Kamis, 31 Maret 2016

ANALISIS POLA INTERAKSI MASYARAKAT PENDATANG TERHADAP MASYARAKAT LOKAL DI SUMBAWA BESAR (Studi di Kecamatan Alas, Sumbawa Besar)



Andri Adi Saputra (NIM :11113A0138P). Analisis Pola Interaksi Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat Lokal Di Sumbawa Besar, (Studi di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa Besar). 

ABSTRAK

Dosen Pembimbing 1 : Dr. H. Suwardi AH, SH., M.PA
Dosen Pembimbing 2 : Sawaludin, S.Pd., M.Pd

Hubungan manusia dengan alam sekitar maupun dengan manusia lainnya selalu akan menghasilkan interaksi. Dalam hidup bersama, manusia menciptakan hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini tampak pada masyarakat Kecamatan Alas dengan masyarakat pendatang dalam hubungannya baik dalam agama, sosial, budaya dan ekonomi. Penulis merasa tertarik mengkaji tentang pola interaksi masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal di Kecamatan Alas untuk mengetahui bentuk dan pola hubungan yang terjalin antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal.
Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, yakni penulis berusaha menceritakan keadaan yang sesungguhnya dengan cara mencari beberapa masyarakat lokal dan pendatang untuk diwawancarai, dan observasi serta mengumpulkan beberapa dokumentasi tenteng pola interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal. Setalah data terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan cara mereduksi/mengelompokkan data, setelah itu melakukan penyajian data/display data kemudian menarik kesimpulan/memverifikasi data.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa interaksi masyarakat pada daerah penelitian antara masyarakat lokal dan pendatang berjalan dengan baik. Hubungan baik tersebut ditunjukkan oleh para masyarakat dengan sikap antusia masyarakat pendatang yang selalu aktif dalam mengikuti dan melestarikan berbagai bentuk acara keagamaan khusunya yang berhubungan dengan kegiatan hari-hari besar Islam. Selanjutnya adanya konsep baru pada masyarakat yaitu terbentuknya pembaruan sosial, kondisi sosial, tatanan sosial, interaksi sosial, sistem sosial, sistem kepercayaan, norma sosial, sistem adat dalam hal perkawinan.

Kata kunci: Pola Interaksi, Pendatang dan Lokal





BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah
Pada awal terbentuknya nenek moyang suku Sumbawa atau ‘Tau Samawa’ adalah terdiri dari berbagai jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian nusantara kita ini. Mereka mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk yang lebih dahulu mendiami daerah sumbawa. Walaupun mereka tidak bersama pada waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad lamanya hidup dalam lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari keturunan mereka inilah akhirnya merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya “Tau Samawa” (Lalu Mantja, 2011:15). Dari pengaruh pencampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat kita lihat, bahwa watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh rasa toleran.
Penduduk Sumbawa pada masa lalu, berasal dari berbagai-berbagai tempat dan datangnya secara berkelompok lalu masing-masing membuat tempat kediamannya. Kemudian mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain terdesak oleh suasana dan keadaan, baik karena arus perpindahan yang baru, maupun karena tarikan alam untuk mereka jadikan tempat bercocok tanam dan pemeliharaan ternak. Tempat-tempat ini akhirnya merupakan tanah ulayat (tanah adat), yang dimana dalam istilah adat Sumbawa dikenal dengan nama “larlamat” “Nyaka” (Lalu Mantja, 2011:8).
Tanah samawa atau yang dikenal dengan sebutan Sumbawa adalah merupakan salah satu wilayah indonesia yang didiami oleh berbagai suku, agama, ras yang hidup bersama dalam satu kerukunan. Keberadaan pendatang di Sumbawa selalu disambut baik oleh warga penduduk lokal asli, semua hidup dalam satu kesatuan tanpa memandang adanya perbedaan.
Kaitan dari pada penjelasan diatas bahwa pada masa ini masyarakat Sumbawa Besar khususnya wilayah penelitian adalah masyarakat yang sedang mengalami proses transisi globalisasi dan moderinisasi, transisi modernisasi dalam artian bahwa masyarakat yang dulu merupakan masyarakat yang budayais yang sulit berubah dan sangat kental akan nilai ketradisionalannya yang kemudian memegang teguh menjalankan, dan menjunjung tinggi nilai, norma dan adat istiadat yang telah mereka yakini secara turun temurun sedikit demi sedikit mulai luntur disebabkan pengaruh arus globalisasi dan penetrasi budaya luar. Perubahan dinamika yang menjembatani pola pikir, karakter, pola berperilaku, gaya hidup adalah salah satu bentuk pengaruh yang disebabkan oleh modernisasi itu sendiri. Dapat disebutkan adalah salah satu contoh gambaran yang terjadi akibat adanya pengaruh dari berbagai latar belakang dan kemajemukan budaya yang ada di Kabupaten Sumbawa Besar terutama di daerah yang akan saya jadikan tempat penelitian. Secara sadar bahwa dapat dikatakan adalah wilayah ini merupakan wilayah yang didiami oleh berbagai suku dan adat istiadat yang beragam. Tidak dapat dipungkiri dengan adanya kemajemukan budaya mengakibatkan suatu budaya asli itu tidak mungkin tidak terpengaruh oleh adanya budaya lain. Oleh karena itu nampak jelas perbedaan yang sangat signifikan.
Secara sadar manusia memiliki naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dilahirkan dan disosialisasikan dalam kehidupan masyarakat. Hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia. Itulah sebabnya, individu menjalin hubungan dengan individu atau kelompok yang lain, sebab manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa berhubungan dengan individu atau kelompok yang lainnya. Hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok juga disebut dengan interaksi sosial.
Dalam beberapa kasus, timbul konflik yang tajam antara masyarakat lokal dengan warga pendatang. Baik itu disebabkan oleh perebutan dominasi sektor perekonomian maupun penguasaan aset-aset strategis ataupun yang disebabkan oleh indikator-indikator lain seperti benturan-benturan budaya yaitu budaya local dan budaya yang dibawa oleh masyarakat pendatang. Konflik antar etnis ini memang bukan yang pertama terjadi di wilayah Sumbawa. Menurut pemberitaan, konflik di wilayah ini sudah terjadi semenjak tahun 1981. Beralih pada konteks penelitian, terkait dengan masalah yang akan dikaji pada daerah Kecamatan Alas yang menjadi dasar penelitianya itu sebagai media untuk menemukan maslah-masalah pada masyarakat itu sendiri. Masyarakat Kecamatan Alas memiliki penduduk yang majemuk, yaitu suku Samawa sebagai penduduk asli. Selain itu, juga terdapat suku Jawa, Bugis, Melayu dan Sasak yang berdiam di sana, dengan adat istiadat, agama, dan latar belakang yang berbeda. Bukan hanya itu saja, proses assimilasi dan akulturasi yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Alas pun menarik untuk diteliti. Bagaimana akhirnya proses interaksi dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan penerimaan unsur kebudayaan pendatang atau justru mengakibatkan perubahan pada unsur kebudayaan lokal. Berikut adalah sediki gambaran daerah penelitian yang penulis letakkan dalam latar belakang masalah penelitian ini agar menjadi sudut pandang dan tolak ukur dalam penyesuaian penelitian.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut sebagai peneliti saya bermaksud mengadakan penelitian dengan berjudul “Analisis Pola Interaksi Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat Lokal di Sumbawa Besar” (Studi di Kecamatan Alas, Sumbawa Besar).
1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka timbul beberapa pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini, antara lain:
1.2.1   Bagaimanakah pola interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang?
1.2.2   Bagaimanakah gambaran proses asimilasi atau akulturasi yang berlangsung di Kecamatan Alas antara kebudayaan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang?
1.3         Tujuan Penelitian
Sedangkan mengenai tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian dapat di uraikan sebagai berikut:
1.3.1   Untuk mendapatkan data dan fakta serta menggambarkan bagaimana berlangsungnya pola interaksi antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal.
1.3.2   Untuk menggambarkan faktor-faktor yang mengintegrasikan proses asimilasi atau akulturasi yang berlansung di Kecamatan Alas antara kebudayaan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang.
1.4         Manfaat Penelitian
Adapun manfaat-manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.4.1   Manfaat Teoritis
Dapat memberikan kontribusi berupa informasi, data, fakta, analisis terhadap studi-studi yang terkait dengan kajian interaksi sosial. Walaupun penelitian ini berkisar pada pola interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat asli, namun sedikit banyak dapat digeneralisasikan secara umum.
1.4.2   Manfaat Praktis
1.4.2.1       Bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa Besar
a.              Memberikan masukan dalam bentuk bacaan khususnya disertakan kepada masyarakat Sumbawa Besar baik bagi masyarakat lokal maupun bagi masyarakat pendatang dan dapat di jadikan sebagai bahan tolak ukur positif dari adanya kemajemukan itu, serta harapan demi berlansungnya masyarakat yang ideal. Untuk memperkaya wawasan terutama bagi kaum muda mudi yang yang berwawasan intlektual sebagai pesan, bahan kajian dan renungan bagi yang membaca hasil penelitian ini tentang analisis pola interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar (Studi di Kecamatan Alas).
b.             Menjadi wahana untuk memperkaya khazanah edukasi khususnya bagi publik masyarakat Sumbawa Besar tentang adanya interaksi masyarakat lokal dan masyarakat pendatang.
1.4.2.2       Bagi penulis
Bagi penulis sendiri adalah menambah wawasan dan pengetahuan tentang interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar
1.4.3   Manfaat Akademis
a.         Memberikan manfaat dan kontribusi dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar
b.         Sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi masyarakat setempat dalam memahami interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Kabupaten Sumbawa Besar.








BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.5         Pola Interaksi Sosial
1.5.1   Pengertian Pola Interaksi
Sebagai mahluk sosial, manusia dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan hubungan dengan manusia yang lain. Hubungan tersebut terjadi karena manusia saling membutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Karena manusia tidak bisa lepas dari manusia lainnya dan tidak bisa melakukan seorang diri. Kecenderungan manusia berhubungan melahirkan komunikasi dengan manusia yang lainnya. Komunikasi terjadi karena saling membutuhkan melalui sebuah interaksi.
Interaksi merupakan hubungan antar manusia yang sifat dari hubungan tersebut adalah dinamis artinya hubungan itu tidak statis, selalu mengalami dinamika , (M. Setiadi dan Usman,  2011:62). Hubungan antara manusia satu dan lainnya disebut interaksi. Dari interaksi akan menghasilkan produk-produk interaksi, yaitu tata pergaulan yang berupa nilai dan norma yang berupa kebaikan dan keburukan dalam ukuran kelompok tersebut. Pandangan tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk tersebut mempengaruhi perilaku sehari-hari (M. Setiadi dan Usman,  2011:38).
Interaksi adalah proses dimana orang-orang berkomunikasi saling memengaruhi dalam pikiran dan tindakan. Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Ada beberapa pengertian interaksi sosial yang ada di lingkungan masyarakat, di antaranya; Menurut H. Booner dalam bukunya, Sosial Psychology, memberikan rumusan interaksi sosial, bahwa: “interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lain atau sebaliknya.” Menurut Gillin and Gillin yang menyatakan bahwa “interaksi sosial adalah hubungan-hubungan antara orang-orang secara individual. Antarkelompok orang, dan orang perorang dengan kelompok” (M Setiadi dkk, 2007:90-91).
Dengan demikian pada dasarnya, interaksi ialah hubungan antar inividu, kelompok, dimana dengan adanya hubungan itu dapat saling mempengaruhi, merubah baik dari yang buruk menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Dalam kamus bahasa Indonesia, pola artinya adalah gambar, corak, model, sistem, cara kerja, bentuk, dan struktur (KBBIB, 2008:1088). Sedangkan interaksi artinya hal yang saling melakukan aksi, berhubungan, memengaruhi, dan antar hubungan (Ibid, 542). Apabila kata tersebut dikaitkan dengan interaksi maka dapat diartikan pola interaksi adalah bentuk dasar cara komunikasi individu dengan individu atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan individu dengan memberikan timbal balik antara pihak satu dengan yang lain dengan maksud atau hal-hal tertentu guna mencapai tujuan.
Dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia, M. Ali menyatakan bahwa pola adalah gambar yang dibuat contoh atau model. Jika dihubungkan dengan pola interaksi adalah bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi. Interaksi yang bernilai pendidikan dalam dunia pendidikan ataupun yang disebut dengan interaksi edukatif, sebagai contoh dari pola interaksi adalah dalam hal seorang guru menghadapi murid-muridnya yang merupakan suatu kelompok manusia di dalam kelas. Di dalam interaksi tersebut pada taraf pertama akan tampak bahwa guru mencoba untuk menguasai kelasnya supaya proses interaksi berlangsung dengan seimbang, di mana terjadi saling pengaruh-mempengaruhi antara kedua belah pihak. Sebagai contoh lain seorang guru mengadakan diskusi diantara anak didiknya untuk memecahkan sebuah persoalan, disinilah proses interaksi itu akan terjadi, adanya saling memberikan pendapat yang berbeda satu sama lain.
Dapat disimpulkan bahwa pola interasksi merupakan suatu cara, model, dan bentuk-bentuk interaksi yang saling memberikan pengaruh dan mempengaruhi dengan adanya timpal balik guna mencapi tujuan. Guru sebagai pengajar memiliki peran penting utuk dapat mengatur jalannya kegiatan belajar mengajar melalui pola interaksi dimana guru berperan sebagai pemberi aksi melalui pengajaran dan juga bisa menjadi penerima aksi melalui pertanyaan-pertayaan yang diajukan oleh siswa. Sebaliknya siswa pun memiliki peran yang sama dengan guru bisa sebagai pemberi aksi melalui melalui pertanyaan-pertayaan yang diajukan olehnya dan juga bisa menjadi menjadi penerima aksi melaui belajar dan mendengarkan. Namun, kerja sama dapat sangat membantu dalam proses kegiatan belajar mengajar yang diperlukan oleh guru dan siswa.
Pola dalam sosiologi berarti gambaran atau corak hubungan sosial yang tetap dalam interaksi sosial. Contoh pola, antara lain:
a. Seorang anak harus menghormati orang tuanya.
b. Seorang bawahan harus menghormati atasannya
c. Seorang siswa harus mengormati gurunya.
Terbentuknya pola dalam interaksi sosial tersebut melalui proses cukup lama dan berulang-ulang. Akhirnya, muncul menjadi model yang tetap untuk dicontoh dan ditiru oleh anggota masyarakat. Pola sistem norma pada masyarakat tertentu akan berbeda dengan pola sistem norma masyarakat lainnya karena pola interaksi masyarakat diterapkan berbeda-beda. Adanya pola interaksi dalam sebuah masyarakat tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah keajegan, di mana keajekan adalah gambaran suatu kondisi keteraturan sosial yang tetap dan relatif tidak berubah sebagai hasil hubungan yang selaras antara tindakan, norma, dan nilai dalam interaksi sosial.

1.5.2        Pengertian Interaksi Sosial
Sudah menjadi kenyataan bahwa manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang mempunyai keterbatasan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, sebagai mahluk sosial manusia saling bergantung kehidupannya satu sama lain. Depedensi manusia ini tidak saja terdapat pada awal kehidupannya, akan tetapi dialami manusia seumur hidupnya.
Interaksi merupakan syarat terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Di dalam interaksi sosial terkandung makna-makna tentang kontak secara timbal-balik dan respon antara individu-individu atau kelompok. Interaksi sosial adalah istilah yang dikenal oleh parah ahli sosiologi secara umum sebagai aspek inti bagi berlangsungnya kehidupan bersama. Interaksi sosial berarti suatu kehidupan bersama yang menunjukkan dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami perubahan. Menurut Soerjono Soekanto (dalam Zainuddin Ali 2006:17), interaksi sosial merupakan “hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antar perorangan dengan kelompok manusia”. Bila menyimak pendapat Soerjono Soekanto tersebut, dapat dipahami bahwa interaksi sosial merupakan proses individu dalam melakukan hubungan sepanjang ia hidup sebagai anggota masyarakat, sehingga individu akan merasa menjadi sebagian dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai perekat dalam kehidupan sosial, baik dalam konteks kehidupan pranata keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Apabila interaksi sosial berjalan dengan baik, masyarakat dapat hidup dengan tenang. Mereka dapat memperoleh hubungan yang baik melalui interaksi antar sesamanya, baik dalam bentuk berkomunikasi melalui interaksi maupun dalam bentuk bekerja sama. Oleh karena itu, hubungan masyarakat dalam bentuk apapun dapat diselsaikan dengan interaksi, baik interaksi dengan masyarakat bawahan, menenengah, maupun sampai pada kalangan masyarakat paling atas.
Kontak sosial pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok yang mempunyai makna bagi pelakunya yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan reaksi. Suatu interaksi sosial dimungkinkan terjadi karena dua hal yakni, kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial terjadi secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung misalkan melalui gerak fisik seseorang, misalnya dari berbicara, gerak isyarat. Secara tidak langsung misalkan melalui tulisan atau komunikasi jarak jauh yang menjadi syarat utama terjadinya kontak sosial.
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa adanya interaksi sosial tidak mungkin adanya kehidupan. Bertemunya orang perorangan secara badaniyah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup suatu kelompok sosial. Pergaulan baru akan terjadi apabila individu atau kelompok bekerja sama, saling berkomunikasi untuk mencapai tujuannya masing-masing, bahkan mungkin terjadi persaingan, pertikaian, pertentangan diantara individu atau kelompok.
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor antara lain imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan bergabung. Imitasi adalah kecendrungan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain dengan kata lain secara tidak disadari seseorang mengambil sifat, sikap, norma, pedoman hidup sebagainya. Sugesti adalah dorongan yang berasal dari dalam dirinya dan kemudian diterima oleh orang lain dan dijadikan sebagai pedoman untuk berinteraksi. Sedangkan identifikasi mempunyai peranan penting yaitu dapat mendorong seseorang untuk mematuhi nilai-nilai yang berlaku, tetapi juga dapat melemahkan atau dapat mematikan perkembangan daya kreasi seseorang. Simpati merupakan perasaan individu tertariknya dengan individu lain.
Hal tersebut merupakan faktor minimal yang menjadi dasar bagi keberlangsungan proses interaksi sosial, walaupun kenyataan proses tersebut sangat kompleks sehingga terkadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.
1.5.3        Syarat-syarat Terjadinya Kontak Sosial
Suatu interaksi tidak mungkin dapat terjadi apabila tidak memenuhi kedua syarat yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi.
a.         Kontak Sosial
Kontak sosial pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok yang mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Secara fisik kontak baru akan terjadi apabila terjadi hubungan badaniyah atau tanpa menyentuh seperti halnya berhubungan melalui telepon, telegraf, radio, televisi, internet dan lain-lain. Lebih jelasnya dijelaskan dengan bahasa lain adalah kontak sosial memiliki dua sifat yang pertama bersifat primer artinya terjadi apabila hubungan diadakan secara langsung dengan berhadapan muka. Yang kedua bersifat skunder artinya suatu kontak memerlukan suatu perantara. Cara pertama bersifat verbal atau gestural, yaitu kontak yang terjadi akibat saling menyapa, berbicara dan berjabat tangan. Cara kedua adalan nonverbal atau nongestural yaitu kontak yang terjadi dengan tidak menggunakan kata-kata atau bahasa melainkan dengan adanya isyarat. Misalkan dengan adanya timbul bau keringat, bau minyak wangi, lambaian tangan dan sebagainya.
b.         Komunikasi
Manusia merupakan mahluk yang saling menggantungkan satu sama lain. Keinginan dan kebutuhan yang dimilikinya tidak dapat dipenuhi tanpa bantuan orang lain. Untuk mewujudkannya, ia berupaya menyampaikan keinginan tersebut kepada orang lain baik secara verbal maupun simbol-simbol tertentu, sehingga orang lain dapat memahaminya dan meresponnya, ketika itu terjadilah komunikasi. Webster s new dictionary 1981: 225) dalam Abdul Chaer dan Leoni (2004:17) dikatakan, komunikasi adalah: Communication is process by which information is exchange between individualals through a common system of symbol, sign, or behaviour (Komunikasi adalah proses pertukaran informasi antar individu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum). Sedangkan dalam Bambang Pranowo (2008:114), ditegaskan hubungannya dengan bahasa adalah sistem komunikasi simbolikmenggunakan kata-kata yang diucapkan sesuai dengan pola-pola tertentu serta memiliki makna yang telah distandarisasikan.Bahasa mencakup juga tanda (sign), dan simbol. Bahasa memiliki dua karakteristik utama sebagai sebuah sistem komunikasi. Pertama adalah kualitas simbolnya. Kedua adalah norma atau yang bisa disebut sebagai gramatikalnya. Oleh karena itu bahasa dan komunikasi mencakup juga tanda dan simbol yang memiliki karakteristik utama sebagai sebuah sistem komunikasi. Tafsiran tersebut dapat berwujud melalui pembicaraan, gerak gerik badan atau sikap-sikap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
Komunikasi terjadi apabila sesorang memberi arti pada kegiatan orang lain serta perasaan-perasaan apa saja yang ingin disampaikan oleh orang tersebut, orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Interaksi sosial baru bisa berlangsung apabila dilakukan minimal dua orang atau lebih.
2.      Adanya interaksi dari pihak lain atas komunikasi dan kontak sosial.
3.      Adanya hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara satu dan yang lainnya.
4.      Interaksi cendrung bersifat positif, dinamis, dan berkesinambungan.
5.      Interaksi cendrung menghasilkan penyusuain diri bagi subjek-subjek yang menjalin interaksi.
6.      Berpedoman pada norma-norma atau kaidah sebagai acuan dalam interaksi.

1.5.4        Bentuk-bentuk Interaksi sosial
Bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama, persaingan bahkan pertentangan atau pertikaian. Suatu pertikaian mungkin mendapat suatu penyelesaian. Mungkin penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, proses ini dinamakan akomodasi. Di bawah ini akan dijelaskan bentuk-bentuk interaksi sosial, yaitu:
1.         Kerja sama
2.         Persaingan
3.         Pertentangan
Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai semenjak masa kanak-kanak dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya yaitu in-group-nya dan kelompok lainnya yang merupakan out-group-nya. Kerja sama tersebut mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan dari luar yang menyinggung kesetiaan secara tradisionil atau institusionil telah tertanam di dalam kelompok-kelompok tersebut, dalam diri seorang atau segolongan orang.Persaingan atau compeetition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana orang perorangan atau suatu kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari publik (Tidak perseorangan maupun kelompok manusia). Selanjutnya Pertentangan merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.

1.5.5        Proses-proses interaksi sosial
1.5.5.1       Proses Asosiatif

a.         Kerja sama

Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya yaitu in- group dan kelompok lainnya yang merupakan out group. Kerja sama akan mungkin bertambah kuat apabila adanya bahaya-bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan dari luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional yang mengancam terhadap suatu kelompok. Betapa pentingnya kerja sama digambarkan oleh Charles H. Cooley (dalam Soekanto 2005:73) dikatakan bahwa:
Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa merekamempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna.

Dalam hubungannya dengan kebudayaan suatu masyarakat, maka kebudayaan itulah yang mengarahkan dan mendorong terjadinya kerja sama. Lain halnya dengan keadaan yang dijumpai pada msayarakat Indonesia umumnya. Dikalangan masyarakat indonesia dikenal dengan nama gotong royong.
b.         Akomodasi

Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan-lawan tersebut kehilangan kepribadiannya. Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2005:75) dikatakan bahwa:  Akomodasi adalah suatu pengertian yang dipergunakan oleh parasosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana mahluk-mahluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya.
Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Tujuan dari akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu:
1.      Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok- kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk sementara untuk atau secara temporer.
2.      Akomodasi kadang-kadang diusahakan untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial yang sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, hidupnya terpisah seperti, misalnya yang dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang mengenal sistem berkasta.
3.      Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya, melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti yang luas.
Akomodasi sebagai suatu proses, dapat mempunyai beberapa bentuk, yaitu:
a.       Coercion, adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh suatu paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi, dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah sekali, dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik yaitu secara langsung, maupun secara psikologis yaitu secara tidak langsung. Misalnya perbudakan, adalah suatu coercion, dimana interaksi sosialnya didasarkan pada penguasaan majikan atas budak-budaknya, dimana yang terakhir dianggap sama sekali tidak mempunyai hak-hak apapun juga.
b.      Compromise, yaitu suatu bentuk akomodasi, dimana pihak-pihak yang terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelsaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap untuk dapat melaksanakan compromise berarti bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti pihak lainnya begitupun sebaliknya.
c.        Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan, masing-masing tidak sanggup untuk mencapainya sendiri. Pertentangan diselsaikan oleh pihak atau oleh suatu badan yang kedudukannya lebih tinggi dari pihak-pihak yang bertentangan itu, seperti contohnya adalah penyelsaian suatu perselisihan suatu perselisihan perbuatan.
d.      Mediation, hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundanglah pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada.
e.       Conciliation, adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih, untuk mencapai persetujuan bersama.
f.       Tolerantion, yang juga sering dinamakan tolerant-participation, ini merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil bentuknya, kadang-kadang tolerantion timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia.
g.       Stalamete, merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang, berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.
h.      Adjudication. Yaitu penyelsaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Secara panjang lebar, Gillin dan Gillin mengurauikan hasil-hasil dari terjadinya proses akomodasi, dengan banyak mengambil contoh-contoh dari sejarah. Antara lain hasil-hasilnya sebagai berikut:
1.      Akomodasi menyebabkan usaha-usaha untuk sebanyak mungkin menghindarkan diri dari benih-benih yang dapat menyebabkan pertentangan yang baru, untuk kepentingan integrasi masyarakat.
2.      Menekan oposisi. Seringkali suatu persaingan dilaksanakan demi keuntungan suatu kelompok tertentu misalnya golongan produsen demi kerugian pihak lain misalnya golongan konsumen.
3.      Akomodasi antara golongan produsen yang mula-mula bersaing akan dapat menyebabkan turunnya harga, oleh karena barang-barang dan jasa lebih mudah sampai kepada konsumen.
4.      Koordinasi berbagai keperibadian yang berbeda. Hal ini tampak dengan jelas apabila dua orang misalnya, bersaing untuk menduduki kedudukan atau sebagai pimpinan suatu partai politik.
5.      Perubahan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan yang baru.
6.      Perubahan-perubahankedudukan. Sebetulnya akomodasi menyebabkan suatu penetapan yang baru dari kedudukan orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia.
7.      Akomodasi membuka jalan kearah assimilalsi. Dengan adanya proses assimilasi, para pihak lebih sering mengenal dan dengan demikian juga lebih mudah untuk saling mendekati, oleh karena timbul benih-benih toleransi.
c.         Assimilasi
Assimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Proses assimilasi timbul apabila ada kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya. Memperjelas maksud di atas adalah:
1.      Orang-perorangan sebagai warga kelompok-kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama.
2.      Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Dan faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu assimilasi adalah antara lain:
a.       Toleransi
b.      Kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang.
c.       Suatu sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.
d.      Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.
e.       Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan.
f.       Perkawinan campuran (Amalgamations).
g.      Adanya bersama dari luar.
Faktor-faktor yang dapat menjadi penghalang terjadinya assimilasi adalah antara lain:
1.      Terisolirnya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat (Biasanya golongan minoritas). Suatu contoh misalnya orang-orang indian di Amerika Serikat yang diharuskan bertempat tinggal di wilayah-wilayah tertentu yang tertutup (Reservation) .
2.      Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi itu.
3.      Perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan yang dihadapi itu.
4.      Perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu, lebih superior dari pada kebudayaan golongan atau kelompok biasanya.
5.      Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniyah dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya assimilasi. Faktor ini merupakan salah satu dari terhalangnya proses assimilasi.
6.      Suatu in-group feeling yang kuat dapat pula menjadi penghalang terhadap terjadinya assimilasi. In-group feeling artinya bahwa suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terkait pada suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terikat pada suatu kelompok yang bersangkutan.Suatu hal lain yang dapat mengganggu proses assimilasi adalah apabila golongan minoritas mengalami gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa.

1.5.5.2       Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering juga disebu sebagai oppositional proces, persis halnya dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan.
Proses-proses yang disosiatif dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:
1.      Persaingan
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana orang perorangan atau suatu kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari publik (Tidak perseorangan maupun kelompok manusia).
Bentuk-bentuk persaingan, yaitu antara lain: Pertama, persaingan di bidang ekonomi.Kedua, persaingan dalam bidang kebudayaan. Ketiga, persaingan untuk mencapai kedudukan dan peranan yang tertentu dalam masyarakat. Keempat, kersaingan karena perbedaan ras.
2.      Kontravensi
Kontravensi pada hakekatnya merupakan suatu bentuk proses sosial antara persaingan dengan pertentangan atau pertikaian. Contravention terutama ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidak pastian mengenai seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka disembunyikan, kebencian atau keraguan-keraguan terhadap kepribadian seseorang. Dalam bentuk yang murni, contervention adalah suatu sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu.Proses contravention mencakup lima sub proses, yaitu:
a.       Proses yang umum dari contravention meliputi perbuatan-perbuatan seperti penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan dan perbuatan mengacaukan rencana pihak lain.
b.      Bentuk-bentuk dari contravention yang sederhana seperti misalnya menyangkal perbuatan orang lain dimuka umum, memaki-maki orang lain, melalui surat-surat selembaran, mencerca dan sebagainya.
c.       Contravention yang bersifat rahasia, seperti umpamanya mengumumkan rahasia pihak lain, perbuatan khianat dan seterusnya.
d.      Bentuk-bentuk contravention yang intensif yang mencakup penghasutan, menyebarkan desas-desus, mengecewakan pihak lain dan sebagainya.
e.       Contravention yang bersifat taktis, misalnya mengejutkan lawan. Mengganggu atau atau membingungkan pihak lain, umpamanya dalam kampanye pemilihan umum. Hal itu sering terjadi antara partai-partai politik yang memperubutkan kedudukan melalui suatu pemilihan umum.
Contoh lain adalah memaksa pihak-pihak lain untuk menyesuaikan diri (Conformity) dengan memakai kekerasan, mengadakan provokasi, dan sebagainya.



3.      Pertentangan
Pertentangan merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan. Sebab musabab dari pertikaian ini antara lain:
a.       Perbedaan antara orang perorangan. Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin menyebabkan bentrokan antara orang-perorangan.
b.      Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut.
c.       Bentrokan antara kepentingan-kepentingan. Bentrokan-bentrokan kepentingan orang perorangan maupun kelompok-kelompok manusia merupakan sumber lain dari pertentangan.
d.      Perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk sementara waktu merubah nilai-nilai dalam masyarakat tadidan menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendiriannya mengenai reorganisasi dari sitem nilai-nilai yang sebagai akibat perubahan-perubahan sosial menyebabkan suatu disorganisasi.

1.5.6        Interaksionisme Simbolik
Istilah interaksionalisme simbolik yang digunakan pertama kali oleh Herbert Blumer, pada dasarnya merupakan satu perspektif psikologi sosial. Perspektif ini memusatkan perhatiannya pada analisa hubungan antar pribadi. Individu dipandang sebagai pelaku yang menafsirkan, dan bertindak. Kendati istilah ini digunakan pertama kalinya oleh Blumer, dalam kenyataannya, beberapa pemikir sebelumnya telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan perspektif ini.
Teori interaksionalisme simbolik ini berkembang pertama kali di Universitas Chicago dan dikenal juga dengan aliran Chicago. Dua orang tokoh besarnya yaitu Jhon Dewey dan Charles Horton Cooley adalah filsuf yang mula mengembangkan teori interaksionisme simbolik di universitas Michigan. Tokoh modern dari teori ini adalah Herbert Blumeryang menjelaskan perbedaan antara teori ini dan teori behaviorisme. Charles Horton Cooley dalam Bernard Raho SVD (2007:97), menjelaskan dua hal tentang selfadalah: Petama, dia melihat self sebagai proses dimana individu-individu biasa melihat diri mereka sendiri sebagai obyek bersama dengan obyek-obyek lainnya didalam lingkungan sosial mereka. Kedua dia mengakui bahwa ‘self’ muncul dari komunikasi dengan orang lain. Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang individu menafsirkan gerak-gerik orang lain dan dengan demikian ia dapat melihat dirinya berdasarkan sudut pandangan orang lain. Mereka membayangkan bagaimana orang lain menilai mereka. Dengan demikian mereka membentuk gambaran-gambaran tentang diri sendiri. Cooley menamakan proses ini “looking glass self”(diri berdasarkan penglihatan orang lain). Dia juga mengakui bahwa ‘self’ muncul dari interaksi berdasarkan konteks kelompok. Dialah yang mengembangkan konsep tentang kelompok primer yang mencakup perkembangan keperibadian seseorang. Selanjutnya Jhon Deweydalam Bernard Raho SVD dikatakan, dia sebagai pendukung utama pragmatisme, dia memusatkan perhatiannya pada proses-proses penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya. Menurut dia, “keunikan manusia muncul dari proses penyesuaian diri dengan kondisi-kondisi hidupnya” (Bernard Raho SVD, 2007:97) Dewey menegaskan bahwa apa yang unik dalam diri manusia adalah kemampuaan untuk berpikir.
Bagimana proses kehidupan bermasyarakat itu terjadi menurut pandangan teori interaksionalisme simbolik?. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:Individu atau unit-unit tindakan yang terdiri atas sekumpulan orang tertentu, saling menyesuaikan atau saling mencocokkan tindakan mereka satu sama lain melalui proses interpretasi. Interpretasi yaitu proses berpikir yang merupakan kemampuan yang dimiliki manausia. Jadi dalam proses interaksi manusia itu bukan suatu proses dimana adannya stimulus atau ransangan secara otomatis dan langsung menimbulkan tanggapan tetapi antara stimulus yang diterima direspon melalui proses interpretasi atau berpikir.
Diantara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik. Pendekatan ini bersumber pada pemikiran Geroge Herbert Mead. Simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Herbert Blummer, salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran Mead mengenai interaksionisme simbolik dalam Kamanto Sunarto, menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga; pertama bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang dipunyai tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga, bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran, (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya (Sunarto, 1997:47).
Yang hendak ditekankan oleh Blumer disini adalah bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu.
Untuk mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan tertentu, yang dikenal dengan nama interactionist perspektive. Diantara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari intreaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik (Symbolic interaksionism). Pendekatan ini bersumber dari pemikiran George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.
Dalam interaksi sosial, ada asumsi teoretis yang distilahkan dengan interaksionisme simbol. Herbert Blumer menyampaikan rumusan yang paling ekonomis menurutnya dari asumsi-asumsi interaksionisme simboldimana hal ini berhubungan konsep “diri” konsep perbuatan (action), konsep obyek, konsep interaksi sosial, konsep joint action. Ia menyambung pada gagasan-gagasan Mead adalah sebagai berikut: konsep diri, konsep perbuatan (action), konsep obyek. Ketiga konsep menurut Blumer tersebut bila dikaitkan dengan gagasan Mead adalah dapat dijelaskan. Manusia bukan semata-mata organisasi saja yang bergerak dibawah pengaruh perangsang-perangsang entah dari luar, entah dari dalam, melainkan “organisme yang sadar akan dirinya”. (An organism having a self). Selanjutnya perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak mahluk-mahluk yang bukan manusia. Manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal seperti kebutuhan perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya, situasinya, self image-nya, ingatannya dan cita-cita untuk masa depan. Manusia hidup ditengah obyek-obyek. Kata “obyek” dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian arti manusia. Menurut Blumer, obyek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan, kebendaan seperti Empire state Building atau abstrak seperti konsep kebebasan, hidup atau tidak hidup terdiri dari golongan atau terbatas pada satu orang, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti hakikat obyek-obyek tidak ditentukan oleh ciri-ciri instrinsik mereka, melainkan oleh minat dan arti yang dikenakan kepada obyek-obyek itu. Konsep interaksi sosial.
Dalam deskripsi Mead, “proses pengambilan peran” menduduki tempat penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Konsep joint action. Blumer mengganti istilah sosial act dari mead dengan istilah joint action. Artinya ialah aksi kolektif yang lahir dimana masing-masing perbuatan-perbuatan peserta dicocokkan dan diserasikan satu sama lain.
1.6         Masyarakat Menurut Teori Simbolik
Interaksi simbolik menggambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem, struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur institusional, pola status, norma-norma, dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Masyarakat, organisasi atau kelompok terdiri dari orang-orang yang menghadapi keragaman stuasi dan masalah yang berbeda-beda.
Pengaruh interaksionisme yang paling umum adalah pandangan bahwa kita menggunakan interpretasi orang lain sebagai bukti “kita”. Berarti, citra diri (Self-image). Kesadaran kita adalah produk dari cara orang lain berpikir tentang kita. Akibatnya, dalam hal ini “saya adalah apa yang saya pikir engkau berpikir tentang saya”. Bagi interaksi simbolik inilah terutama apa yang dimaksud dengan sosialisasi itu. Jadi bukan aturan-aturan kebudayaan sudah ada, bersifat eksternal, yang secara umum diinternalisasi oleh manusia, seperti pendapat teori struktural. Citra diri adalah produk dari proses interpreatif. Alokasi makna antara satu orang dengan orang yang lain. Yang bagi teori tindakan adalah akar dari semua interaksi sosial. Maka muncullah suatu gambaran masyarakat yang dinamis, bercorak serba berubah dan pruralis. Orang saling berhubungan satu sama lain dan saling menyesuaikan kelakuan mereka secara timbal-balik. Mereka tidak bertindak dengan berdoman pada satu kebudayaan, struktur sosial dan sebagainya, melainkan dengan menghadapi situasi-situasi. Ciri-ciri struktural seperti kebudayaan, pelapisan sosial atau peran-peran sosial yang menyediakan kondisi-kondisi tindakan mereka tetapi tidak menentukannya.
Interaksionisme simbolik adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyatan-pernyataan seperti ‘definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang mendefinisikan situasi itu nyata, maka hanyalah situasi itu dalam konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, interaksionisme simbolik itu jelas menunjukkan jenis-jenis aktivitas manusia yang unsur-unsurnya memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial. Menurut ahli teori interaksionisme simbolik, kehidupan sosial secara harfiah adalah interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol”. Interaksionisme simbolik tertarik pada: Pertama, cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud, dan untuk berkomunikasi satu sama lain (Suatu interpreatif yang ortodok). Kedua, akibat interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat selama interaksi social (Pip Jones, 2009:142).
Interaksionisme simbolik menekankan bahwa interaksi adalah proses interpretatif dua arah. Kita tidak hanya harus memahami bahwa tindakan seseorang adalah produk bagaimana ia menginterpretasi perilaku orang lain, tetapi bahwa interpretasi ini akan memberi dampak terhadap pelaku yang berperilakunya diinterpretasi dengan cara tertentu pula. Salah satu konstribusi interaksionisme simbolik bagi teori tindakan adalah elaborasi dan menjelaskan berbagai akibat interpretasi terhadap orang lain terhadap identitas sosial individu yang menjadi objek interpretasi tersebut.
1.7         Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Setiap manusia pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.
1.         Definisi Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai pembatasan pengertian perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. William F.Ogburn dalam Soerjono Soekanto (2011:303-304), berusaha memberikan sesuatu pengertian tertentu, walau tidak memberi definisi tentang perubahan-perubahan sosial. Dia mengemukakan ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Kingsley Davis (Soerjono Soekanto 2011:, 304), mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya timbul perorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan antara buruh dan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahn-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik. Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering mempersoalkan perbedaan antara perubahan-perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial meerupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan dalam bentuk aturan-aturan organisasi sosial.

2.         Bentuk-bentuk Perubahan Sosial dan kebudayaan

Perubahn sosial dan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
a.         Perubahan lambat dan perubahan cepat

Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu yang lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan yang lambat, dinamakan evolusi. Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahn tersebut tidak perlu sejalan dengan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.
b.         Perubahan kecil dan perubahan besar

Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas, karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung yang berarti bagi masyarakat. Perubahan mode pakaian, misalnya tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat dalam keseluruhannya, karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahn pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya, suatu proses industrilisasi yang berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya, merupakan pengaruh besar pada masyarakat.
c.         Perubahan yang dikehendaki dan perubahan tidak dikehendaki

Perubahan yang dikehendaki adalah perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang akan melakukan perubahan di dalam masyarakat. Pihak yang menghendaki perubahan disebut agent of change. Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agent of change langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Selanjutnya perubahan yang tidak dikehendaki merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Konsep perubahan yang dikehendaki atau tidak dikehendaki tidak mencakup paham apakah perubahan-perubahan tadi diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Mungkin suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan diterima masyarakat. Bahkan para agent of change yang merencanakan perubahan-perubahan yang dikehendaki telah memperhitungkan terjadinya perubahan-perubahn yang tidak terduga di bidang-bidang lain.



3.         faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan.

Untuk mempelajari perubahan masyarakat, perlu diketeahui sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya perubahn masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja karena ada factor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti faktor-faktor lama itu. Pada umumnya dikatakan bahwa sebab-sebab tersebut mungkin sumbernya ada yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri da nada yang terletaknya di luar. Sebab-sebab yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri, antara lain adalah:
a.       Bertambah atau berkurangnya penduduk
b.      Penemuan-penemuan baru
c.       Pertentangan konflik masyarakat
d.      Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Selanjutnya suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain:
a.       Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia
b.      Peperangan
c.       Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
4.         Faktor-faktor yang mempengaruhi Jalannya proses perubahan
Di dalam masyarakat dimana terjadi suatu proses perubahan, terdapat faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:
a.       Kontak dengan kebudayaan lain. Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion. Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut masyarakat mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang dihasilkan.
b.      Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagimana cara berpikir secara ilmiah.
c.       Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju. Apabila sikap tersebut melembaga dalam suatu masyarakat, maka masyarakat akan merupakan pendorong bagi usaha-usaha penemuan baru.
d.      Sistem terbuka lapisan masyarakat. Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertical yang luas atau berarti atau memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan diri sendiri. Dengan keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga yang mempunyai status lebih tinggi. Identifikasi merupakan tingkah laku yang sedemikian rupa, sehingga seseorang meras berkedudukan sama dengan orang atu golongan lain yang dianggap lebih tinggi dengan harapan agar diberlakukan sama dengan golongan tersebut.
e.       Penduduk yang heterogen. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar-belakang kebudayaan yang berbeda, ras yang berbeda, ideologi yang berbeda dan seterusnya, mempermudah terjadinya pertentangan-pertentangan yang mengundang kekgoncangan-kegoncangan. Keadaan-keadaan tersebut mempermudah terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.
f.       Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupsn tertentu. Ketidakpuasan yang berlangsung terlalu lama dalam masyarakat berkemungkinan besar akan mendatangkan revolusi.
g.      Orientasi ke masa depan
h.      Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar terjadinya perubahan
5.         Faktor-faktor Yang Menghalangi terjadinya Proses Perubahan
a.       Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain. Kehidupan asing menyebabkan sebuah masyarakat tidak mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada mamsyarakat lain yang mungkin akan memperkaya kebudayaannya sendiri. Hal itu juga menyebabkan bahwa para warga masyarakat terkukung pola-pola pemikirannya oleh tradisi.
b.      Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. Hal ini mungkin disebabkan hidup masyarakat tersebut terasing dan tertutup atau mungkin karena lama dijajah oleh masyarakat lain.
c.       Sikap masyarakat yang sangat tradisionil. Suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau serta anggapan bahwa trasdisi secara mutlak tidak dapat diubah, menghambat jalannya proses perubahan.
d.      Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat. Dalam organisasi sosial yang mengenal sistem sosial pasti akan ada sekelompok orang yang menikmati kedudukan perubahan-perubahan. Misalnya dalam mamsyarakat feodal atau masyarakat yang sedang mengalami transisi.
e.       Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integritas kebudayaan. Memang harus diakui kalo tidak mungkin integrasi semua unsur-unsur kebudayaan bersifat sempurna. Beberapa perkelompokkan unsur-unsur tertentu mempunyai drajat integritas tinggi. Maksudnya unsur-unsur luar dikhawatirkan akan menggoyahkan integrasi dan menyebabkan perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu masyarakat.
f.       Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. Sikap-sikap demikian banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang pernah dijajah bangsa-bangsa barat.
g.      Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. Setiap usaha pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Biasanya diartikan sebagai usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang sudah menjadi dasr integritas masyarakat tersebut.
h.      Adat atu kebiasaan. Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat di dalam memenuhi semua kebutuhan pokoknya. Apabila kemudian pola-pola perilaku tersebut efektif di dalam memenuhi kebutuhan pokok, krisis akan muncul. Mungkin adat atau kebiasaan yang mencakup bidang kepercayaan, sistem mata pencaharian, cara berpakaian tertentu, begitu kokoh sehingga sukar untuk diubah.

1.8         Masyarakat dan Unsur-Unsur Persamaan Kebudayaan
Sejak lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan diberbagai tempat yang sering kali jauh letaknya satu sama lain. Ketika cara berpikir mengenai evolusi kebudayaan berkuasa, para sarjana menguraikan gejala persamaan itu dengan keterangan bahwa persamaan-persamaan itu disebabkan karena tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai tempat di muka bumi. Sebaliknya ada juga uraian-uraian lain yang mulai tampak di kalangan ilmu antropologi, terutama waktu cara berfikir mengenai evolusi kebudayaan mulai kehilangan pengaruh, yaitu kira-kira pada akhir abad ke-19. Menurut uraian ini, gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia disebabkan karena persebaran atau difusi dari unsur-unsur itu ke tempat–tempat tadi. Selanjutnya diterangkan bahwa menurut Garebner (Koentjaraningrat, 1999:112-113) yang disebutnya satu Kulturkreise.  Maksud istilah itu adalah lingkaran kebudayaan di muka bumi yang mempunyai unsur-unsur kebudayaan yang sama.
Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat di muka bumi ke dalam berbagai kulturkreis itu diterangkan dalam bukunya yang menjadi sangat terkenal, yaitu Methode der Etnologie (1911) dalam Koentjaraningrat. Prosedur klasifikasi itu berjalan sebagai berikut:
1.         Seseorang peneliti mula-mula harus melihat di tempat-tempat mana di muka bumi terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama. Misalnya di tiga kebudayaan di tempat-tempat yang kita sebut A, B, dan C yang letaknya saling berjauhan, terdapat unnsur-unnsur kebudayaan a yang sama, maka unsur itu yang di A kita sebutkan a, di B kita namakan a, di C adalah a. Persamaan akan kesadaran tadi dicapai dengan alasan pembandingan berupa ciri-ciri, atau kualitas, dari ketiga unsur tadi, dan disebut Qualitats Kriterium.
2.         Si peneliti kemudian harus melihat apakah di A ada unsur-unsur lain yang sama dengan unsur-unsur di B dan C; dan misalkan ada unsur b,c, d, dan e di A yang sama dengan unsur-unsur b, c, d, dan e di C, maka alasan pembandingan berupa suatu jumlah banyak (kuantitas) dari berbagai unsur kebudayaan tadi di sebut Quantitats Kriterium. Tiap kelompok unsur-unsur yang sama tadi, yaitu (a b c d e, (a’ b’ c’ d’ e’) dan (a” b” c” d” e”), masing-masing disebut Kulturkomplex.
3.         Akhirnya peneliti menggolongkan ketiga tempat itu, yaitu A, B dan C, dimana terdapat ketiga Kultu rkomplex tadi, menjadi satu, seolah-olah memasukkan ketiga tempat di atas peta bumi bumi itu ke dalam satu lingkaran. Ketiga tempat tadi itu menjadi Kulturkreis. Dengan melanjutkan prosedur tersebut, maka di atas peta bumi akan tergambar berbagai Kulturkreis, yang saling berpadu dan bersimpangisiur. Dengan demikian akan tampak gambaran atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa yang lampau.
Berhubungan dengan perhatian terhadap masalah persebaran kebudayaan tersebut di atas, ada seorang sarjana ilmu hayat yang merangkap ilmu bumi bernama F. Ratzel (1844-1904) yang pernah mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika. Ia banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur di berbagai tempat di Afrika itu, dan kemudian juga pada unsur-unsur kebudayaan lain, seperti bentuk rumah, topeng,pakaian dan lain-lain. Anggapan dasar para sarjana tadi dapat diringkaskan sebagai berikut: Kebudayaan manusia itu pangkalnya adalah satu, dan di suatu tempat yang tertentu, yaitu pada waktu mahluk manusia baru muncul di dunia ini. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar, dan pecahah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Oleh Karena itu dari penjelasan teori kulturkreise di atas dapat dihubungkan dengan realitas kebudayaan secara univesal yakni gejala-gejala persebaran atau difusi kebudayaan yang ada di indonesia terdapat kesamaan unsur-unsur di dalamnya. Secara umum terdapat bebrapa deminsi yang menjelaskan kekhasan suatu bangsa. Unsur-unsur identitas itu secara normative berbentuk sebagai nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis (Ubaedillah dan Rozak, 2000:97). Selanjutnya keterkaitan antara teori tersebut akan dijelaskan pada hasil kajian ilmiah ini apakah ada hubungan serta interpretasi dari hasil kajian tersebut.
Masyarakat dan kebudayaan adalah dwi tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Ada yang memamandang masyarakat dari sudut pandang kebudayaan dengan alasan bahwa unsur kebudayaan merupakan unsur terpenting dari masyarakat, ada yang memandang masyarakat dari aspek organisasi dan kerja sama karena unsur inilah yang terpentingdalam kehidupan bermasyarakat. Dan ada pula yang memandang sebagai kelompok-kelompok karena kelompok adalah unsur yang menentukan kehidupan masyarakat. Berikut ini adalah sejumlah pengertian dari beberapa ahli mengenai masyarakat. Kehidupan masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem atau sistem sosial, yaitu suatu keseluruhan bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu kesatuan. Menurut Koentjaraningrat masyarakat adalah “kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Sementara menurut Horton dan Hunt dalam M. Bambang Pranowo (2010:128) mengatakan; masyarakat adalah “suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan masyarakat tersebut”. Kemudian selanjutnya menurut Selo Soemardjan dalam Jacobus Ranjabar (2016:10) mengatakan; masyarakat adalah “orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan”.Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang saling berhubungan: pengaruh-mempengaruhi; mempunyai norma-norma; memiliki identitas yang sama; dan memiliki teritorial kewilayahan tertentu.
Untuk memberikan penjelasan yang cukup detail mengenai unsur-unsur masyarakat untuk membedakannya dengan istilah lain seperti komunitas, perkumpulan dan lain sebagainya adalah:
1.      Adanya kelompok manusia yang berinteraksi
Syarat pertama yang harus ada dalam kehidupan masyarakat adanya interaksi diantara anggota kelompok masyarakat tersebut, berlansung lama, saling pengaruh mempengaruhi dan memiliki prasarana untuk berinteraksi.
2.      Adanya Norama-norma dan adat istiadat
Kehidupan masyarakat akan berlangsung tertib manakalah terdapat norma-norma yang diterapkan secara kontinyu dan teratur, sehingga menjadi adat istiadat yang khas untuk masyarakat tersebut yang menjadi pembeda dengan masyarakat lainnya.
3.      Adanya identitas yang sama
Unsur lain yang membentuk adanya masyarakat adalah adanya identitas yang sama yang dimiliki oleh warga masyarakatnya, bahwa mereka memamang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dengan kesatuan-kesatuan lainnya.
4.       Adanya batas wilayah
Suatu masyarakat umumnya mempunyai batas-batas wilayah yang jelas. Batas-batas itu sering menjadi petunjuk bagi pengamat untuk memgetahui jenis suku bangsa yang menghuni wilayah tersebut.
Oleh karena itu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari manusia karena hanya manusia saja yang hidup bermasyarakat. Sebaliknya manusia pun tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Dengan adanya kebudayaan di dalam masyarakat itu adalah sebagai bantuan yang sangat besar sekali pada individu-individu, baik dari sejak permulaan adanya masyarakat sampai kini. Setiap kebudayaan adalah sebagai jalan atau arah di dalam bertindak dan berpikir, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman fundamental, oleh sebab itulah kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.



BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.       Metode yang digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Menurut Taylor dan Bogdan dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (2007:166), Pengertian penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai “penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti”.  Penelitian kualitatif yang berakar dari paradigma interpretatif, pada awalnya muncul dari ketidakpuasan atau reaksi terhadap paradigma positivist, yang menjadi akar penelitian kuantitatif.
Untuk mengadakan pengkajian selanjutnya terhadap istilah penelitian kualitatif perlu kiranya dikemukakan beberapa definisi. Pertama, Bogdan dan Taylor (1975: 5) dalam Lexi J. Moleong (2006:3) mendefinisikan “metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati”. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986:9) dalam Lexi J. Moleong (2006: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya”.
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan metode dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambar-gambar atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Travers, 1978) dalam Consuelo G. Sevilla dan kawan-kawan. Ada beberapa teori pendekatan yang digunakan untuk penelitian kualitatif yaitu, perspektif ke dalam fenomenologis, interaksi simbolis,dan etnometodologi.
Hakikat dari metode kualitatif adalah totalitas atau gestalt, yaitu ketetapan interpretasi bergantung kepada ketajaman analisis, objektivitas, sistematik dan sistemik, bukan pada statistika dengan menghitung beberapa besar probalitasnya bahwa peneliti benar dalam interpretasinya.
3.2.       Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1.8.1   Observasi
Metode observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala yang diselidiki baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi yang sengaja dibuat secara khusus. Metode ini dimaksudkan untuk mencatat terjadinya peristiwa atau terlibatnya gejala tertentu secara langsung dan juga data-data lain yang dibutuhkan yang sulit diperoleh dengan metode lainnya.
Observasi ini dilakukan untuk mengamati dan membuat catatan deskriptif terhadap latar belakang dan semua kegiatan yang terkait dengan interaksi social masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang di Kecamatan Alas sehingga dapat diperoleh data yang akurat.
1.8.2   Wawancara (Interview)
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Dalam mengunakan wawancara tidak terlepas dari masalah pokok yang perlu diperhatikan yaitu seleksi individu untuk diwawancarai, pendekatan pada orang yang telah diseleksi untuk diwawancarai, pengembangan suasana lancar dalam mewawancarai serta untuk menimbulkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancarai.
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan wawancara dengan menggunakan pendekatan wawancara pembicaraan infomasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada wawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spotanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai. Wawancara demikian pada latar ilmiah. Hubungan wawancara dengan yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaannya dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan informasi saja.
Jadi peneliti mewawancarai permasalahan tentang bagaimanakah pola interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang serta bagaimanakah gambaran proses asimilasi atau akulturasi yang berlangsung di Kecamatan Alas antara kebudayaan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang?
1.8.3   Dokumentasi
Dokumentasi diperlukan untuk memperoleh data-data yang relevan dengan fokus penelitian, seperti catatan dan dokumen ataupun arsip-arsip lain yang dipandang perlu untuk membantu analisis. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Arikunto (2010:132), bahwa teknik dokumentasi adalah untuk mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat dan sebagainya.
3.3.       Jenis dan Sumber Data
3.3.1        Jenis Data
Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti memerlukan data yang akurat agar hasil kajian dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Dalam melaksanakan penelitian, ada dua jenis data yaitu data kualitatif dan data kuantitatif (Arikunto, 2010: 98).
a.       Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka dengan melalui penelitian perhitungan.
b.   Data Kualitatif adalah data-data yang berupa uraian-uraian dengan melalui penelitian sisial.
   Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kulitatif, yaitu dengan cara menjelasakan secara sistematis, analitis dan logis dari permasalahan yang diteliti yaitu interaksi social masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang di Kecamatan Alas.
3.3.2        Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.
3.3.2.1  Data primer yaitu berupa data yang berasal dari hasil wawancara  dan hasil observasi yan dilakukan oleh peneliti.
3.3.2.2  Data sekunder yaitu berupa data yang berasal dari beberapa dokumen yang dikumpulkan peneliti.
3.4.       Teknik Analisis Data
Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis data dari Miles dan Huberman dalam  Lexi J Moeloeng (2009:16-18), yaitu terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu : Reduksi data, penyajian data/display data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan merupakan rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul.




 






Bagan 1: Komponen-komponen Analisis Data

Bagan  tersebut  dapat  dijelaskan  bahwa  tiga  jenis  kegiatan  utama pengumpulan data (reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi) merupakan  proses  siklus  interaktif.  Peneliti  harus  siap  bergerak  di  antara  empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan aspek-aspek permasalahan penelitian, seperti mengelompokkan data-data yang sama dari berbagai data yang didapatkan dari responden yang berbeda, menyederhanakan dan memberi tema sesuai dengan item pertanyaan penelitian. Reduksi data ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasikan data lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi, dengan demikian kesimpulannya dapat diverifikasi untuk dijadikan temuan penelitian terhadap masalah yang diteliti. 
Data yang telah direduksi kemudian disajikan atau ditampilkan (display) dalam bentuk deskripsi sesuai dengan aspek-aspek penelitian. Penyajian data ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti menafsirkan data dan menarik kesimpulan. Sesuai dengan aspek-aspek penelitian ini, maka data atau informasi yang diperoleh dari lapangan disajikan secara berturut-turut mengenai keadaan faktual tentang tradisi ziarah makam Padang Reak oleh masyarakat Sekarbela.
Proses terakhir adalah pengambilan kesimpulan/verifikasi (conclussion/  verification), yang diawali  dengan  pengambilan  kesimpulan  sementara atau tentatif, namun seiring dengan bertambahnya data maka harus dilakukan verifikasi data dengan cara mempelajari kembali data yang telah ada. Setelah itu, melakukan verifikasi data dengan cara meminta pertimbangan dari tokoh-tokoh lain, atau dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu dengan sumber-sumber lain. Baru kemudian, peneliti menarik kesimpulan akhir untuk mengungkap temuan-temuan penelitian ini.



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Kecamatan Alas
1.      Bidang Kependudukan
Luas Wilayah Kecamatan Alas 123,04 Km2 berada pada ketinggian rata-rata 6,50 meter dari permukaan laut. Terdiri dari 8 desa yaitu Desa Luar, Desa Dalam, Desa Kalimango, Desa Juran Alas, Desa Baru, Desa Marente, Desa Labuhan Alas dan Pulau Bungin
·         Jumlah Penduduk : Tahun 2009
28.948wa


Laki-laki
:
15.347wa


Perempuan
:
13.601 Jiwa

·          Jumlah Penduduk Tahun 2010

29.417 Jiwa


Laki-laki
:
15.331 Jiwa


Perempuan
:
14.086 Jiwa

·         Terjadi peningkatan sebesar 469 Jiwa
  

·         Kepadatan Penduduk Tahun 2009 rata-rata 235 Jiwa/Km2
·         Sedangkan kepadatan penduduk tahun 2010 rata-rata 239 Jiwa/Km2
·         Jumlah Rumah Tangga : 6.974 RT Tahun 2009 sedangkan Tahun 2010 jumlah rumah Tangga 7.249 RT terjadi kenaikan sebesar 275 RT
·         Jumlah RT=157, RW=65, Dusun=28 bertambah 1 Dsn Pentemat Desa Marente
·         Jumlah Rumah Tangga Miskin dengan jumlah Rumah Tangga tahun 2009=3.317/6.974x100=47.56%
·         Sedangkan tahun 2010 Rasio perbandingan Rumah Tangga Miskin dengan jumlah Rumah Tangga=3.699/7.249x100=51.03%
·         Terjadi peningkatan sebesar 3.47%
Rumah tangga menurut jenis pekerjaan :
·         Pertanian
2.202 RT
·         Perikanan
601 RT
·         Peternakan
589 RT
·         Kehutanan
51 RT
·         Home Industri
510 RT
·         Perdagangan
1.001 RT
·         Angkutan
529 RT
·         Karyawan
492 RT
·         Lainnya
1.274 RT










2.      Bidang Kesehatan
Jumlah Peserta Jamkesmas tahun 2009 16.512 jiwa, sedangkan tahun 2010 berjumlah 17.065 jiwa, terjadi peingkatan jumlah peserta Jamkesmas sebesar 553 jiwa. Jumlah Jamkesda 34 jiwa sama seperti tahun lalu. Jumlah keseluruhan Jamkesmas dan Jamkesda = 17.065 + 34 = 17.099 jiwa

Desa Dalam
2.481 jiwa

Desa Kalimango
2.204 jiwa

Desa Baru
3.048 jiwa

Desa Lab. Alas
1.259 jiwa

Desa Marente
1.198 jiwa

Desa Luar
2.056 jiwa

Desa Juranalas
3.245 jiwa

Desa Pulau Bungin
1.021 jiwa
Jumlah Peserta Jamkesda : 34 jiwa
1.
Desa Luar
20 jiwa
2..
Desa Juranalas
7 jiwa
3.
Desa Dalam
6 jiwa
4.
Desa Lab. Alas
1 jiwa
Rasio perbandingan pengguna Jamkesmas + Jamkesda tahun 2009 = (16.546/28.948)X100=57,16%
Rasio perbandingan pengguna Jamkesmas + Jamkesda tahun 2010 = (17.065/29.417)X100=58.01%
Terjadi peningkatan sebesar 0.85%
Data Pentahapan Keluarga Sejahtera
·         Keluarga Pra Sejahtera
NO
Desa
2009
2010
Keterangan
1
Baru
259
270
+ 11
2
Luar
316
295
- 21
3
Dalam
429
442
+ 13
4
Kalimango
154
175
+ 21
5
Juranalas
170
179
+ 9
6
Marente
187
191
+ 4
7
Pulau Bungin
208
217
+ 9
8
Lab. Alas
170
187
+ 17
Jumlah
1893
1956
+ 63










  • Keluarga Sejahtera I
No
Desa
2009
2010
Keterangan
1
Baru
187
207
+ 20
2
Luar
245
253
+ 8
3
Dalam
363
370
+ 7
4
Kalimango
202
287
+ 85
5
Juranalas
296
321
+ 25
6
Marente
178
175
- 3
7
Pulau Bungin
177
182
+ 5
8
Lab. Alas
63
73
+ 10
Jumlah
1711
1863
+ 152

  • Keluarga Sejahtera II
No
Desa
2009
2010
Keterangan
1
Baru
175
180
+ 5
2
Luar
312
314
+ 2
3
Dalam
313
318
+ 5
4
Kalimango
158
159
+ 1
5
Juranalas
521
521
-
6
Marente
201
205
+ 4
7
Pulau Bungin
216
219
+ 3
8
Lab. Alas
53
55
+ 2
Jumlah
1949
1971
+ 22

  • Keluarga Sejahtera III
No
Desa
2009
2010
Keterangan
1
Baru
171
173
+ 2
2
Luar
323
325
+ 2
3
Dalam
290
295
+ 5
4
Kalimango
366
366
-
5
Juranalas
354
355
+ 1
6
Marente
97
101
+ 4
7
Pulau Bungin
116
117
+ 1
8
Lab. Alas
84
85
+ 1
Jumlah
1801
1817
+ 16

  • Keluarga Sejahtera III Plus
No
Desa
2009
2010
Keterangan
1
Baru
-
-
-
2
Luar
-
-
-
3
Dalam
-
-
-
4
Kalimango
2
2
-
5
Juranalas
3
3
-
6
Marente
-
-
-
7
Pulau Bungin
-
-
-
8
Lab. Alas
-
-
-
Jumlah
5
5
-
3.      Bidang Pendidikan
a.      Jumlah Lembaga Pendidikan Formal dari tk SMA/SMK s/d TK-Paud :
Tk SMA/SMK, 2 buah : SMAN 1 Alas dan SMKN Kelautan tidak termasuk SMA Muhammadiyah dan MA NW
Jumlah murid SMAN : 648 siswa
Laki-Laki : 284 siswa
Perempuan : 364 siswa
Jumlah murid SMKN Kelautan : 858
Laki-Laki        : 535
Perempuan      : 323
b.      Tk. SMP terdiri dari 3 SMP (tidak termasuk MTsN dan MTs NW
Jumlah murid : 1300
Laki-Laki        : 596
Perempuan\     : 704
4.2. HASIL PENELITIAN
4.2.1    Pola Interaksi Masyarakat lokal dengan Masyarakat Pendatang
Untuk mendapatkan data atau  informasi tentang pola intraksi masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang, peneliti tetap menggunakan kolaborasi tiga metode pengambilan data yaitu metode observasi, dokumentasi dan wawancara. Adapun hasil ketiga metode pengambilan data tersebut sebagai berikut:
Manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam kehidupan untuk menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Bentuk dan pola-pola interaksi dapat dijumpai pada kehidupan masyarakat. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses-proses sosial, yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis terkait dengan hubungan masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang yang ada di Kecamatan Alas dan sekitarnya. Selanjutnya keterangan masyarakat lokal sendiri bahwa pendatang dinilai banyak yang larut kedalam budaya masyarakat lokal, dan banyak pula anggota masyarakat lokal yang mencontohi budaya para pendatang tersebut. Berdasarkan uraian ini, maka dapat ditegaskan bahwa interaksi sosial di Kecamatan Alas berlangsung cukup baik hingga tidak menimbulkan distorasi sosial dalam proses pembaruaannya. Keterangan lain yang menyebutkan bahwa, masjid-masjid berperan nyata dalam membangun pembaruan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal. Keaktifan para pendatang dalam Majlis Ta’lim dan kegiatan ibadah rutin di masjid-masjid semakin mempercepat penerimaan masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Interaksi yang terjadi ini dinilai sangat mampu melekatkan hubungan sosial pendatang dengan masyarakat lokal. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal sangat dighargai, menghormati dan keterbukaannya terhadap masyarakat pendatang yang dinilai taat dalam menjalankan ibadah. Tentunya hal ini berdampak sangat positif, baik oleh masyarakat lokal maupun pendatang dalam kerangka masyarakat yang utuh.
Dalam studi ini, untuk memberi gambaran menurut Junaidi S.Pd yang menjadi ketua komite adat Desa Alas tentang proses interaksi antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang dalam keterbukaannya serta timbal-balik yang terjadi antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Sehingga dari proses interaksi tersebut terbentuknya suatu keterikatan emosional dan saling memiliki demi terbentuknya masyarakat yang saling menghargai perbedaan. Hasil wawancara dari informan kunci sebagai berikut:
Karena sangat kuat orientasi bau marua dengan, bau batempu ke dengan, balong dan bakalako,boat iwit, boat ela, boat tleko, (Bisa setara dengan orang lain, bisa berkecimpung dengan orang lain juga, sangat kuat orientasi untuk menjadi orang yang baik dan berguna baik dalam tindakan,tanduk, perkataan, maupun hati nurani). Kameri kamore dan seling sanyaman ate, Pariri lema bari, saling sakiki, sabalong sama lewa (Selain itu sangat kuat orientasi untuk menjalani hidup dengan orang lain secara suka ria dan saling memberikan kenyamanan hati. yang penting no semal pina boat lenge, parakkonene (Yang terpenting malu untuk berbuat buruk dan selalu mendekatkan diri kepada tuhan). (wawancara dengan Juanidi S.Pd)

Dari konsep ajaran filsafat sabalong sama lewa, pariri lema bari, saling sakiki, no semal pina boat lenge, parak ko nene yang diyakini oleh segenap masyarakat Sumbawa dapat dibahasakan sebagai suatu landasan dalam semua aspek kehidupan baik agama, sosial dan budaya. Dimana sabalong sama lewa, pariri lema bariri, saling sakiki, no semal boat lenge, parak ko nene dapat di artikan sebagai pentingnya saling menjaga satu sama lain atas asas kemanusiaan tidak adanya sekat-sekat yang merintangi, malu untuk berbuat buruk dan selalu mendekatkan diri kepada tuhan sang pencipta. Semua itu dianggap agar di kemudian hari dari semua bentuk konsep ajaran yang diyakini itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar yang tidak mudah digoyahkan dalam kehidupan, saling menghargai suatu perbedaan dan dari perbedaan itu dijadikan dalam bentuk ikatan yaitu sabalongsama lewa (Sama rasa sama rata, ringan sama dijinjing berat sama dipikul). Oleh karena itu masyarakat Sumbawa dapat dikatakan sebagai masyarakat yang kompromis, mempunyai jiwa kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebudayaan yang berlaku dan dikembangkan dalam lingkungan tertentu berimplikasi terhadap pola tata perilaku, norma, nilai dan aspek kehidupan lainnya yang akan menjadi ciri khas suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Interaksi yang terjalin di Kecamatan Alas khususnya di Desa Dalam dan Desa Baru antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang adalah hubungan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya bahkan dengan lingkungan sekitar, dalam hal ini ada keuntungan antara kedua belah pihak dan menimbulkan suatu bentuk kehidupan yang harmonis dan nyaman dalam kehidupan sosial, agama dan lain sebagainya yang dapat diwujudkan dalam bentuk solidaritas, toleransi serta menghormati dan menghargai masyarakat sekitar.
Interaksi yang terjadi antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal adalah interaksi kelompok. Hubungan yang dilakukan oleh masyarakat kecamatan Alas dengan pendatang adalah hubungan yang berlangsung lama yang ditandai dengan drajat keeratan yang semakin kuat.

1.             Pola Interaksi Masyarakat Lokal Terhadap Pergaulan Hidup dengan Pendatang
Meningkatnya intensitas masyarakat dan penambahan penduduk di sebabkan oleh pendatang yang mempengaruhi mayarakat lokal sehingga mempercepat terjadinya pembaruan sosial terhadap masyarakat lokal itu sendiri. Keseragaman pada masyarakat akan terwujud suatu hubungan yang baik bilamana didalamnya terdapat individu yang menilai baik antar individu dan adanya saling mempengaruhi satu dengan yang lain yakni hubungan saling toleran untuk bertindak. Tanggapan masyarakat lokal mengenai penilaian mereka terhadap masyarakat pendatang. Beberapa responden  menyatakan bahwa
“keleluasaan dalam berbaur dalam suatu sistem sosial lebih mudah dipandang dari pendatang yang berasal dari Lombok, Jawa, dan sunda”(wawancara dengan beberapa responden).

Dalam pandangan masyarakat lokal, masyarakat pendatang dari suku Jawa, Sunda memiliki kelebihan-kelebihan, seperti semangat dan ketekunan dalam bekerja serta memiliki kreativitas yang tinggi. Selain itu, mereka juga terkesan dengan sifat kesederhanaan, hemat dan keramah-tamahan yang pada umumnya banyak terdapat pada masyarakat pendatang dari daerah Jawa, Jawa barat dan Lombok. Banyak pendatang dari Lombok tersebut dilibatkan dalam memperkerjakan masyarakat, seperti dibidang pertanian dan pekerjaan fisik lainnya. Demikian juga penilaiannya terhadap pendatang dari Jawa dan Sunda yang dipandang mudah diajak untuk bekerja sama dan sangat kreatif dalam berbagai hal. Implikasinya adalah banyaknya masyarakat lokal yang merasa termotivasi berperilaku sebagaimana perilaku pendatang dari Jawa dan Sunda.
Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat disetiap masyarakat. Corak kehidupan yang subsistem sangat bergantung pada pembaruan sosial sesuai dengan keadaannya tersebut menyebabkan tindakan sosial masyarakat lokal dalam berperilaku sosial diadopsi oleh masyarakat lokal terhadap perilaku masyarakat pendatang dan dimulai oleh kalangan pemuda yang cendrung lebih pleksibel dalam berinteraksi dengan pendatang. Dalam pemikiran Peter L. Berger dalam bukunya perubahan sosial adalah sebuah proses yang terjadi secara terinstitusi. perubahan sosial tidak semata berasal dari tindakan individu yang memiliki kebebasan penuh. Dalam proses perubahan sosial, dibutuhkan aspek kolektifitas, aspek kebersamaan sebagai kelompok manusia, sebagaimana Marx menekankan bahwa penjungkirbalikan terhadap kelas sosial yang baku dimungkinkan melalui aksi bersama yang terstruktur (Berger,  2009:133). Untuk memperkuat teori tentang perubahan sosial selanjutnya menurut Wilbert Moore dalam Elly M. Setiadi dan kawan-kawan (2008:49) memandang perubahan sosial sebagai “perubahan struktur sosial, pola perilaku, dan interaksi sosial”. Masyarakat membutuhkan peranserta pemuda untuk kemajuan bersama. Pemuda adalah tulang punggung masyarakat. Generasi tua memiliki keterbatasan untuk memajukan bangsa. Selanjutnya alasan perubahan atau adopsi nilai akibatnya perubahan sosial dari berbagai aspek kehidupan oleh masyarakat pendatang yang menular dari kalangan muda sampai kalangan tua termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama adalah:
1.             Keinginan untuk menjadi masyarakat yang maju seperti masyarakat lain.
2.             Faktor kemampuan untuk melakukan perubahan sosial dan berperilaku cukup tinggi.
1.      Faktor pendorong perubahan
a.    Meningkatnya aksesbilitas di kawasan.
b.    Banyak dan beragamnya asal dan etnik pendatang yang notabanenya sebagai masyarakat pekerja.
c.    Kurangnya penyaringan atau filter sosial yang dilakukan masyarakat lokal
d.   Berubahnya orientasi nilai budaya masyarakat lokal.
e.    Meningkatnya pendapatan dan status sosial atas masyarakat.
f.      Meningkatnya ketersentuhan masyarakat dengan informasi dari luar.
2.      Faktor penghambat perubahan
a.       Masih adanya masyarakat tertentu, terutama dari masyarakat penganut agama Islam taat, yang tidak menginginkan perubahan sosial secara revolutif.
b.      Adanya kelompok atau kelembagaan masyarakat yang notabenenya menentang berbagai akses negatif perubahan sosial pada berbagai kalangan atau lapisan masyarakat.
Faktor penting perubahan adalah berubahnya orientasi dan perilaku masyarakat dari nilai kekerabatan lokal (Lokalit) menjadi masyarakat terbuka (Kosmopolit) yang berorientasi maju (Modern).
2.             Pengadopsian Perilaku Positif Masyarakat Lokal Terhadap Pendatang
Selama berinteraksi dengan masyarakat pendatang ada banyak prilaku positif yang bisa diadopsi oleh masyrakat lokal sebagaimana tercermin dalam hasil wawancara dengan Burhanudin sebagai   berikut:
Ada banyak hal yang dapat diambil dan ditirudari banyaknya pendatang yang ada di Alas. Rata-rata mereka itu kreatif, hidupnya sederhana, dan tekun dalam bekerja. Setiap ada acara atau kegiatan sering berbagi keterampilan pada masyarkat. (wawancara dengan Burhanudin)

Dari hasil penelitian teridentifikasi bahwa masyarakat lokal mengadopsi perilaku masyarakat pendatang yang dinilai baik secara selektif. Beberapa perilaku masyarakat dari daerah lain yang dinilai positif dan cendrung di adopsi oleh masyarakat lokal yaitu:
a.       Semangat dan ketekunan dalam bekerja
b.      Keragaman  keahlian dan keterampilan
c.       Kreaktivitas dalam berusaha
d.      Kesederhanaan, hemat dan penuh perhitungan

3.             Persepsi Negatif Masyarakat Lokal Terhadap Pendatang
Selain perilaku yang ingin ditiru itu ada juga persepsi dan perilaku pendatang yang tidak di sukai oleh kalangan tua masyarakat lokal diantaranya adalah:
a.       Kebiasaan minum-minuman keras.
b.      Kecendrungan pada pergaulan bebas.
c.       Mengekspresikan perilaku yang tidak sesuai dengan keyakinan agama masyarakat lokal.
 Seperti yang tercermin dalam hasil wawancara sebagai berikut:
Kalau sikap yang tidak disuka oleh masyarakat lokal salah satunya adalah terkadang pendatang khususnya yang msih muda mengajak para pemuda disini untuk melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran yang berlaku di masyarakat misalnya minum-minuman keras, dan pergaulan bebas. (Wawancara dengan sukmawati)

Artinya, bahwa pada situasi atau kondisi semacam ini kontak sosial dan kebudayaan antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal itu terjadi. Sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang berarti pada komunitas-komunitas tersebut. Meskipun ada unsur-unsur negatif yang dianggap oleh masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Pada dasarnya telah terjadi hubungan atau kontak pada kedua kelompok masyarakat tersebut.
4.             Pola Interaksi Masyarakat Desa Dengan Pedagang (Pendatang).
Gambaran pola interaksi yang menjadi media pengamatan oleh peneliti adalah dipusatkan pada beberapa Desa. Dengan alasan yang sangat jelas bahwa ada beberapa desa yang menjadi pusat ekonomi yang cukup signifikan terhadap pergerekan ekonomi yang menjadi pusat terbesar dari beberapa desa yang berada di Kecamatan Alas. Dengan keberadaan pasar swalayan maupun pasar tradisional. Interaksi masyarakat Desa dengan pedagang tercipta cukup baik dan berlangsung cukup lama. Hal ini diungkapkan dari hasil wawancara.
Di Desa Dalam sangat banyak masyarakat pendatang yang berbelanja di pasar ini, ada yang berasal dari tetangga desa, namun ada juga dari luar desa. Rata-rata orangnya baik-baik, sopan dan tidak banyak tingkah. Walaupun ada yang beda tetapi ada satu dua orang, itupun mungkin karakter bawaan dari daerah asal. Namun karakter itu tidak sampai menimbulkan masalah di sini (wawancara dengan Mardiono).

Gambaran hidup yang demikianlah yang mempunyai pengaruh besar terhadap hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat local dengan masyarakat pendatang dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut mewarnai segala kehidupan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Para pendatang yang berprofesi sebagai pedagang mempunyai kegiatan lain dibalik kegiatan berdagangnya saja, mereka tidak mungkin memikirkan kegiatan berdagang saja dan mencari keuntungan yang banyak, tetapi mereka mempunyai lingkungan di luar aktivitas kesehariannya yaitu, berinteraksi dengan masyarakat karena kehidupan sosial dan keagamaan sangat penting selain juga untuk menjaga hubungann kita sebagai mahluk sosial.
Para pedagang merupakan bagian masyarakat Kecamatan Alas, khususnya yang tinggal di Desa Dalam yang hadir di tengah-tengah suatu budaya masyarakat setempat dan erat lewat interaksi sosial yang terbangun didalamnya. Pedagang sebagai mahluk sosial berupaya untuk mengikuti kebudayaan setempat yang ada, akan tetapi ada tuntutan bagi mereka untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan tindakan mereka sendiri sebagai pendatang. Mereka lebih memilih sebaagai pedagang untuk memenuhi kebutuhan hidup namun mereka juga selalu berusaha untuk mengikuti aktivitas-aktivitas yang ada di desa tersebut dengan mengikuti-mengikuti kegiatan-kegiatan masyarakat sebagai salah satu perwujudan sosial dan sebagai salah satu alat untuk melakukan interaksi.
Para pedagang dalam aktivitas berjualan rata-rata sangat ramah sekali dengan masyarakat setempat. Sikap ramah tersebut ditunjukkan oleh pedagang dalam menyikapi pembeli masyarakat sekitar. Sikap pedagang yang ramah dan baik inilah yang dijadikan sebagai media yang diharapkan dapat diterima masyarakat dan berdampak terhadap interaksi terhadap masyarakat sekitar walaupun tidak secara langsung mereka mengikuti aktivitas-aktivitas keagamaan di desa setempat.
Para pedagang dalam aktivitas sehari-harinya tentu akan bersentuhan secara langsung dengan masyarakat dimana mereka tinggal. Untuk mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat pedagang harus bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Interaksi yang terjadi antara pedagang dan masyarakat lokal biasanya terjadi ketika mereka melakukan aktivitas jual beli.
Dalam realitas sosial hubungan interaksi yang terbangun antara masyarakat pendatang dengan masyarakat menunjukkan hubungan tidak baik atau konflik. Konflik yang terjadi dalam hal ini adalah konflik yang bersifat manifest antara berbagai kelompok yang terlibat. Interaksi yang terjadi dalam masyarakat selalu mempunyai dua sisi. Di samping masalah positif yang mengarah kepada keharmonisan dalam tatanan masyarakat terdapat juga masalah yang mengarah kepada bentuk konflik. Model kedua inilah yang terjadi masyarakat di Kecamatan Alas khususnya di Desa Dalam yang menjadi pusat perhatian bagi peneliti. Melihat sekilas hubungan antara masyarakat tersebut rentan terjadi konflik dengan beberapa hal yang perlu diperhatikan. Konflik yang disebabkan antara lain muncul protes dalam hubungan perpindahan lahan parkir kendaraan disekitar pasar tersebut.
5.             Agama Sebagai Perekat Harmoni Sosial
Pada dasarnya agama dan masyarakat saling mempengaruhi, agama mempengaruhi jalannya masyarakat, selanjutnya pertumbuhan manusia mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Agama Islam harus tampil sebagai suatu sistem totalitas dan kemampuan pengarah, guna penataan kembali nilai dan tujuan kehidupan, pengaturan kembali fungsi dan norma tentang pandangan struktur dan makna. Jelas tidak ada masyarakat yang statis dan sama sekali tidak berubah, demikian pula agama. Agama tidak hanya asyik di alam metafisik yang tertutup, tetapi juga senantiasa berjuang bersama manusia. Secara sosiologis-historis hakikat agama selalu merupakan suatu hakikat yang historis, yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan. Ibadah suatu bentuk interaksi positif antara kelompok pribumi yang beragama Islam dengan kelompok pendatang yang beragama Islam telah memberikan suatu bentuk kehidupan yang harmonis. Bentuk kehidupan yang harmonis ini tidak terbentuk begitu saja melainkan melalui proses yang cukup panjang.
Selanjutnya toleransi adalah sikap memberikan kebebasan kepada setiap orang yang berbeda, baik dalam pendapat, sudut pandang agama dan keyakinan tanpa ada rasa benci, pertentangan dan permusuhan. Namun dengan demikian hal ini memberikan suatu pendekatan dengan cara dialog, dan musyawarah untuk memberikan argumentasi dan informasi tentang apa yang diterima sebagai kebenaran, sehingga tidak menimbulkan konflik.
Sikap ini di tandai oleh penerimaan kelompok pribumi yang memberikan hak dan kebebasan kepada kelompok pendatang untuk mempercayai mazhabnya terkait dengan peribadatan dan pelaksanaannya. Selain itu mereka tidak mempersalahkan seig-segi perbedaan dalam beragama tetapi sebaliknya mereka menonjolkan segi persamaan dan walaupun perbedaan itu tidak dapat disatukan masing-masing mereka tidak meributkannya dan menganggap sebagai suatu keunikan. Mereka menjauhkan sikap egoisme dalam beragama sehingga tidak mengklaim dirinyalah yang paling merasa benar. Interaksi seperti inilah telah memberikan konstribusi yang baik terhadap terbentuknya toleransi beragama antara kelompok pribumi yang beragama Islam dengan kelompok pendatang yang beragama Islam. Sehingga kehidupan harmonis dapat dinikmati oleh masyarakat daerah penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dari kelompok pendatang, Bapak Galang yang berasal dari Malang, diperoleh informasi bahwa:
Alas ini saya telah mengenalnya cukup lama jauh sebelum keadaan terjadi yang saat ini. Saya orang jawa yang lebih kental keagamaannya dan tidak pernah menganggap saya berbeda dengan mereka dalam hal agama, kami ngobrol dengan akrab dan juga saya sering bermain kerumahnya karena rumah kami berdekatan”.
….“agama tidak membelenggu kita, tetapi malah mengatur kita dalam bertingkah laku dan mengetahui yang mana dibolehkan dan mana yang tidak.(wawancara dengan Bapak Galang)

Salah satu bukti kemaha kuasaan Allah SWT adalah dia menciptakan seluruh mahluk-Nya dengan perbedaan-perbedaan sesuai dengan kehendaknya. Allah maha kuasa itu menjadikan perbedaan itu sebagai rahmat, terutama pada manusia. Perbedaan-perbedaan itu, termasuk dalam berpikir dan berpendapat menjadikan hidup manusia lebih dinamis dan lebih berwarna. Sesuai dengan ayat yang terdapat didalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang banyaknya perbedaan-perbedaan pada manusia, salah satu contohnya adalah; perbedaan-perbedaan manusia dalam berpendapat, sebagaimana firman Allah.
Sesungguhnya kamu benar-benar dalam berbeda pendapat” (Az-Dzariyat: 8)”.
Kemudian kemuliaan dan keutamaan manusia antara lain dijelaskan dalam surat at-Tin, sebagai berikut:
Sesungguhnya kami Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. (Q.S. at-Tin:4).

Perbedaan itu jika disikapi dengan cara yang positif maka akan mendatangkan suatu kebaikan begitu pula dengan sebaliknya apabila perbedaan itu disikapi dengan cara negatif kemungkinan besar akan menuai perdebatan dan menimbulkan konflik. Dari hal semacam inilah yang dibutuhkan terkait dengan toleransi bergama agar masyarakat selalu dalam kehidupan yang menciptakan rasa harmonis. Pertemuan antara masyarakat pendatang dengan masyarakat pribumi, pada akhirnya mempertemukan dengan dua nilai budaya dan dua nilai sikap yang sama. Dalam pembahasan ini penulis akan menjabarkan jalur-jalur hubungan sosial keagamaan antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang yaitu, kegiatan-kegiatan ritual keagamaan dalam masyarakat. Manusia dituntut oleh tuhan untuk selalu berbakti atau ibadah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Adz-Dzariat ayat 56: “Tiada Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. Beribadah berarti menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sesuai dengan keyakinan atau agama yang dipeluknya.

4.2.2            Proses Asimilasi atau Akulturasi yang Berlangsung Di Kecamatan Alas Antara Kebudayaan Masyarakat Lokal Dengan Masyarakat Pendatang
Proses Asimilasi atau Akulturasi yang Berlangsung Di Kecamatan Alas Antara Kebudayaan Masyarakat Lokal Dengan Masyarakat Pendatang akan dilihat melalui beberapa hal seperti perubahan nilai, adat, hukum dan kebiasaan masyarakat lokal (perkawinan dan gotong royong). Untuk lebih jelasnya peneliti menguraikannya sebagai berikut:
4.2.2.1              Perubahan Nilai, Adat, Hukum dan Kebiasaan Masyarakat Lokal
Kebudayaan merupakan kelanjutan yang bertahap kearah yang semakin kompleks. Dimana unsur-unsur kebudayaan terintegrasi menjadi satu sistem budaya dan memiliki keterkaitan antara unsur-unsur kebudayaan yang universal yaitu sistem teknologi, peralatan, sistem mata pencaharian, organisme, sosial, religi, dan bahasa. Istilah peradaban sering dipakai untuk menyebutkan suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, sehingga taraf kehidupan semakin kompleks. Meningkatnya akses informasi dengan dunia luar tentunya memperluas khasanah wawasan dan pengetahuan masyarakat. Oleh karena iklim nasional saat ini diwarnai iklim egaliter dan demokratis maka dengan mudah diikuti oleh masyarakat. Menurut Gillin dan Gillin dalam Elly M. Setiadi dan kawan-kawan (2008:50) dikatakan bahwa:
perubahan-perubahan sosial untuk suatu variasi dari cara hidup yang lebih diterima yang disebabkan baik karena perubahan dari cara hidup yang diterima yang disebabkan baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materil, kompetisi penduduk, ideologi atau pun karena adanya difusi ataupun adanya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat tersebut”.

Perubahan masyarakat terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul dengan pertumbuhan masyarakat. Oleh karena itu dari penjelasan teori di atas bila dianalisa lebih dalam lagi tentu konsekuensinya bila dihadapkan pada hukum kebiasaan atau hukum adat yang berlaku pada masyarakat itu sendiri barang tentu tidak adanya pertalian hukum adat yang mengatur masyarakat itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh adanya ideologi baru ataupun adanya perubahan-perubahan hukum dari berbagai aspek sudut pandang dari masyarakat itu sendiri. Demikian halnya dijelaskan lagi menurut sundut pandang sosiologi hukum, bahwa masalah-masalah sosiologi hukum menurut Durkheim dalam Alvin S. Johson (2006:111) adalah dilihatnya dalam dua segi: Pertama, faktor morfologis dan khususnya demografis (Jumlah kepadatan penduduk) dan kedua faktor keagamaan atau lebih tepat: Pengaruh kepercayaan-kepercayaan akan yang keramat termasuk di dalamnya pula, menurut Durkheim adanya hubungan-hubungan lepas dari agama. Melihat adanya hubungan-hubungan antara kedua faktor ini yang pertama tidak langsung karena kepadatan materil tidak dapat diselesaikan dari kepadatan moril, yang lain bersifat langsung dengan taraf-taraf kesadaran kolektif, yang ragam-ragamnya ialah dasar-dasar perubahan lembaga-lembaga hukum.
Kesimpulan yang penting bahwa hukum, sebagaimana halnya agama, moral, estetika pendeknya segala fenomena-fenomena sosial yang asasi, adalah sistem-sistem nilai-nilai, yang timbul dari cita-cita kolektif. Cita-cita yang kolektif ini merupakan dasar bagi gerak lembaga-lembaga hukum; karena masyarakat tak menciptakan atau menciptakan kembali dirinya sendiri, tanpa sementara itu pula menciptakan suatu cita, dengan ciptaan ini, ia secara priodik membuat dan mengubah dirinya sendiri.
Tokoh masyarakat atau tokoh adat Kecamatan Alas menuturkan bahwa sejak banyaknya pendatang yang ada tampaknya terjadi pembaruan adat dan budaya di sejumlah lokasi tempat bermukim. Eksesnya semakin melonggar ikatan adat istiadat yang sebelumnya dianut kuat oleh penduduk lokal. Sebagai contoh, dalam hal model bangunan rumah banyak diantara penduduk lokal merubah bentuk rumahnya cendrung pada model rumah yang umum di tempat lain, yakni rumah permanen (Rumah batu). Seperti diketahui sebelumnya bahwa masyarakat lokal di kecamatan Alas memiliki rumah adat dengan model rumah panggung dari bahan kayu dan sejenisnya. Semakin besar rumah atau semakin banyak tiang rumah panggungnya mencirikan status sosial ekonomi pemiliknya relatif lebih baik dibandingkan dengan warga lainnya.
Perubahan selera masyarakat atas model rumah juga diransang oleh harapan yaitu untuk dijadikan rumah sewa kepada para pendatang. Tentunya secara ekonomis hal ini cukup diuntungkan, tetapi telah melonggarkan pertalian sosial yang diatur dalam adat dan kebiasaan masyarakat. Perubahan model rumah sebagian penduduk, terutama yang memiliki kemampuan ekonomi mencerminkan perubahan gaya hidup mereka. Pada model rumah asli yang dibangun atas nilai spirit atas adat setempat lebih sederhana baik dari segi kualitas, model dan fungsinya. Dalam hal ini penduduk lokal tidak lagi merasa terikat oleh adat kebiasaan menyangkut model rumah yang dikembangkan.
Dari hasil penelitian animo masyarakat lokal mengembangkan rumah dengan gaya kontemporer semakin tinggi. Sejumlah tokoh masyarakat mengungkapkan bahwa keleluasaan penduduk memilih model bangunan rumah memang memungkinkan mengingat tidak ada sangsi sosial berkaitan dengan masalah perumahan tersebut. Konsekuensinya adalah bagi penduduk yang tidak membangun rumah panggung adalah tidak adanya anggota masyarakat besenata (Bergotong royong) kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Sumbawa (Tau samawa) dalam membangun rumah sebagaimana lazimnya bila membangun rumah model panggung. Ditegaskan pula bahwa walaupun yang dibangun adalah rumah panggung hasrat bergotong royong anggota masyarakat juga telah berkurang. Cerminan nilai-nilai adat yang masih melekat dalam bangunan rumah baru masyarakat lokal terdapat pada bentuk atap rumah. Sebagian besar rumah batu permanen yang dibuat atapnya tetap mencirikan rumah khas suku samawa, seperti bentuk konopi dan kongsol rumah bersusun. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat ditegaskan bahwa meskipun masa perubahan sosial telah berlangsung cukup lama tampak bahwa melekatnya nilai-nilai sosial tradisional pada masyarakat lokal.
4.2.2.2              Perubahan Nilai Adat dan Kebiasaan Dalam Hal Perkawinan
Interaksi yang positif akan menciptakan suatu kerjasama (Cooperation) yang dapat mempermudah terjadinya asimilasi. Secara khusus penulis akan menggambarkan suatu bentuk proses assimilasi yang terjadi dalam suatu proses perkawinan antara dua kebudayaan yang berbeda tanpa harus menghilangkan unsur-unsur dari kedua kebudayaan tersebut. Dalam hal semacam persilangan budaya terkait dalam hal perkawinan beda budaya yang terjadi pada masyarakat lokal sendiri nampaknya belum begitu mencolok dan itu hanya terjadi pada sebagian kecil masyarakat saja. Namun dalam hal ini memberi warna pembeda terhadap kebudayaan, dalam artian adanya unsur-unsur budaya baru didalam wadah keaslian dari budaya masyarakat lokal.
Dari studi terungkap bahwa terjadinya perkembangan intensitas penduduk terkait dengan masyarakat pendatang ikatan adat dalam hal perkawinan mengalami perubahan dalam hal perkawianan. Dalam hal ini, golongan minoritas merubah sifat khas dari unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan golongan mayoritas yaitu masyarakat lokal, sedemikian rupa sehingga lambat laun memungkinkan kahilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Tetapi tidak menghilangkan budaya minoritas. Berikut kutipan hasil wawancara dengan Makawaru:
“kerap kali terjadi pernikahan antara orang asli sini dengan orang luar, misalkan pihak pria maupun pihak wanita asli penduduk sini mengadakan acara perkawian. Tapi biasanya dalam perkawinan itu biasanya budaya sini lebih ditonjolkan tanpa harus menghilangkan budaya dari pihak lain yang beda adatnya dengan kita”.

Dari kutipan diatas dapat diterangkan bahwa dalam kegiatan, tahap-tahap serta ritus perkawinanya masih menggunakan adat sumbawa. Contohnya kegiatan melamar membawa bawaan (Semacam mengantar mahar), barodak (Luluran) yang disertai dengan berbagai upacara nampaknya masih taat dilakoni oleh masyarakat lokal. Meskipun mereka telah banyak mengenal kebudayaan dari masyarakat lain dalam hal perkawinan. Namun dalam hal perkawinan tetap mengacu kepada aturan adat samawa. Bahkan dalam tahap percampuran budaya ini tampaknya hanya sebatas variasi saja yakni yang berkaitan dengan kesenian. Hal-hal yang prinsip dan sakral dalam adat perkawinan tidak dihilangkan. Lebih jauh lagi diterangkan melaksanakan kolaborasi budaya ini yaitu menyelenggarakan adat perkawianan lebih lengkap dirasakan apabila nilai-nilai budaya diantara kedua budayanya tidak dihilangkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan identitas etnik dan kecenderungan akulturasi dapat terjadi jika ada interaksi antarkelompok yang berbeda, dan jika ada kesadaran masing-masing kelompok.
4.2.2.3              Perubahan Nilai Adat dan Kebiasaan Dalam Hal Gotong Royong
Lebel masyarakat yang hidup secara kolektifitas, asli akan ketradisionalannya, menggambarkan pada aspek-aspek kehidupan sosial pada saat itu, dimana sendi-sendi kehidupan yang sejalan dengan sistem tatanan sosial, budaya kemasyarakatan masih sangat melekat. Mayoritas masyarakat saat ini bertolak ukur kearah modernisasi memungkinkan akan terjadi perubahan terhadap masyarakat lokal itu sendiri yang mengarah kepada masyarakat yang individualis dan materialis dan lebih berorientasi kepada kepentingan sendiri dan kerabat-kerabat mereka (Kelompok kepentingan khusus) yang dianggap lebih mempunyai peluang untuk kesejahteraan kelompok. Yaitu menitik beratkan kepada kepentingan kelompok sampai sedemikian rupa, sehingga mereka lebih dapat mementingkan kepentingan kelompoknya dari pada mementingkan kepentingan banyak orang. Hal di atas diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh D. Laswswell dan Kaplan (Astrid S. Susanto, 1985: 56-58) dalam M. Bambang Pranowo, (2008:92) yaitu: Pertama, Kelompok kepentingan (Interest groups), yaitu kelompok yang hanya menitik beratkan realisasi dari tujuan bersama tanpa mempermasalhkan loyalitasnya. Kedua, Kelompok kepentingan Khusus, yaitu menitik beratkan kepada kepentingan kelompok sampai sedemikian rupa, sehingga mereka dapat mementingkan kepentingan kelompoknya dari pada kepentingan banyak orang lain. Ketiga, kelompok kepentingan umum, jenis kelompok ini merupakan kelompok yang berusaha mewujudkan kelompokya melalui dan bersama-sama dengan realisasi tujuan dan kepentingan kelompok-kelompok lain serta masyarakat luas. Walau demikian, Lasswell dan Kaplan mengakui bahwa setiap kelompok mempunyai kepentingan-kepentingannya sendiri-sendiri.
Bila diamati kearah status ekonomi tatanan sosial semacam saling membantu atau diistilahkan dengan basiru atau kegiatan gotong royong itu hanya terjadi pada masyarakat laipisan-lapisan bawah saja. Gambaran realitas masyarakat yang diuraikan diatas sangat bertolak belakang bahkan kontras sekali dengan gambaran realitas masyarakat yang sedang terjadi saat ini, terkait pada masyarakat daerah penelitian.Kegiatan kemasyarakatan yakni gotong royong dan tolong menolong saat ini telah mengalami transformasi.
Dalam hal demikian, nampak memang terjadi pergeseran perubahan kebiasaan terkait dengan kebudayaan dan adat istiadat terhadap masyarakat lokal itu sendiri dalam hal semacam ini. Kegiatan semacam ini terjadi dikeranakan masyarakat lokal mencontohi budaya-budaya baru yaitu budaya ala kota yang dipraktiskan oleh masyarakat pendatang. Oleh karena itu, Kebiasaan semacam ini yaitu memberikan uang kepada setiap acara yang di selenggarakan oleh masyarakat memberikan pengaruh yang cukup mendasari kebiasaan mereka. Seperti contoh lain dapat diungkapkan bahwa aktivitas gotong royong yang mengarah kepada bentuk fasilitas umum seperti membangun prasarana ibadah, kebersihan lingkungan mangalami penurunan drastis. Implikasinya adalah masyarakat kurang bersedia untuk berpartisipasi secara moral dan sosial terhadap kegiatan masyarakat tersebut. Dari uaraian di atas dapat dikatakan bahwa telah berkurangnya kegiatan budaya gotong royong terkait pengaruh keberadaan masyarakat pendatang. Oleh karena itu patut untuk dicermati bahwa akses perubahan sosial akan terjadi dan sulit dihindari pada sendi-sendi tatanan masyarakat yang sedang berkembang.




4.2. PEMBAHASAN
Berdasarkan dari hasil penelitian di lapangan yang penulis lakukan kemudian diolah menjadi suatu bentuk interpretasi data yang melalui berbagai proses yang pada akhirnya penulis akan menjabarkan secara lugas dan terperinci menganai hasil penelitian dalam bentuk kajian analisis dari studi lapangan yang penulis lakukan dalam hal mengenai judul penelitian penulis. Maka dapat dianalisis sebagai berikut:
1.      Kondisi sosial sesungguhnya sudah banyak mengalami perubahan namun, diketahui ada kecendrungan penerapan nilai-nilai sosial budaya lokal semakin meluas. Gaya hidup masyarakat berkembang kearah yang lebih rasional komplosit, norma dan nilai sosial banyak dianut masyarakat bahkan ada kecendrungan semakin baik. Keamanan dan ketertiban masyarakat dinilai makin kondusif, kehidupan keagamaan semakin baik, dan partisipasi sosial dan kelembagaan masyarakat tetap terjaga dan lebih baik.
2.      Tatanan sosial, budaya aspek gotong royongjuga menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok dalam kondisi masyarakat daerah penelitian dalam artian berkurangnya kegiatan saling membantu satu sama lain yang mengarah kepada bentuk ikatan tindakan yang kolektif kemasyarakatan, aktivitas gotong royong yang bersifat padat karya (Curahan tenaga), dapat digambarkan dalam bentuk berkurangnya animo masyarakat yang di jelaskan pada bab penjelasan di atas yakni eksennya terhadap tindakan saling bantu membantu dalam hal sosial karya contohnya pembuatan rumah panggung atau pun rumah permanen yang dapat dikatakan besenata dalam masyarakat Sumbawa. Tetapi ada hal yang menjadi pembeda dalam masyarakat sendiri yaitu aktivitas tolong menolong yang selalu terjaga yakni melalui bentuk bantuan materi (Uang) yang dinilai lebih mengikat hubungan dan lebih dominan dirasa dari pada membawa bawaan yang berbentuk sembako yang dahulunya menjadi kebiasaan dalam hal-hal sakral pada masyarakat lokal contohnya seperti Berenok, Basiru, dan penulung .
3.      Sistem kepercayaan. Keberadaan masyarakat pendatang mempengaruhi masyarakat lokal terhadap bentuk sistem kepercayaan yang merubah pada pola pikir masyarakat lokal sehubungan dengan adanya ketertarikan terhadap cara berpikir masyarakat pendatang yang lebih modern. Dapat di jelaskan seperti berkurangnya kepercayaan dan ketaatan kepada aturan hukum adat yang berlaku pada masyarakat yang tertanam yang menjadi kepercayaan pada masa lalu. Nilai kesakralan adat tidak begitu mempengaruhi kelakuan dan tindakan masyarakat lokal. Hal ini di karenakan bahwa anggapan masyarakat sekarang tanpa harus mengikuti aturan hukum adat yang telah ditetapkan tidak akan terikat oleh hukum adat atau sangsi adat itu sendiri.
4.      Norma sosial (Adat istiadat). Masyarakat di daerah penelitian mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan terlihat bahwa pada masyarakat dalam perkembanngannya sudah tidak lagi terikat dengan norma-norma adat yang mewadahi masyarakat lokal sendiri seperti yang dijelaskan pada poin ketiga di atas. Dalam hal ini terlihat dari perubahan cara dan bentuk pembangunan rumah. Sebelum terjadinya perkembangan masyarakat terkait masyarakat pendatang, model-model bangunan rumah masih mengarah kepada model dan bentuk rumah tradisional adat masyarakat Sumbawa, yaitu rumah panggung. Perubahan itu terjadi pada saat ini, dan pada kenyataannya masyarakat kini sudah banyak yang memiliki rumah dengan gaya dan bentuk rumah yang modern (Rumah permanen) tetapi secara fisik masih memprtahankan ciri khas adat contohnya bentuk atap rumah.
5.      Pembaruan sosial (Interaksi sosial). Pada aspek ini menunjukkan perubahan yang sangat mencolok terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi pada masyarakat lokal. Artinya kepekaan terhadap tingkat kekerabatan masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang semakin intensif. Dalam pengamatan studi ini menunjukkan, sikap masyarakat lokal dipengaruhi perkembangannya oleh masyarakat pendatang baik dalam pengadopsian tingkah laku, pola pikir dan gaya hidup masyarakat lokal itu sendiri. Berbaurnya masyarakat pendatang dalam komunitas lokal semakin mempercepat pembaharuan sosial. Hal ini ditunjukkan pada bentuk kegiatan-kegiatan keagamaan yang lebih berperan pada proses ini. Dampak positif dari pembaharuan sosial tersebut adalah perubahan perilaku pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Oleh karenanya berdampak pada masyarakat lokal yang semakin membaik.
6.      Dalam hal sistem perkawinan (Adat perkawinan) pada hakikatnya telah mengalami perubahan dalam artian percampuran budaya. Hal diterangkan sebagian kecil masyarakat lokal yang berjodoh dengan masyarakat pendatang, sehingga melakukan hubungan pernikahan dengan masyarakat pendatang. Walaupun hal demikian terjadi pada bentuk hubungan perkawinan, dipastikan budaya masyarakat lokal akan lebih ditonjolkan sebagai kelompok yang mayoritas dari pada budaya masyarakat pendatang sebagai masyarakat minoritas.





















BAB V
PENUTUP
5.1.       Kesimpulan
Dari penjelasan dapat disimpulkan bahwa:
1.         Pola interaksi masyarakat pendatang dengan masyarakat setempat adalah interaksi yang bersifat asosiatif.
2.         Kelembagaan sosial budaya beserta aktivitasnya diakui semakin berkembang dan mengalami peningkatan setelah adanya interaksi yang positif antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang terhadap pembentukan masyarakat. Indikasinya adalah berkembangnya kelompok-kelompok dan kelembagaan sosial masyarakat dalam bidang sosial, budaya dan agama tersebut sehingga mempengaruhi perkembangan perilaku masyarakat dan orientasinya terhadap lingkungan sekitar. Hal demikian juga didukung oleh sarana dan prasarana serta ketersedian tokoh-tokoh masyarakat dalam keberlangsungan proses tersebut.
3.         Kegiatan-kegiatan keagamaan yang merupakan sarana untuk melakukan komunikasi dan kontak sosial secara langsung antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang ini telah memberikan konstribusi yang baik dalam menjalin interaksi yang positif. Pendekatan dengan cara dialog dan musyawarah untuk saling memberikan argumentasi dan informasi tentang apa yang diterima sebagai kebenaran mengantarkan pada pembentukan sikap toleransi. Dengan kata lain sebuah interaksi sosial yang dilandasi rasa tenggang rasa dan saling menghargai perbedaan yang ada telah mengantarkan kearah pembentukan sikap toleransi baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan beragama.
5.2.       Saran

1.      Kompleksitas akan terus terjadi dan berkembang karena adanya masyarakat yang dinamis yang selalu bergerak yang dilihat dalam tataran konteks sosial, budaya dan agama.
2.      Saran yang lebih ditekankan dalam hal ini adalah adanya kesadaran, kemauan, dan perlakuan yang sama pada semua warga masyarakatnya yang pada masa ini telah mengalami perkembangannya. Diketahui dalam lingkungan penelitian adanya banyak budaya serta adat istiadat yang sedang berkembang pada bentuk kesatuan masyarakat yang ideal dalam kemajemukannya.
3.      Saran yang bersifat membangun dari penulis adalah distorasi budaya akan memungkinkan terjadi terhadap masyarakat itu sendiri oleh karena itu sangat penting adanya pengaruh peran semua pihak baik dari pemerintah, tokoh dan kelembagaan sosial, budaya, dan agama
4.      Dalam masyarakat syarat utama adalah adanya rasa saling memiliki dan menghargai antar sesama walaupun banyak sekali perbedaan antara masyarakat itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer, Leoni Agustina, 2004, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Alamsjah Ratu Perwiranegara. 2012.  Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Jakarta: PT. Unipress.
A. Ubaidillah, dkk. 2000. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyaraka Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press, Cet. I.
Andi Prastowo. 2011.  Memahami Metode-metode Penelitian. Yogyakarta: AR-Ruz Media.
Abdul Chaer, Leoni Agustina. 2004.  Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Cet.I.
Bagong Suyanto. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana.
Consuelo G. Sevilla. (eds). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Bahasa. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Djoko Widagdho, dkk. 1999.  Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, Ed. 1, Cet. 2.
Elly M. Setiadi, H. Kamma A. Hakam, Ridwan Effendi. 2008. IlmuSosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2008. Edisi ke 2, Cet ke 3.
Jacobus Ranjabar. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
JohnW. Crewell. 2010. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kumanto Sunarto. 1993.  Pengantar Sosioligi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. 1997. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Lalu Mantja. 2011.  Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah). Sumbawa Besar: CV. Samratulangi.
Lexy J. Moeleong. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakara, Cet. KeVII.
Lajnah Penthashih Mushaf Alqur’an, Departmen Agama Republik Indonesia. 2004. Alquran dan terjemahannya. Bandung: CV Jumanatul Ali Art.
Moh.Nazir. 1993. Metode Penelitian, Darussalam: Ghalia Indonesia.
M. Bambang Pranowo. 2008. Sosiologi  Sebuah Pengantar, Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: Labolatoruim Sosiologi Agama.
Peter L. Berger, 2009, Perspektif Metateori Pemikiran, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia
Pip Jones. 2009.  PengantarTeori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet, I.
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Madah University Press.
Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada. Cet. 38.
Soedjono Dirdjosisworo. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zainuddin Ali. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar