik pendatang yang notabanenya sebagai
masyarakat pekerja.
c.
Kurangnya penyaringan atau filter sosial yang dilakukan masyarakat lokal
d.
Berubahnya orientasi nilai budaya masyarakat lokal.
e.
Meningkatnya pendapatan dan status sosial atas masyarakat.
f.
Meningkatnya ketersentuhan
masyarakat dengan informasi dari luar.
2.
Faktor penghambat perubahan
a.
Masih adanya masyarakat tertentu, terutama dari masyarakat penganut
agama Islam taat, yang tidak menginginkan perubahan sosial secara revolutif.
b.
Adanya kelompok atau kelembagaan masyarakat yang notabenenya menentang
berbagai akses negatif perubahan sosial pada berbagai kalangan atau lapisan
masyarakat.
Faktor penting perubahan adalah berubahnya orientasi dan
perilaku masyarakat dari nilai kekerabatan lokal (Lokalit) menjadi
masyarakat terbuka (Kosmopolit) yang berorientasi maju (Modern).
2.
Pengadopsian Perilaku Positif Masyarakat Lokal Terhadap
Pendatang
Selama berinteraksi dengan masyarakat pendatang ada
banyak prilaku positif yang bisa diadopsi oleh masyrakat lokal sebagaimana
tercermin dalam hasil wawancara dengan Burhanudin sebagai berikut:
Ada
banyak hal yang dapat diambil dan ditirudari banyaknya pendatang yang ada di
Alas. Rata-rata mereka itu kreatif, hidupnya sederhana, dan tekun dalam
bekerja. Setiap ada acara atau kegiatan sering berbagi keterampilan pada
masyarkat. (wawancara dengan Burhanudin)
Dari hasil penelitian teridentifikasi bahwa masyarakat
lokal mengadopsi perilaku masyarakat pendatang yang dinilai baik secara
selektif. Beberapa perilaku masyarakat dari daerah lain yang dinilai positif
dan cendrung di adopsi oleh masyarakat lokal yaitu:
a.
Semangat dan ketekunan dalam bekerja
b.
Keragaman keahlian dan
keterampilan
c.
Kreaktivitas dalam berusaha
d.
Kesederhanaan, hemat dan penuh perhitungan
3.
Persepsi Negatif Masyarakat Lokal Terhadap Pendatang
Selain perilaku yang ingin ditiru itu ada juga persepsi
dan perilaku pendatang yang tidak di sukai oleh kalangan tua masyarakat lokal
diantaranya adalah:
a.
Kebiasaan minum-minuman keras.
b.
Kecendrungan pada pergaulan bebas.
c.
Mengekspresikan perilaku yang tidak sesuai dengan keyakinan agama
masyarakat lokal.
Seperti yang
tercermin dalam hasil wawancara sebagai berikut:
Kalau
sikap yang tidak disuka oleh masyarakat lokal salah satunya adalah terkadang
pendatang khususnya yang msih muda mengajak para pemuda disini untuk melakukan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran yang berlaku di masyarakat
misalnya minum-minuman keras, dan pergaulan bebas. (Wawancara dengan sukmawati)
Artinya, bahwa pada situasi atau kondisi semacam ini
kontak sosial dan kebudayaan antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal
itu terjadi. Sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang berarti
pada komunitas-komunitas tersebut. Meskipun ada unsur-unsur negatif yang
dianggap oleh masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Pada dasarnya
telah terjadi hubungan atau kontak pada kedua kelompok masyarakat tersebut.
4.
Pola Interaksi Masyarakat Desa Dengan Pedagang
(Pendatang).
Gambaran pola interaksi yang menjadi media pengamatan
oleh peneliti adalah dipusatkan pada beberapa Desa. Dengan alasan yang sangat
jelas bahwa ada beberapa desa yang menjadi pusat ekonomi yang cukup signifikan
terhadap pergerekan ekonomi yang menjadi pusat terbesar dari beberapa desa yang
berada di Kecamatan Alas. Dengan keberadaan pasar swalayan maupun pasar
tradisional. Interaksi masyarakat Desa dengan pedagang tercipta cukup baik dan
berlangsung cukup lama. Hal ini diungkapkan dari hasil wawancara.
Di Desa Dalam sangat banyak
masyarakat pendatang yang berbelanja di pasar ini, ada yang berasal dari
tetangga desa, namun ada juga dari luar desa. Rata-rata orangnya baik-baik,
sopan dan tidak banyak tingkah. Walaupun ada yang beda tetapi ada satu dua
orang, itupun mungkin karakter bawaan dari daerah asal. Namun karakter itu
tidak sampai menimbulkan masalah di sini (wawancara dengan Mardiono).
Gambaran hidup yang demikianlah yang mempunyai pengaruh
besar terhadap hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat local dengan
masyarakat pendatang dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan setiap
individu. Hal tersebut mewarnai segala kehidupan dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari. Para pendatang yang berprofesi sebagai pedagang mempunyai kegiatan
lain dibalik kegiatan berdagangnya saja, mereka tidak mungkin memikirkan
kegiatan berdagang saja dan mencari keuntungan yang banyak, tetapi mereka
mempunyai lingkungan di luar aktivitas kesehariannya yaitu, berinteraksi dengan
masyarakat karena kehidupan sosial dan keagamaan sangat penting selain juga
untuk menjaga hubungann kita sebagai mahluk sosial.
Para pedagang merupakan bagian masyarakat Kecamatan Alas,
khususnya yang tinggal di Desa Dalam yang hadir di tengah-tengah suatu budaya
masyarakat setempat dan erat lewat interaksi sosial yang terbangun didalamnya.
Pedagang sebagai mahluk sosial berupaya untuk mengikuti kebudayaan setempat
yang ada, akan tetapi ada tuntutan bagi mereka untuk berpikir dan bertindak
sesuai dengan tindakan mereka sendiri sebagai pendatang. Mereka lebih memilih
sebaagai pedagang untuk memenuhi kebutuhan hidup namun mereka juga selalu
berusaha untuk mengikuti aktivitas-aktivitas yang ada di desa tersebut dengan
mengikuti-mengikuti kegiatan-kegiatan masyarakat sebagai salah satu perwujudan
sosial dan sebagai salah satu alat untuk melakukan interaksi.
Para pedagang dalam aktivitas berjualan rata-rata sangat
ramah sekali dengan masyarakat setempat. Sikap ramah tersebut ditunjukkan oleh
pedagang dalam menyikapi pembeli masyarakat sekitar. Sikap pedagang yang ramah
dan baik inilah yang dijadikan sebagai media yang diharapkan dapat diterima
masyarakat dan berdampak terhadap interaksi terhadap masyarakat sekitar
walaupun tidak secara langsung mereka mengikuti aktivitas-aktivitas keagamaan
di desa setempat.
Para pedagang dalam aktivitas sehari-harinya tentu akan
bersentuhan secara langsung dengan masyarakat dimana mereka tinggal. Untuk
mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat pedagang harus bisa
berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Interaksi yang terjadi
antara pedagang dan masyarakat lokal biasanya terjadi ketika mereka melakukan
aktivitas jual beli.
Dalam realitas sosial hubungan interaksi yang terbangun
antara masyarakat pendatang dengan masyarakat menunjukkan hubungan tidak baik
atau konflik. Konflik yang terjadi dalam hal ini adalah konflik yang bersifat
manifest antara berbagai kelompok yang terlibat. Interaksi yang terjadi dalam
masyarakat selalu mempunyai dua sisi. Di samping masalah positif yang mengarah
kepada keharmonisan dalam tatanan masyarakat terdapat juga masalah yang
mengarah kepada bentuk konflik. Model kedua inilah yang terjadi masyarakat di
Kecamatan Alas khususnya di Desa Dalam yang menjadi pusat perhatian bagi
peneliti. Melihat sekilas hubungan antara masyarakat tersebut rentan terjadi
konflik dengan beberapa hal yang perlu diperhatikan. Konflik yang disebabkan
antara lain muncul protes dalam hubungan perpindahan lahan parkir kendaraan
disekitar pasar tersebut.
5.
Agama Sebagai Perekat Harmoni Sosial
Pada dasarnya agama dan masyarakat saling mempengaruhi,
agama mempengaruhi jalannya masyarakat, selanjutnya pertumbuhan manusia
mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Agama Islam harus tampil sebagai suatu
sistem totalitas dan kemampuan pengarah, guna penataan kembali nilai dan tujuan
kehidupan, pengaturan kembali fungsi dan norma tentang pandangan struktur dan
makna. Jelas tidak ada masyarakat yang statis dan sama sekali tidak berubah,
demikian pula agama. Agama tidak hanya asyik di alam metafisik yang tertutup,
tetapi juga senantiasa berjuang bersama manusia. Secara sosiologis-historis
hakikat agama selalu merupakan suatu hakikat yang historis, yang berjuang
bersama perubahan dan kefanaan. Ibadah suatu bentuk interaksi positif antara
kelompok pribumi yang beragama Islam dengan kelompok pendatang yang beragama
Islam telah memberikan suatu bentuk kehidupan yang harmonis. Bentuk kehidupan
yang harmonis ini tidak terbentuk begitu saja melainkan melalui proses yang
cukup panjang.
Selanjutnya toleransi adalah sikap memberikan kebebasan
kepada setiap orang yang berbeda, baik dalam pendapat, sudut pandang agama dan
keyakinan tanpa ada rasa benci, pertentangan dan permusuhan. Namun dengan
demikian hal ini memberikan suatu pendekatan dengan cara dialog, dan musyawarah
untuk memberikan argumentasi dan informasi tentang apa yang diterima sebagai
kebenaran, sehingga tidak menimbulkan konflik.
Sikap ini di tandai oleh penerimaan kelompok pribumi yang
memberikan hak dan kebebasan kepada kelompok pendatang untuk mempercayai
mazhabnya terkait dengan peribadatan dan pelaksanaannya. Selain itu mereka
tidak mempersalahkan seig-segi perbedaan dalam beragama tetapi sebaliknya
mereka menonjolkan segi persamaan dan walaupun perbedaan itu tidak dapat
disatukan masing-masing mereka tidak meributkannya dan menganggap sebagai suatu
keunikan. Mereka menjauhkan sikap egoisme dalam beragama sehingga tidak
mengklaim dirinyalah yang paling merasa benar. Interaksi seperti inilah telah
memberikan konstribusi yang baik terhadap terbentuknya toleransi beragama
antara kelompok pribumi yang beragama Islam dengan kelompok pendatang yang
beragama Islam. Sehingga kehidupan harmonis dapat dinikmati oleh masyarakat
daerah penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dari kelompok pendatang, Bapak
Galang yang berasal dari Malang, diperoleh informasi bahwa:
Alas ini saya telah
mengenalnya cukup lama jauh sebelum keadaan terjadi yang saat ini. Saya orang
jawa yang lebih kental keagamaannya dan tidak pernah menganggap saya berbeda
dengan mereka dalam hal agama, kami ngobrol dengan akrab dan juga saya sering
bermain kerumahnya karena rumah kami berdekatan”.
….“agama tidak membelenggu
kita, tetapi malah mengatur kita dalam bertingkah laku dan mengetahui yang mana
dibolehkan dan mana yang tidak.(wawancara dengan Bapak Galang)
Salah satu bukti kemaha kuasaan Allah SWT adalah dia
menciptakan seluruh mahluk-Nya dengan perbedaan-perbedaan sesuai dengan
kehendaknya. Allah maha kuasa itu menjadikan perbedaan itu sebagai rahmat,
terutama pada manusia. Perbedaan-perbedaan itu, termasuk dalam berpikir dan
berpendapat menjadikan hidup manusia lebih dinamis dan lebih berwarna. Sesuai
dengan ayat yang terdapat didalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang banyaknya
perbedaan-perbedaan pada manusia, salah satu contohnya adalah; perbedaan-perbedaan
manusia dalam berpendapat, sebagaimana firman Allah.
“Sesungguhnya
kamu benar-benar dalam berbeda pendapat” (Az-Dzariyat: 8)”.
Kemudian kemuliaan dan keutamaan manusia antara lain
dijelaskan dalam surat at-Tin, sebagai berikut:
“Sesungguhnya kami Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk sebaik-baiknya. (Q.S. at-Tin:4).
Perbedaan itu jika disikapi dengan cara yang positif maka
akan mendatangkan suatu kebaikan begitu pula dengan sebaliknya apabila
perbedaan itu disikapi dengan cara negatif kemungkinan besar akan menuai
perdebatan dan menimbulkan konflik. Dari hal semacam inilah yang dibutuhkan
terkait dengan toleransi bergama agar masyarakat selalu dalam kehidupan yang
menciptakan rasa harmonis. Pertemuan antara masyarakat pendatang dengan
masyarakat pribumi, pada akhirnya mempertemukan dengan dua nilai budaya dan dua
nilai sikap yang sama. Dalam pembahasan ini penulis akan menjabarkan
jalur-jalur hubungan sosial keagamaan antara masyarakat pribumi dengan
masyarakat pendatang yaitu, kegiatan-kegiatan ritual keagamaan dalam
masyarakat. Manusia dituntut oleh tuhan untuk selalu berbakti atau ibadah. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Adz-Dzariat ayat 56: “Tiada Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku”. Beribadah berarti menjalankan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam usaha mendekatkan
diri kepada Tuhan sesuai dengan keyakinan atau agama yang dipeluknya.
4.2.2
Proses Asimilasi atau
Akulturasi yang Berlangsung Di Kecamatan Alas Antara Kebudayaan Masyarakat
Lokal Dengan Masyarakat Pendatang
Proses Asimilasi atau Akulturasi yang Berlangsung Di
Kecamatan Alas Antara Kebudayaan Masyarakat Lokal Dengan Masyarakat Pendatang
akan dilihat melalui beberapa hal seperti perubahan nilai, adat, hukum dan kebiasaan masyarakat lokal (perkawinan
dan gotong royong). Untuk lebih jelasnya peneliti menguraikannya sebagai
berikut:
4.2.2.1
Perubahan Nilai, Adat, Hukum dan Kebiasaan Masyarakat
Lokal
Kebudayaan merupakan kelanjutan yang bertahap kearah yang
semakin kompleks. Dimana unsur-unsur kebudayaan terintegrasi menjadi satu
sistem budaya dan memiliki keterkaitan antara unsur-unsur kebudayaan yang
universal yaitu sistem teknologi, peralatan, sistem mata pencaharian,
organisme, sosial, religi, dan bahasa. Istilah peradaban sering dipakai untuk
menyebutkan suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan,
seni bangunan, seni rupa, sehingga taraf kehidupan semakin kompleks. Meningkatnya
akses informasi dengan dunia luar tentunya memperluas khasanah wawasan dan
pengetahuan masyarakat. Oleh karena iklim nasional saat ini diwarnai iklim
egaliter dan demokratis maka dengan mudah diikuti oleh masyarakat. Menurut
Gillin dan Gillin dalam Elly M. Setiadi dan kawan-kawan (2008:50) dikatakan
bahwa:
perubahan-perubahan sosial
untuk suatu variasi dari cara hidup yang lebih diterima yang disebabkan baik
karena perubahan dari cara hidup yang diterima yang disebabkan baik karena
perubahan kondisi geografis, kebudayaan materil, kompetisi penduduk, ideologi
atau pun karena adanya difusi ataupun adanya perubahan-perubahan baru dalam
masyarakat tersebut”.
Perubahan masyarakat terjadi karena usaha-usaha
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru
yang timbul dengan pertumbuhan masyarakat. Oleh karena itu dari penjelasan
teori di atas bila dianalisa lebih dalam lagi tentu konsekuensinya bila
dihadapkan pada hukum kebiasaan atau hukum adat yang berlaku pada masyarakat itu
sendiri barang tentu tidak adanya pertalian hukum adat yang mengatur masyarakat
itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh adanya ideologi baru ataupun adanya
perubahan-perubahan hukum dari berbagai aspek sudut pandang dari masyarakat itu
sendiri. Demikian halnya dijelaskan lagi menurut sundut pandang sosiologi
hukum, bahwa masalah-masalah sosiologi hukum menurut Durkheim dalam Alvin S.
Johson (2006:111) adalah dilihatnya dalam dua segi: Pertama, faktor morfologis
dan khususnya demografis (Jumlah kepadatan penduduk) dan kedua faktor keagamaan
atau lebih tepat: Pengaruh kepercayaan-kepercayaan akan yang keramat termasuk
di dalamnya pula, menurut Durkheim adanya hubungan-hubungan lepas dari agama.
Melihat adanya hubungan-hubungan antara kedua faktor ini yang pertama tidak
langsung karena kepadatan materil tidak dapat diselesaikan dari kepadatan
moril, yang lain bersifat langsung dengan taraf-taraf kesadaran kolektif, yang
ragam-ragamnya ialah dasar-dasar perubahan lembaga-lembaga hukum.
Kesimpulan yang penting bahwa hukum, sebagaimana halnya
agama, moral, estetika pendeknya segala fenomena-fenomena sosial yang asasi,
adalah sistem-sistem nilai-nilai, yang timbul dari cita-cita kolektif.
Cita-cita yang kolektif ini merupakan dasar bagi gerak lembaga-lembaga hukum;
karena masyarakat tak menciptakan atau menciptakan kembali dirinya sendiri,
tanpa sementara itu pula menciptakan suatu cita, dengan ciptaan ini, ia secara
priodik membuat dan mengubah dirinya sendiri.
Tokoh masyarakat atau tokoh adat Kecamatan Alas menuturkan
bahwa sejak banyaknya pendatang yang ada tampaknya terjadi pembaruan adat dan
budaya di sejumlah lokasi tempat bermukim. Eksesnya semakin melonggar ikatan
adat istiadat yang sebelumnya dianut kuat oleh penduduk lokal. Sebagai contoh,
dalam hal model bangunan rumah banyak diantara penduduk lokal merubah bentuk
rumahnya cendrung pada model rumah yang umum di tempat lain, yakni rumah
permanen (Rumah batu). Seperti diketahui sebelumnya bahwa masyarakat lokal di
kecamatan Alas memiliki rumah adat dengan model rumah panggung dari bahan kayu
dan sejenisnya. Semakin besar rumah atau semakin banyak tiang rumah panggungnya
mencirikan status sosial ekonomi pemiliknya relatif lebih baik dibandingkan
dengan warga lainnya.
Perubahan selera masyarakat atas model rumah juga
diransang oleh harapan yaitu untuk dijadikan rumah sewa kepada para pendatang.
Tentunya secara ekonomis hal ini cukup diuntungkan, tetapi telah melonggarkan
pertalian sosial yang diatur dalam adat dan kebiasaan masyarakat. Perubahan
model rumah sebagian penduduk, terutama yang memiliki kemampuan ekonomi
mencerminkan perubahan gaya hidup mereka. Pada model rumah asli yang dibangun
atas nilai spirit atas adat setempat lebih sederhana baik dari segi kualitas,
model dan fungsinya. Dalam hal ini penduduk lokal tidak lagi merasa terikat
oleh adat kebiasaan menyangkut model rumah yang dikembangkan.
Dari hasil penelitian animo masyarakat lokal
mengembangkan rumah dengan gaya kontemporer semakin tinggi. Sejumlah tokoh
masyarakat mengungkapkan bahwa keleluasaan penduduk memilih model bangunan
rumah memang memungkinkan mengingat tidak ada sangsi sosial berkaitan dengan
masalah perumahan tersebut. Konsekuensinya adalah bagi penduduk yang tidak
membangun rumah panggung adalah tidak adanya anggota masyarakat besenata (Bergotong
royong) kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa (Tau samawa)
dalam membangun rumah sebagaimana lazimnya bila membangun rumah model panggung.
Ditegaskan pula bahwa walaupun yang dibangun adalah rumah panggung hasrat
bergotong royong anggota masyarakat juga telah berkurang. Cerminan nilai-nilai
adat yang masih melekat dalam bangunan rumah baru masyarakat lokal terdapat
pada bentuk atap rumah. Sebagian besar rumah batu permanen yang dibuat atapnya
tetap mencirikan rumah khas suku samawa, seperti bentuk konopi dan kongsol
rumah bersusun. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat ditegaskan bahwa meskipun
masa perubahan sosial telah berlangsung cukup lama tampak bahwa melekatnya
nilai-nilai sosial tradisional pada masyarakat lokal.
4.2.2.2
Perubahan Nilai Adat dan Kebiasaan Dalam Hal Perkawinan
Interaksi yang positif akan menciptakan suatu kerjasama (Cooperation)
yang dapat mempermudah terjadinya asimilasi. Secara khusus penulis akan
menggambarkan suatu bentuk proses assimilasi yang terjadi dalam suatu proses
perkawinan antara dua kebudayaan yang berbeda tanpa harus menghilangkan
unsur-unsur dari kedua kebudayaan tersebut. Dalam hal semacam persilangan
budaya terkait dalam hal perkawinan beda budaya yang terjadi pada masyarakat
lokal sendiri nampaknya belum begitu mencolok dan itu hanya terjadi pada
sebagian kecil masyarakat saja. Namun dalam hal ini memberi warna pembeda
terhadap kebudayaan, dalam artian adanya unsur-unsur budaya baru didalam wadah
keaslian dari budaya masyarakat lokal.
Dari studi terungkap bahwa terjadinya perkembangan
intensitas penduduk terkait dengan masyarakat pendatang ikatan adat dalam hal
perkawinan mengalami perubahan dalam hal perkawianan. Dalam hal ini, golongan
minoritas merubah sifat khas dari unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya
dengan kebudayaan golongan mayoritas yaitu masyarakat lokal, sedemikian rupa
sehingga lambat laun memungkinkan kahilangan kepribadian kebudayaannya, dan
masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Tetapi tidak menghilangkan budaya
minoritas. Berikut kutipan hasil wawancara dengan Makawaru:
“kerap kali terjadi pernikahan
antara orang asli sini dengan orang luar, misalkan pihak pria maupun pihak
wanita asli penduduk sini mengadakan acara perkawian. Tapi biasanya dalam
perkawinan itu biasanya budaya sini lebih ditonjolkan tanpa harus menghilangkan
budaya dari pihak lain yang beda adatnya dengan kita”.
Dari kutipan diatas dapat diterangkan bahwa dalam
kegiatan, tahap-tahap serta ritus perkawinanya masih menggunakan adat sumbawa.
Contohnya kegiatan melamar membawa bawaan (Semacam mengantar mahar), barodak (Luluran) yang disertai dengan
berbagai upacara nampaknya masih taat dilakoni oleh masyarakat lokal. Meskipun
mereka telah banyak mengenal kebudayaan dari masyarakat lain dalam hal
perkawinan. Namun dalam hal perkawinan tetap mengacu kepada aturan adat samawa.
Bahkan dalam tahap percampuran budaya ini tampaknya hanya sebatas variasi saja
yakni yang berkaitan dengan kesenian. Hal-hal yang prinsip dan sakral dalam
adat perkawinan tidak dihilangkan. Lebih jauh lagi diterangkan melaksanakan
kolaborasi budaya ini yaitu menyelenggarakan adat perkawianan lebih lengkap
dirasakan apabila nilai-nilai budaya diantara kedua budayanya tidak
dihilangkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan identitas etnik
dan kecenderungan akulturasi dapat terjadi jika ada interaksi antarkelompok
yang berbeda, dan jika ada kesadaran masing-masing kelompok.
4.2.2.3
Perubahan Nilai Adat dan Kebiasaan Dalam Hal Gotong
Royong
Lebel masyarakat yang hidup secara kolektifitas, asli
akan ketradisionalannya, menggambarkan pada aspek-aspek kehidupan sosial pada
saat itu, dimana sendi-sendi kehidupan yang sejalan dengan sistem tatanan
sosial, budaya kemasyarakatan masih sangat melekat. Mayoritas masyarakat saat
ini bertolak ukur kearah modernisasi memungkinkan akan terjadi perubahan
terhadap masyarakat lokal itu sendiri yang mengarah kepada masyarakat yang
individualis dan materialis dan lebih berorientasi kepada kepentingan sendiri
dan kerabat-kerabat mereka (Kelompok kepentingan khusus) yang dianggap lebih
mempunyai peluang untuk kesejahteraan kelompok. Yaitu menitik beratkan kepada
kepentingan kelompok sampai sedemikian rupa, sehingga mereka lebih dapat
mementingkan kepentingan kelompoknya dari pada mementingkan kepentingan banyak
orang. Hal di atas diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh D. Laswswell dan
Kaplan (Astrid S. Susanto, 1985: 56-58) dalam M. Bambang Pranowo, (2008:92)
yaitu: Pertama, Kelompok kepentingan (Interest groups), yaitu kelompok
yang hanya menitik beratkan realisasi dari tujuan bersama tanpa mempermasalhkan
loyalitasnya. Kedua, Kelompok kepentingan Khusus, yaitu menitik beratkan kepada
kepentingan kelompok sampai sedemikian rupa, sehingga mereka dapat mementingkan
kepentingan kelompoknya dari pada kepentingan banyak orang lain. Ketiga,
kelompok kepentingan umum, jenis kelompok ini merupakan kelompok yang berusaha
mewujudkan kelompokya melalui dan bersama-sama dengan realisasi tujuan dan
kepentingan kelompok-kelompok lain serta masyarakat luas. Walau demikian,
Lasswell dan Kaplan mengakui bahwa setiap kelompok mempunyai kepentingan-kepentingannya
sendiri-sendiri.
Bila diamati kearah status ekonomi tatanan sosial semacam
saling membantu atau diistilahkan dengan basiru atau kegiatan gotong
royong itu hanya terjadi pada masyarakat laipisan-lapisan bawah saja. Gambaran
realitas masyarakat yang diuraikan diatas sangat bertolak belakang bahkan
kontras sekali dengan gambaran realitas masyarakat yang sedang terjadi saat
ini, terkait pada masyarakat daerah penelitian.Kegiatan kemasyarakatan yakni
gotong royong dan tolong menolong saat ini telah mengalami transformasi.
Dalam hal demikian, nampak memang terjadi pergeseran
perubahan kebiasaan terkait dengan kebudayaan dan adat istiadat terhadap
masyarakat lokal itu sendiri dalam hal semacam ini. Kegiatan semacam ini
terjadi dikeranakan masyarakat lokal mencontohi budaya-budaya baru yaitu budaya
ala kota yang dipraktiskan oleh masyarakat pendatang. Oleh karena itu,
Kebiasaan semacam ini yaitu memberikan uang kepada setiap acara yang di
selenggarakan oleh masyarakat memberikan pengaruh yang cukup mendasari
kebiasaan mereka. Seperti contoh lain dapat diungkapkan bahwa aktivitas gotong
royong yang mengarah kepada bentuk fasilitas umum seperti membangun prasarana
ibadah, kebersihan lingkungan mangalami penurunan drastis. Implikasinya adalah
masyarakat kurang bersedia untuk berpartisipasi secara moral dan sosial
terhadap kegiatan masyarakat tersebut. Dari uaraian di atas dapat dikatakan
bahwa telah berkurangnya kegiatan budaya gotong royong terkait pengaruh
keberadaan masyarakat pendatang. Oleh karena itu patut untuk dicermati bahwa
akses perubahan sosial akan terjadi dan sulit dihindari pada sendi-sendi
tatanan masyarakat yang sedang berkembang.
4.2. PEMBAHASAN
Berdasarkan dari hasil penelitian di lapangan yang
penulis lakukan kemudian diolah menjadi suatu bentuk interpretasi data yang
melalui berbagai proses yang pada akhirnya penulis akan menjabarkan secara
lugas dan terperinci menganai hasil penelitian dalam bentuk kajian analisis
dari studi lapangan yang penulis lakukan dalam hal mengenai judul penelitian
penulis. Maka dapat dianalisis sebagai berikut:
1.
Kondisi sosial sesungguhnya sudah banyak mengalami perubahan namun,
diketahui ada kecendrungan penerapan nilai-nilai sosial budaya lokal semakin
meluas. Gaya hidup masyarakat berkembang kearah yang lebih rasional komplosit,
norma dan nilai sosial banyak dianut masyarakat bahkan ada kecendrungan semakin
baik. Keamanan dan ketertiban masyarakat dinilai makin kondusif, kehidupan
keagamaan semakin baik, dan partisipasi sosial dan kelembagaan masyarakat tetap
terjaga dan lebih baik.
2.
Tatanan sosial, budaya aspek gotong royongjuga menunjukkan perbedaan
yang sangat mencolok dalam kondisi masyarakat daerah penelitian dalam artian
berkurangnya kegiatan saling membantu satu sama lain yang mengarah kepada
bentuk ikatan tindakan yang kolektif kemasyarakatan, aktivitas gotong royong
yang bersifat padat karya (Curahan tenaga), dapat digambarkan dalam bentuk
berkurangnya animo masyarakat yang di jelaskan pada bab penjelasan di atas
yakni eksennya terhadap tindakan saling bantu membantu dalam hal sosial karya
contohnya pembuatan rumah panggung atau pun rumah permanen yang dapat dikatakan
besenata dalam masyarakat Sumbawa. Tetapi ada hal yang menjadi pembeda
dalam masyarakat sendiri yaitu aktivitas tolong menolong yang selalu terjaga
yakni melalui bentuk bantuan materi (Uang) yang dinilai lebih mengikat hubungan
dan lebih dominan dirasa dari pada membawa bawaan yang berbentuk sembako yang
dahulunya menjadi kebiasaan dalam hal-hal sakral pada masyarakat lokal
contohnya seperti Berenok, Basiru, dan penulung .
3.
Sistem kepercayaan. Keberadaan masyarakat pendatang mempengaruhi
masyarakat lokal terhadap bentuk sistem kepercayaan yang merubah pada pola
pikir masyarakat lokal sehubungan dengan adanya ketertarikan terhadap cara
berpikir masyarakat pendatang yang lebih modern. Dapat di jelaskan seperti
berkurangnya kepercayaan dan ketaatan kepada aturan hukum adat yang berlaku
pada masyarakat yang tertanam yang menjadi kepercayaan pada masa lalu. Nilai
kesakralan adat tidak begitu mempengaruhi kelakuan dan tindakan masyarakat
lokal. Hal ini di karenakan bahwa anggapan masyarakat sekarang tanpa harus
mengikuti aturan hukum adat yang telah ditetapkan tidak akan terikat oleh hukum
adat atau sangsi adat itu sendiri.
4.
Norma sosial (Adat istiadat). Masyarakat di daerah penelitian
mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan terlihat bahwa pada
masyarakat dalam perkembanngannya sudah tidak lagi terikat dengan norma-norma
adat yang mewadahi masyarakat lokal sendiri seperti yang dijelaskan pada poin
ketiga di atas. Dalam hal ini terlihat dari perubahan cara dan bentuk
pembangunan rumah. Sebelum terjadinya perkembangan masyarakat terkait masyarakat
pendatang, model-model bangunan rumah masih mengarah kepada model dan bentuk
rumah tradisional adat masyarakat Sumbawa, yaitu rumah panggung. Perubahan itu
terjadi pada saat ini, dan pada kenyataannya masyarakat kini sudah banyak yang
memiliki rumah dengan gaya dan bentuk rumah yang modern (Rumah permanen) tetapi
secara fisik masih memprtahankan ciri khas adat contohnya bentuk atap rumah.
5.
Pembaruan sosial (Interaksi sosial). Pada aspek ini menunjukkan
perubahan yang sangat mencolok terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi
pada masyarakat lokal. Artinya kepekaan terhadap tingkat kekerabatan masyarakat
lokal terhadap masyarakat pendatang semakin intensif. Dalam pengamatan studi
ini menunjukkan, sikap masyarakat lokal dipengaruhi perkembangannya oleh masyarakat
pendatang baik dalam pengadopsian tingkah laku, pola pikir dan gaya hidup
masyarakat lokal itu sendiri. Berbaurnya masyarakat pendatang dalam komunitas
lokal semakin mempercepat pembaharuan sosial. Hal ini ditunjukkan pada bentuk
kegiatan-kegiatan keagamaan yang lebih berperan pada proses ini. Dampak positif
dari pembaharuan sosial tersebut adalah perubahan perilaku pengetahuan, sikap,
dan keterampilan. Oleh karenanya berdampak pada masyarakat lokal yang semakin
membaik.
6.
Dalam hal sistem perkawinan (Adat perkawinan) pada hakikatnya telah
mengalami perubahan dalam artian percampuran budaya. Hal diterangkan sebagian
kecil masyarakat lokal yang berjodoh dengan masyarakat pendatang, sehingga
melakukan hubungan pernikahan dengan masyarakat pendatang. Walaupun hal
demikian terjadi pada bentuk hubungan perkawinan, dipastikan budaya masyarakat
lokal akan lebih ditonjolkan sebagai kelompok yang mayoritas dari pada budaya
masyarakat pendatang sebagai masyarakat minoritas.
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Dari
penjelasan dapat disimpulkan bahwa:
1.
Pola interaksi masyarakat
pendatang dengan masyarakat setempat adalah interaksi yang bersifat asosiatif.
2.
Kelembagaan sosial budaya beserta
aktivitasnya diakui semakin berkembang dan mengalami peningkatan setelah adanya
interaksi yang positif antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang
terhadap pembentukan masyarakat. Indikasinya adalah berkembangnya
kelompok-kelompok dan kelembagaan sosial masyarakat dalam bidang sosial, budaya
dan agama tersebut sehingga mempengaruhi perkembangan perilaku masyarakat dan
orientasinya terhadap lingkungan sekitar. Hal demikian juga didukung oleh
sarana dan prasarana serta ketersedian tokoh-tokoh masyarakat dalam
keberlangsungan proses tersebut.
3.
Kegiatan-kegiatan keagamaan yang
merupakan sarana untuk melakukan komunikasi dan kontak sosial secara langsung
antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang ini telah memberikan
konstribusi yang baik dalam menjalin interaksi yang positif. Pendekatan dengan
cara dialog dan musyawarah untuk saling memberikan argumentasi dan informasi
tentang apa yang diterima sebagai kebenaran mengantarkan pada pembentukan sikap
toleransi. Dengan kata lain sebuah interaksi sosial yang dilandasi rasa
tenggang rasa dan saling menghargai perbedaan yang ada telah mengantarkan
kearah pembentukan sikap toleransi baik dalam kehidupan sosial maupun dalam
kehidupan beragama.
5.2.
Saran
1.
Kompleksitas akan terus terjadi
dan berkembang karena adanya masyarakat yang dinamis yang selalu bergerak yang
dilihat dalam tataran konteks sosial, budaya dan agama.
2.
Saran yang lebih ditekankan dalam
hal ini adalah adanya kesadaran, kemauan, dan perlakuan yang sama pada semua
warga masyarakatnya yang pada masa ini telah mengalami perkembangannya.
Diketahui dalam lingkungan penelitian adanya banyak budaya serta adat istiadat
yang sedang berkembang pada bentuk kesatuan masyarakat yang ideal dalam
kemajemukannya.
3.
Saran yang bersifat membangun dari
penulis adalah distorasi budaya akan memungkinkan terjadi terhadap masyarakat
itu sendiri oleh karena itu sangat penting adanya pengaruh peran semua pihak
baik dari pemerintah, tokoh dan kelembagaan sosial, budaya, dan agama
4.
Dalam masyarakat syarat utama
adalah adanya rasa saling memiliki dan menghargai antar sesama walaupun banyak
sekali perbedaan antara masyarakat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer, Leoni Agustina,
2004, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Alamsjah Ratu Perwiranegara.
2012. Pembinaan Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Jakarta: PT. Unipress.
A. Ubaidillah, dkk. 2000. Pendidikan
Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyaraka Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press,
Cet. I.
Andi Prastowo. 2011. Memahami Metode-metode Penelitian.
Yogyakarta: AR-Ruz Media.
Abdul Chaer, Leoni Agustina.
2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bernard Raho. 2007. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Cet.I.
Bagong Suyanto. 2007. Metode
Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana.
Consuelo G. Sevilla. (eds). Pengantar
Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Bahasa. Jakarta. PT Gramedia
Pustaka Utama.
Djoko Widagdho, dkk.
1999. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:
Bumi Aksara, Ed. 1, Cet. 2.
Elly M. Setiadi, H. Kamma A.
Hakam, Ridwan Effendi. 2008. IlmuSosial Dan Budaya Dasar. Jakarta:
Kencana, 2008. Edisi ke 2, Cet ke 3.
Jacobus Ranjabar. 2006. Sistem
Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
JohnW. Crewell. 2010. Research
Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kumanto Sunarto. 1993. Pengantar Sosioligi. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. 1997. Sejarah
Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Lalu Mantja. 2011. Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjauan
Sejarah). Sumbawa Besar: CV. Samratulangi.
Lexy J. Moeleong. 2006. Metode
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakara, Cet. KeVII.
Lajnah Penthashih Mushaf
Alqur’an, Departmen Agama Republik Indonesia. 2004. Alquran dan
terjemahannya. Bandung: CV Jumanatul Ali Art.
Moh.Nazir. 1993. Metode
Penelitian, Darussalam: Ghalia Indonesia.
M. Bambang Pranowo. 2008. Sosiologi Sebuah Pengantar, Tinjauan Pemikiran
Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: Labolatoruim Sosiologi Agama.
Peter L. Berger, 2009, Perspektif Metateori Pemikiran, Jakarta:
Pustaka LP3S Indonesia
Pip Jones. 2009. PengantarTeori-Teori Sosial. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, Cet, I.
Rahardjo. 1999. Pengantar
Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Madah University
Press.
Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada. Cet. 38.
Soedjono Dirdjosisworo.
2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zainuddin Ali. 2006. Sosiologi
Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar